Menjelang pukul sepuluh malam selalu membuatku gelisah tetapi bergairah. Kenny pasti menelepon. Aku sudah bersiap di atas tempat tidur menantinya.
"La, bagaimana harimu?" suara Kenny menyapa setelah telepon terhubung.
"Lumayan sibuk, aku dan ibu membuat passport baru, yang lama sudah kadaluarsa," kataku.
Biasanya aku menceritakan hampir semua pengalamanku dalam sehari, Kenny akan sabar mendengarkan. Tetapi sekarang aku melewatkan cerita tentang Hardy dengan kiriman kue, bunga serta teleponnya. Aku tidak ingin Kenny terbebani, tetapi aku merasa seperti berbuat curang di belakangnya.
Beberapa hari terakhir Kenny tidak lagi mendesak dengan pertanyaan kapan aku siap untuk menikah. Mungkin dia bosan menunggu jawabanku.
"Kamu sendiri bagaimana hari ini? Semua baik-baik?" aku bertanya.
"Mama masuk angin. Tetapi dia baik-baik saja. Mama bilang sudah rindu kepadamu lagi."
"Ah… kamu."
Kenny berdecak.
"Aku tahu kamu tidak percaya kepadaku. Hatimu belum sembuh sehingga sulit untuk percaya kepadaku."
Dia berkata dengan tenang, aku bisa membayangkannya wajahnya yang sabar, berbicara dengan mata yang menatap langsung.
"Ken…"
"Aku akan menunggu sampai cintamu bersemi kembali, aku yang menyebabkan lukamu."
Perutku terasa berputar mendengar kalimat Kenny. Apakah dia sungguh sungguh menunggu jika aku mengulur waktu? Bukankah dia ingin segera menikah.
"Kamu bisa mendapat perempuan lain Ken, kalau kamu ingin segera menikah," aku sengaja berkata seperti itu untuk memancing reaksinya. Dia terdiam hanya terdengar membuang nafas berat.
"Laura! Mengapa bicara seperti itu ? Aku hanya akan menikah denganmu, bukan dengan yang lain. Itu sebabnya aku menunggu waktu yang tepat, bukan sembarang perempuan yang ingin kunikahi."
Aku tercekat mendengar nada suara Kenny, dia tersinggung, mungkin juga dia marah, tetapi bukankah itu membuktikan kesungguhannya?
"Kita perlu bicara dengan lebih tenang. Pernikahan bukan hanya soal cinta." Kataku.
Aku sendiri perlu memupuk keberanian untuk melangkah ke pernikahan. Aku harus berani menghadapi segala kemungkinan. Kenny sudah pernah melanggar kepercayaan dariku, mungkin dia akan melakukannya? Aku cemas akan ditinggalkan lagi jika dia merasa tidak memerlukanku.
"Artinya kamu masih mencintaiku?"
"Kamu tahu, aku selalu mencintaimu."
"Terima kasih Laura."
Tadi malam aku menangis dan ingin dipeluknya, karena rindu, tetapi kali ini aku menjadi gamang menghadapi Kenny.
"Tetapi cinta saja tidak cukup untuk membuat keputusan menikah," kataku dengan suara pelan.
"Laura, kita sudah cukup dewasa, hmmm aku sudah cukup tua, aku senang jika kita bisa bicara dari hati ke hati. Bicaralah, kamu bisa bertanya apa saja yang akan kujawab untuk menghapus keraguanmu."
"The hurt cannot be healed." Kataku.
"Maafkan aku La, aku memang salah, sebenarnya aku tidak ingin itu terjadi… ah maukan memberi kesempatan kedua kepadaku?"
Mengapa Kenny mengatakan sebenarnya tidak ingin terjadi? Apakah dia menikahi Marina karena terpaksa dan tidak sengaja? Mana mungkin!
Pikiranku berandai-andai.
"Mengapa ada kata sebenarnya?" kurasa aku ingin keterbukaan di antara kami.
" bygone be bygone, let's start a new path."
Mudah baginya berkata seperti itu, membiarkan masa lalu berlalu sementara masa lalu itu melekat di pikiranku, merusak batinku.
"Ken, kamu juga tidak percaya kepadaku?" aku kecewa dia tidak terbuka. Kenny terdiam.
"Begitukah?" aku mendesaknya, tetapi Kenny masih membisu.
"Kita perlu saling terbuka dan percaya. Aku menghormatimu dan memaafkanmu, tetapi aku belum bisa menghilangkan rasa sakit dan kecemasan. Ken, aku tidak bisa menikah dalam keadaan seperti itu. Itu yang terjadi padaku," aku mengembus nafas dengan keras, untuk mengeluarkan rasa sesak di dada.
"La, ada hal yang tidak bisa kukatakan, karena aku ingin melindungimu, aku ingin kamu tidak terbebani. Semoga kamu mengerti." Kata Kenny.
"Aku mengantuk… bye." Kataku sambil menutup telepon. Dia tidak jujur untuk melindungiku? apa yang terjadi sebenarnya? mengapa waktu itu dia mendadak menikah? jangan-jangan... ah aku takut dengan pikiranku sendiri. Kenny, kenapa kamu tidak jujur kepadaku?
Sesaat kemudian aku melihat Kenny mengirim pesan.
"Jangan tidur dengan marah, nanti sel-sel tubuhmu merusak dirimu. Aku ingin kamu tidur dengan tenang. Boleh kutelepon? Aku akan menyanyi untukmu, Laura, kesayanganku."
Kalimatnya menyejukkan, tetapi aku masih kesal kepadanya. Kugeletakkan hp di atas tempat tidur dan aku telentang menatap langit-langit. Telepon berbunyi, aku menekan tombol menerima dan mendekatkan telepon ke telinga.
"Menyanyilah sekarang." Kataku.
"Laura? Kamu minta aku menyanyi?" suaranya asing, bukan suara Kenny. Aku mengangkat hp untuk melihat data pemanggil.
Ampun, Hardy yang menelepon!
"Oh maaf, kukira temanku, tadi telepon kami terputus." Kataku.
"Pantas, aku menunggu cukup lama untuk bisa tersambung, tapi kamu mau aku menyanyi?"
"Sudah malam Hardy, aku sudah mengantuk, maaf ya…" Aku ingin bersikap tegas kepadanya dan tidak membuka harapan.
"Oh baik, tidak apa-apa, semoga tadi kamu suka dengan kirimanku. Selamat tidur, gadis manis, sweet dream ya…"
"…"
"Aku telepon lagi besok. I love you." Katanya. Klik. Telepon terhenti.
Kembali telepon berdering. Aku mengharapkan Kenny, tetapi setelah kulihat, Richard yang menelepon.
"Hai Richard, tumben malam-malam, aku sudah hampir tidur," kataku. Aku benar-benar merasa lelah, aku hanya ingin mendengar nyanyian Kenny dan tidur.
"Maaf La, sedikit saja saya mau bicara."
"Okay."
"Kamu kenal dr. Hardy ya? Beberapa hari ini setiap malam dia ke kafe dan bertanya-tanya tentang kamu. Sepertinya dia menyukaimu. Benar?"
What a small world. Bagaimana Richard sudah mengetahui kalau aku kenal dr. hardy.
"Ya aku baru mengenalnya, apakah dia tertarik padaku atau tidak aku tidak tahu. Tolong jangan beri informasi macam-macam kepadanya ya," aku memohon pada Richard.
"Jangan khawatir, tetapi kukatakan kepadanya bahwa kamu calon iparku."
"ummm…" kepalaku terasa berat.
"Aku tidak salah bila menjawab seperti itu kan? Aku tidak ingin ada orang lain yang mengambilmu. Kamu jadi iparku ya? Kenny sangat mengharapkanmu."
Rasanya kepalaku semakin nyeri, perutku mual. Kurasa aku sangat stress mendengar semua ini dan rasa kantukku hilang.
"Sesukamu Richard. Boleh kita bicara lagi besok? Aku sangat lelah sekarang," kataku.
"Oke Laura, selamat beristirahat dan tidur yang nyenyak supaya besok segar kembali."
"Bye…" kami memghentikan percakapan.
Aku segera turun dari tempat tidur untuk ke kamar mandi, lalu keluar mencari air hangat dan meminumnya pelan-pelan sambil menarik nafas dan mengeluarkan nafas.
Ketika kembali ke kamar aku melihat ada dua miss call dari Kenny.
Aku mengirim pesan kepadanya dan mengatakan baru kembali dari toilet.
Kenny menelepon.
"Apakah kamu baik-baik?"
"hmm"
Perasaanku bertentangan antara marah dan ingin bermanja padanya.
"Laura, jangan marah. Tadi beberapa kali aku menelepom tetapi nadanya sibuk," kata Kenny.
"Kalau mau menyanyi, segeralah menyanyi, aku ingin dengar suaramu," kataku.
"Baiklah, atur nafasmu, jernihkan pikiranmu dan buang nafas untuk membuang rasa kesal. Aku akan segera menyanyi untukmu. Sudah pasang head set?"
Kesabaran Kenny seperti ini yang kusukai. Dia tahu, kapan saat aku menjadi manja begini.
"Sudah, terima kasih." Mataku menjadi hangat dan berair.
Kenny memetik gitar dan bernyanyi : " dari puncak bukit kugenggam benih-benih cinta yang kutabur ke atas langit menjadi bintang-bintang. Musim semi akan tiba memekarkan bunga-bunga untuk kita petik, mewarnai impian yang telah kita rajut dengan jari-jari lentikmu… kekasihku, tersenyumlah kepadaku, sandarkan kepalamu di bahuku, dengarlah degub jantungku yang bernyanyi lagu cinta untukmu… nana nanana, bernyanyi lagu cinta untukmu, na na nanananana… hanya untukmu, Laura, kekasih hatiku... na na...na na..." lagunya berakhir tetapi petikan gitarnya masih berdenting lembut.
"I adore you La," bisiknya dengan suara serak dan mesra.
"Ken… I love you."
"Tidurlah dengan nyenyak." Denting gitarnya masih mengalun dan mataku semakin berat, kupejamkan. Aku tahu, Ken menjagaku dengan jiwanya.
***