Pagi ini aku dan ibu mengurus pembaruan passport ke kantor imigrasi. Kami mengisi formulir dan smeletakkan semua dokumen yang diperlukan di konter penerimaan berkas.
Sekarang kami duduk menunggu antrian untuk membuat pas foto dan diwawancara oleh petugas.
"Bu, ceritakan tentang Jan, bagaimana ibu berkenalan?" aku ingin mengetahui lebih jauh tentang kekasih ibuku.
Ibu mengerling dan tersenyum.
"Pertama bertemu di Frankfrut bookfair dua tahun yang lalu, kami duduk bersebelahan dalam salah satu workshop" kata ibu.
Jan seorang penulis, sama seperti ibu sehingga percakapan mereka mengalir dengan lancar. Kata ibu mereka bertukar alamat email dan nomor telepon.
"Isi kepalanya yang membuat ibu kagum pada Jan. Karya fiksi Jan penuh satire, paradox, membuat pembaca harus berpikir untuk memahaminya. Ibu baca terjemahan bahasa Inggris, pasti akan lebih pas bila mengerti bahasa aslinya."
Pada berbicara, mata ibu berbinar-binar.
"Duda?" tanyaku. Oh apa mungkin pria usia 60-an belum pernah menikah dan melamar ibu? ini justru lebih gawat, pikirku.
"Duda bercerai, ada seorang anak laki-laki sudah dewasa. Mungkin anaknya seumur kamu, eh 29 tahun." jawab ibu.
Aku tertawa. Siapa menduga bahwa ibuku berpacaran dengan pria Belanda. Kisah cinta pasangan seumuran mereka pasti bukan seperti anak muda yang banyak menimbang dan menuntut, banyak harapan. Sekali ibu dan Jan mengikrarkan cinta, mereka berpikir untuk langkah selanjutnya. Menikah!
Mereka mencari teman hidup, merasa memiliki dan dimiliki, tidak berharap terlalu besar dan bisa saling menerima kekurangan pasangannya.
"Apa ibu dan Jan sudah membahas rencana pernikahan?"
"Dia sudah meminta, ibu mengulur waktu."
"Apa yang membuat ibu tidak segera menerima lamarannya?"
Ibu melihat padaku dengan tatapan yang dalam, tetapi tidak berbicara apa pun. Tiba-tiba aku menyadarinya.
"Karena aku ya?"
Ibu mengusap kepalaku lalu menepuknya.
"Bu…"
"Hemmm"
"Kalau ibu menikah lebih dulu tidak apa-apa." Kataku, tetapi hatiku terasa kosong, aku seperti ditinggalkan.
"Oh… ibu tidak mendesakmu, tetapi sebaiknya kamu memikirkan lebih serius untuk menerima salah satu dari mereka. Soal ibu, nanti bila tiba waktunya ibu akan tahu." Katanya.
"Mereka?"
"Kan kamu bilang bahwa Nuggie dan Hardy juga melamarmu. Sebaiknya Nuggie dicoret dari daftar. Tinggal pilih Kenny yang duda dan jauh, atau Hardy."
Dalam hatiku hanya ada Kenny. Aku tidak tertarik dan tidak mengenal Hardy.
Petugas memanggil nama ibu untuk diwawancara dan difoto di konter lima, tidak berapa lama kemudian namaku juga dipanggil untuk menuju konter delapan.
Proses wawancara dan foto berlangsung cepat.
"Dalam dua atau tiga hari passport akan siap, nanti ada pemberitahuan untuk proses pembayaran juga," kata petugas.
Kami kembali ke kantor dan tidak membahas soal pernikahan lagi. Ibu mengajak rapat untuk melihat draft edisi baru buku Pernikahan.
"Pada dasarnya sudah bagus, ilustrasinya juga cocok. Laura perlu baca sebagai penyelaras akhir. Periksa glosariumnya juga," kata ibu.
"Siap." aku menerima dummy dari Robby.
Ibu memilih lima buku lain yang akan dicetak secara digital, untuk kami bawa ke Belanda.
"Lakukan proses yang sama. Pekan kedua bulan depan harus selesai semua."
Diam-diam sambil rapat aku memesan layanan antar untuk makan siang. Makanan tiba persis ketika rapat berakhir.
Aroma Chinese food menyebar ke seisi ruang.
"Mantap, terima kasih Bu Silvia," kata Otty.
"Bukan saya."
"Oh…"
"Oray?" tanya Nuggie.
"Ya… hari ini tiba tiba ingin makan rame-rame," jawabku.
"Kalau sering sering kami senang juga La," seru Jessy.
"Tergantung keuangan, mari bekerja lebih keras supaya pendapatan kita juga naik." kataku.
Aku gembira melihat kami makan bersama dengan nikmat.
Di kantor hanya ada 10 karyawan, kesempatan seperti ini menjadi cara untuk mempererat hubungan.
"Sebentar, tadi saya bawa buah, bisa kita makan bersama," kata Like sambil berdiri da meninggalkan ruang rapat yang sekarang menjadi ruang makan dadakan.
"Aku juga ada bekal, daripada dibawa pulang, baik untuk digabungkan di sini. Masakan ibuku, dijamin enak ya teman-teman," kata Jessi.
Pada akhirnya di meja tersedia makanan yang melimpah dan kami menikmatinya sambil ngobrol.
"Jadi sekarang ada dua naskah baru yang akan kita kontrak, buku si Hendra dan satu buku tentang permainan saham. Buku ini judulnya menjual banget '10 cara bijak main saham' ditulis seorang pialang yang sukses." Kata Nuggie.
"Oh okay, kamu tahu bagaimana menyiapkannya." Kata ibu. Ibu mempercayai kemampuan Nuggie dan dedikasinya di perusahaan.
"Siap-siap ditinggal ibu lama, kamu mesti memimpin kantor," kataku.
"Ada kamu."
"Eh aku kan ikut ke Belanda."
"Maksudku, kamu segera pulang kan? Kalau ibu kita tidak tahu kelanjutannya."
Ibu membelalak kepada Nuggie. Dia baru memberi tahu keluarga tentang hubungannya dengan Jan. Belum ada karyawan yang tahu.
Aku mencoba mengalihkan perhatian mereka dengan membicarakan soal makanan.
"Ray, hp-mu bunyi," kata Nuggie menunjuk ponsel yang tergeletak di atas meja.
Pasti Kenny yang menelepon. Aku bergegas mengambilnya. Tetapi ternyata Hardy yang menelepon.
Aku mengabaikan teleponnya. Semua mata memandangku.
"Biar saja." Kataku.
"Kenny?" tanya Nuggie. Aku tidak menjawabnya, biar dia menduga sendiri sebab terllau banyak orang di ruang ini.
Hardy mengirim pesan.
" Laura, pasti kamu sibuk? Sudah makan? Aku mengirim makanan, sebentar lagi tiba di kantormu."
Aku meletakkan kembali ponsel di atas meja sudut dan bingung menanggapi situasi ini. Baru saja aku duduk, satpam kantor masuk membawa bungkusan besar
"Ada kiriman untuk Laura," katanya dan meletakkan bungkusan tersebut di atas meja.
"Masih ada satu lagi," dia bergegas keluar.
"Apa itu?" tanya Nuggie.
"Mari kita lihat, dari siapa?" kata ibu.
"Pastry, itu tertera di plastik pembungkusnya," kata Jessy.
"Tidak ada nama pengirim. Wow, Laura punya pengagum diam-diam." Kata Otty.
Hans, Satpam datang lagi dengan satu buket mawar merah.
"Nah… nahhh… ada yang jatuh cinta padamu," kata Otty.
"Dari siapa?"
"Tidak ada nama, petugas pengirimnya bilang dia hanya mengirim untuk Ibu Laura di PT Seinar Baru, alamat dan namanya betul."
Aku merasa lega Hardy tidak mencantumkan nama di paket-paket tersebut sehingga tidak ada yang mengetahui nama pengirim.
Ibu melihat kepadaku dan mengerti untuk tidak membahas pengirim bunga dan pastry itu sekarang.
"Nikmati saja pastrynya dan Melli, tolong letakkan bunga itu di dalam vas dan di meja sudut ruang rapat ini." Kataku kepada Melli.
Gadis itu mengangguk.
"Baik Kak," katanya sambil meraih buket bunga. Suaranya baru terdengar, sejak tadi dia tidak berbicara.
"Awas jangan kamu tumpahkan lagi,"seru Otty membuat langkah Melli terhenti.
"Saya tidak menumpahkan, kalau yang kamu maksud peristiwa itu," kata Melli dengan suara pelan. Semua menganggap Melli yang menumpahkan vas pada peluncuran buku meskipun bukti untuk menuduhnya tidak kuat.
Tetapi tidak ada yang mempercayai pernyataan Melli.
Nuggie memandang Melli lalu kepada Otty.
"Otty apa kamu melihatnya?" tanya Nuggie. Rekaman CCTV tidak memperlihatkan peristiwa tersebut karena ruangan gelap dan tubuh Otty menghalangi pandangan.
"Siapa lagi?" kata Otty.
"Sudah, jangan menuduh tanpa bukti," kata ibu.
Melli meninggalkan ruang dengan menundukkan kepala.
"Baik, kita kembali bekerja." Kata ibu.
Melli mengetuk pintu kamar kerjaku.
Aku mengangguk dan dia melangkah masuk. Di tangannya ada sepiring pastry.
"Ini untuk Kak Laura, semua sudah kebagian." dia meletakkan piring di atas meja, lalu meremas jari-jarinya.
"Oh… terima kasih." Kataku tanpa semangat.
"Kak Laura, apa kakak percaya bila saya katakan bahwa saya tidak menumpahkan vas bunga?" matanya memandang dengan penuh harap.
"Selama tidak ada bukti, aku percaya pada pernyataanmu yang pertama." Kataku.
"Kak, saya sedang mencari pekerjaan. Maaf jika sikap saya kurang sopan waktu itu. Tetapi saya tidak berbuat curang atau melakukan hal-hal bodoh dengan sengaja. Mungkin saya memang bodoh, tetapi saya tidak ada kepentingan apa apa untuk merusak buku-buku tersebut. Saya niat bekerja di sini." Kata Melli.
Penjelasannya masuk akal. Dia pasti tertekan sejak kejadian itu, oleh sebab itu dia menjadi pendiam.
"Terima kasih melli untuk penjelasanmu. Kamu bekerja sebaik mungkin selama masa percobaan agar kami bisa menilaimu." Kataku.
"Baik Kak Laura, permisi." Katanya lalu membalikkan badan dan pergi.
Pernyataan Melli membuat aku berpikir ulang, siapa yang memetik keuntungan dengan kejadian itu? Tidak ada yang diuntungkan ketika bukunya rusak, melainkan kami yang merugi. Siapa lagi yang dirugikan? tentu saja Melli, jadi pasti bukan dia pelakunya.
Pastry di piring mengeluarkan aroma harum yang menggoda, tetapi teringat kepada Hardy membuatku tidak ingin menyantapnya. Dia benar ketika berkata tidak mudah menyerah. Kurasa ini baru awal dari gerakkannya untuk menarik perhatianku. Wajah Kenny terbayang. Keduanya sama-sama tampan, tetapi aku lebih mengenal Kenny dengan kebaikan-kebaikannya, kecuali saat dia meninggalkanku.
Suara Kenny tadi malam kembali terdengar. Dia mengatakan akan terus memelukku. Kurasa aku memerlukannya. My Kenny...
***