Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 37 - Belajar mencintainya kembali

Chapter 37 - Belajar mencintainya kembali

Pagi-pagi ketika membuka mata aku meraih ponsel dan membaca pesan dari Kenny.

"Aku ingin hidup bersamamu, setiap detik aku memikirkannya. Aku berjanji tidak akan membuatmu kecewa. Berikan kesempatan kepadaku untuk membuktikan janji itu La."

Aku terharu pada kesungguhan Kenny.

Untuk menjadi percaya kepadanya aku hanya perlu mengingat kembali perilakunya selama ini. Fiona dan Richard mengatakan bahwa Kenny adalah pemuda yang serius belajar dan belum pernah pacarana sampai dia bekerja.

"Kamu adalah gadis pertama yang berhasil membuat kakakku berpaling dari pekerjaan dan musik. Selama ini dia tidak pernah mendekati perempuan lain," kata Fiona saat pertama mengetahui Kenny mendekatiku.

"Dia juga laki-laki pertamaku," ujarku.

"Cocok kalau begitu."

Ken sosok yang serius dan tidak suka hura-hura. Dia banyak mengisi kesibukannya dengan positif, main musik sebagai hobinya dan membimbing klub-klub belajar anak-anak muda, misalnya kelompok musik, membuka kelas matematika dan dia banyak disukai karena meskipun serius cara Kenny mengajar dengan permainan dan alat peraga, membuat murid-muridnya mudah mengerti sekaligus bersenang-senang.

Dulu aku masih sangat muda, mengenalnya pada tahun terakhir kuliah dan setahun kemudian, setelah aku lulus, Kenny langsung mengajak bertunangan.

"Beri waktu satu tahun untuk persiapan menikah," kataku.

Dia setuju.

Namun waktu setahun yang kuminta belum berakhir, Ken, sudah mendua dan menikah dengan Mariana, salah seorang bekas muridnya.

Dia membuatku kehilangan impian dan harapan, membuatku tidak percaya pada kata-kata manis tentang cinta dan aku menutup diri dari pria-pria lain. Aku bahkan kehilangan gairah hidup dan tidak memenuhi panggilan kerja di tempat yang semula kuidam-idamkan. Beberapa bulan setelah kami putus, aku hidup seperti robot, makan, minum, tidur dengan tatapan mata yang kosong, membuat ibu dan Farina cemas.

Aku memutus kontak dengan Kenny dan mulai bekerja di perusahaan penerbitan ketika ibu sakit. Ibu terjatuh dan mengalami patah tulang kaki. Waktu itu Farina sudah menikah dan sedang hamil besar. Ibu tidak bisa jalan, dia harus memakai kursi roda selama dua bulan. Pada waktu itu, ketika dia harus menghadiri rapat, seminar atau kegiatan yang lain, aku selalu di sisinya. Aku menjadi asisten secara dadakan. Sejak itu ibu tidak melepaskanku. Dia selalu melibatkanku dalam berbagai kegiatan. Mulai saat itu ibu memintaku bekerja dan kemudian merekruit Nuggie.

"Aku semakin berumur, kalau kerja sendiri tidak kuat, maka kalian harus menolong."

Aku menjadi editor secara otodidak, dengan membaca buku-buku panduan editing dan learning by doing.

Tanpa terasa, lima tahun berlalu dan aku menikmati pekerjaanku.

"Ken, terima kasih tadi malam aku dapat tidur dengan nyenyak. Selamat bekerja dan semoga harimu menyenangkan."

Aku membalas pesannya. Kurasa, aku mulai melunak dan belajar untuk mencintainya kembali.

Saat ini dia pasti sibuk mengajar dan dia akan menelepon pada jam makan siang, seperti biasanya.

Perjalanan ke kantor hari ini lancar, lalu lintas tidak sepadat biasanya.

"Kita berangkat setengah jam lebih lambat, sudah melewati jam sibuk," kata Jo, sopir.

"Betul juga. Kalau begitu baik jika setiap hari berangkat lebih lambat," kataku.

"Kamu memberi contoh buruk pada karyawan." Ibu membantah.

"Tapi selisihnya sedikit," aku tetap ngotot, namun ibu tidak menjawabnya lagi. Jo dan aku bersitatap melalui kaca spion. Kulihat Jo menahan senyum. Kami maklum, ibu orang yang berdisiplin. Sikapnya tidak mentang-mentang meskipun sebagai CEO sekaligus pemilik perusahaan, sehingga para karyawan menghormati dan segan kepadanya. Ibu berusaha agar Nuggie dan aku mengikuti contoh sikapnya. Tidak mudah juga, karena aku masih abai soal kedisiplinan.

Saat turun dari mobil aku melihat Melli memasuki halaman kantor dengan mengendarai skuter. Wajahnya tertutup helm tetapi aku mengenali gadis itu dari caranya berpakaian. Dia menyukai warna hijau dan setiap hari memakai busana warna hijau, demikian pula tas dan perlengkapan lainnya. Gadis itu menganggukkan kepalanya.

"Bu, kurasa dia tidak bersalah." Kataku.

"Bagaimana bisa menyimpulkan seperti itu?" tanya ibu sambil kami berjalan masuk ke kantor.

"Dia sangat ingin bekerja di sini, sekarang masih masa percobaan sehingga dia akan berusaha maksimal untuk terlihat baik," kataku.

"Masuk akal, tetapi semua petunjuk mengarah kepadanya."

"Kita lihat saja dulu sambil mencari petunjuk yang lain." Kataku.

"Cari tahu latar belakang dia, jangan sampai ada lawan bisnis yang menyusup," kata ibu.

"Oh… aku tidak berpikir ke situ. Baiklah Bu."

Tugas pagi ini adalah mematangkan persiapan buku-buku untuk dibawa ke Belanda.

Kutemukan beberapa koreksi kecil yang kemarin masih luput dari perhatian editor.

"Jess, naskah Pernikahan sudah selesai kuperiksa. Bisa diambil dan bawakan aku buku yang berikutnya." Kataku sambil meregangkan pundak dan leher. Sejak pagi memeriksa buku tersebut, rasanya kepalaku berat.

"Segera kukirim," kata Jessy, suaranya riang.

Saat pintu ruang kerja ada yang mengetuk, kukira Jessy yang datang, sehingga aku menyuruhnya masuk tanpa melihatnya, perhatianku masih terpusat pada computer di depanku.

"Bolah diletakkan dimana?" Suara Hans, satpam mengejutkanku.

Dia berdiri di dalam ruang sengan membawa satu rangkaian mawar merah yang lebih besar dari kemarin. Dia berdiri tegap dengan membawa bunga di depan dadanya, seperti seorang pria yang akan memberikan bunga tersebut kepada kekasih hatinya.

"Hans… ah kamu cocok sekali membawa bunga itu, kalau kamu bawa bunga seperti itu di depan pacarmu... dia pasti pingsa karena terlalu gembira." Kataku.

"Eh… jadi saya letakkan di meja sini saja ya," katanya sambil meletakkan karangan bunga tersebut. Dia tersipu, wajahnya merah.

"Tidak ada nama pengirimnya?" tanyaku.

"Entahlah, ada kartunya di dalam amplop itu, saya tidak membuka. Permisi," Hans meninggalkan ruang kerjaku.

Aku mendekat dan mengambil amplop tersebut untuk mengeluarkan kartu di dalamn ya.

"Mawar merah tanda cinta, semoga harimu ceria seperti bunga ini. dari pemujamu." Hanya itu tulisan di kartunya, tetapi pasti Hardy yang mengirimnya.

Jessy berdiri di ambang pintu melihat aku yang masih tersesat dengan pikiranku sendiri.

"Seseorang sangat mengaggumi Laura," kata Jessy ketika melihat mawar merah itu.

"Jess kamu kan sudah menikah, katakanlah, apakah saat akan menikah waktu itu kamu memiliki keraguan? Seperti apa?"

Jessy tersenyum dan duduk sambil memangku setumpuk buku.

"aku senang jika kamu segera menikah. Ummm aku pernah ragu waktu itu, begini, aku kepikiran terus, apakah bisa menyenangkan suamiku, apakah dia akan setia hanya padaku dan apakah kami bisa mempunyai anak-anak yang sehat. Aku melihat banyak pasangan yang dianugerahi anak-anak berkebutuhan khusus. Aku tidak akan sanggup menjalaninya, kurasa," kata Jessy.

Keraguan Jessy yang pertama adalah, apakah akan bisa menyenangkan suaminya. Betapa baik hatinya, dia memikirkan suaminya terlebih dulu, sementara aku selalu was-was, pada keraguan kedua Jessy, apakah Kenny akan setia kepadaku.

"Jadi siapa pria beruntung ini, romantis banget," kata Jessi sambil mengendus mawar di depannya.

"Bukan dia."

"Oh… kukira…"

"Tapi ini tidak ada namanya, kalau begitu kamu punya pengaggum lain?" Jessy membaca kartu yang tergeletak di depannya.

Aku menggelengkan kepala.

"Aku tidak tahu siapa pengirim bunga ini." Jawabku.

"La, tapi kamu sudah punya seseorang hanya kamu masih ragu untuk menikah?" Mata Jessy menatapku langsung menghujam ke dalam mata.

Aku mengangguk.

"Kenalkan dong kepada kami… aku support kamu, segeralah menikah. Kamu akan merasakan kebahagiaan ketika ada seseorang yang menunggumu, seseorang yang akan menmdukungmu dan seseorang yang peduli kepadamu."

"Ah… ibuku juga begitu!"

"Laura, bedalah antara ibu dan suami. Ada cinta yang akan membuatmu bergairah dan tentu saja ada seks… yang menyenangkan." Mata Jessy berkedip menggoda.

Seketika aku teringat pelukan Kenny dan ciumannya di bibir yang membuat tubuhku gemetar seperti mendapat arus listrik. Kesenangan yang lebih dari itu? Sekarang juga perutku terasa berputar di dalam. Ah Ken… aku rindu pelukanmu.

"Ayo jangan bingung, kamu boleh tanya apa saja kepadaku nanti. Sekarang kutinggalkan buku-buku ini untukmu, jangan melamun, bekerjalah." Jessy menggoda dan meninggalkan tempat.

Aku mengembus nafas dan duduk. Mataku memandang bunga mawar merah tersebut.

"Yani, tolong ke kamar saya," kataku memanggil karyawan bagian umum.

Dia datang dengan cepat.

"Tolong kamu bongkar rangkaian ini, bagikan bunganya kepada semua karyawan perempuan. Tempatkan pada gelas-gelas yang diisi air. Saya dan ibu tidak usah." Kataku.

"Baik, ibu dan Kak Laura tidak usah?" dia mengulangi perintahku dan aku mengangguk.

Kutulis pesan untuk Kenny, untuk memberitahunya bahwa aku sibuk sehingga tidak bisa menerima telepon siang ini.

"Jangan khawatir, aku ingat makan siang dan segera bekerja lagi, big hug for you!" tulisku, lalu ponsel kumatikan. Aku tidak ingin menerima telepon dari Hardy.

***