"Laura… saya tidak mudah menyerah. Saat melihatmu di bandara aku jatuh cinta seketika . Tuhan Mahabaik, kita duduk bersebelahan. Tetapi hatiku terasa perih ketika melihatmu menangis. Saat itu aku berkata kepada diriku sendiri, kalau kamu jadi istriku, aku akan melindungimu dan membuatmu bahagia. Tak akan kubiarkan setitik pun air mata kesedihan keluar dari matamu yang indah." Suaranya terdengar menggoda dan mesra.
Kata-kata Hardy membuatku tertegun. Benarkah ada cinta pada pandangan pertama? Aku tidak pernah percaya, sebab menurutku kita akan jatuh cinta pada seseorang yang kita rasakan mempunyai kecocokan, sesuatu yang kita kagumi. Tentu saja tidak bisa kita dapatkan hanya dengan pandangan pertama.
"Hardy, kamu sungguh lucu, kata-katamu menghibur namun aku termasuk yang tidak percaya cinta pada pandangan pertama."
Kurasa supir grab mendengar percakapan kami, dia menahan senyum.
" Sebelum ini aku juga tidak percaya pada kebetulan, mengapa kemudian kita bertemu lagi? Ini adalah takdir kita Laura, manisku. Aku benar-benar jauh cinta saat melihatmu di bandara."
Aku tergelak mendengar rayuannya.
"Tak kusangka seorang dokter bisa merayu." kataku.
"Coba kamu bercermin dan tersenyum, lihatlah bayanganmu, senyummu sangat manis."
"Dok, aku sedang dalam perjalanan, nih pak sopir mendengar percakapan kita sampai perutnya sakit menahan senyum."
Sopir melihatku dari kaca spion.
"Maaf bu…maaf bukan mau ikut campur tapi saya mendengarnya." Dia menjadi gugup.
"Tidak apa-apa Pak, silakan tertawa karena memang lucu kan?" kataku.
Si bapak sopir tertawa malu-malu.
"Laura, tega benar kamu… Aku serius ini bukan main-main. Sejak pertemuan kedua dimana pun aku seperti melihat dirimu." Hardy terdengar merajuk. Sebenarnya aku menjadi bingung dan tidak nyaman, tetapi aku harus bersikap seolah-olah tidak terpengaruh oleh rayuannya.
"Laura, beri aku kesempatan. Tahun depan aku balik dan kita bisa menikah. Maaf aku tidak suka basa-basi. Selain itu aku takut bila ada pria lain yang mendahului melamarmu."
Setelah lima tahun menepi dari pergaulan, aku fokus bekerja, hanya Nuggie laki-laki yang dekat denganku. Nuggie juga terus menerus mendesak untuk menjalin hubungan tetapi aku tidak pernah meladeninya. Sekarang hanya dalam waku satu bulan, dua pria sudah melamarku, benar-benar melamar untuk mengajak menikah.
"Pernikahan tidak semudah itu Hardy, kita tidak saling kenal." Kataku.
"Aku setuju, oleh sebab itu mari kita saling mendekat untuk bisa mengenal. Ibu dan adik-adikku semua suka padamu." Kata Hardy.
"Hardy, terima kasih. Kita sambung lain kali ya aku sudah hampir turun dari mobil," kataku.
"Peluk sayang untukmu. I adore you." Dia memberi kecupan pada telepon.
Kurasa wajahku menjadi hangat karena jengah. Seumur-umur baru dengan Ken aku berpacaran dan idak pernah dekat dengan pria lain. Sikap Hardy yang agresif agak mengintimidasiku. Dia terlalu percaya diri. Mungkin prestasinya sebagai dokter membuat dia yakin banyak perempuan akan mudah tertarik kepadanya.
Hardy tampan, muda, kaya, dokter, cewek mana yang tidak tertarik kepadanya? Tetapi ini justru membuatku penasaran, karena dengan statusnya tersebut, kenapa dia belum punya istri atau pacar .
Aku mematikan telepon dan membuang nafas kesal.
"Huhhhh."
Mata sopir grab bentrok denganku. Kuperhatikan dia juga masih berusia 30an.
"Apakah pria semua pandai merayu seperti itu?" tanyaku.
"Kurang tahu, saya tidak pandai, buktinya saya tidak berani mengatakan cinta pada cewek yang saya taksir," katanya.
"Haha… jadi bapak bisa belajar dari teman saya tadi," kataku.
"Kalau sudah di depan dia, saya lupa mau bicara apa." Katanya.
"Puji puji senyumnya, matanya, kebaikannya… itu ampuh. Tadi saja saya bimbang. Untungnya saya sudah punya seseorang yang saya cintai," kataku.
"Benar Bu." Katanya.
"Stop di depan ya Pak, yang pagar hitam ada pohon palemnya." Kataku.
Aku mengemasi barang dan membuka pintu, tiba-tiba sopir berkata:
"Tadi dokter ya Bu, enak kan jadi istri dokter duitnya banyak dan sapaannya 'bu dokter', padahal tidak ikut jadi dokter." Katanya.
Aku tertawa.
"Nggak ada feelingnya."
Tanganku sarat bawaan, tiga sepatu, satu tas, sekantung buah, kue… humhhh begini kalau sedang kalap belanja.
"Bu… sudah makan?" teriakku ketika masuk ke rumah. Ibu sedang duduk membaca buku.
"sudah, tetapi aku tahu kamu membawa cheese cake jadi sudah disediakan ruang khusus di perut ibu."
Kami tertawa bersama. Aku meletakkan barang belanjaan di sofa dekat ibu dan membawa makanan ke meja makan.
"Yuk Bu," kataku.
" Belanja apa saja itu?"
"Sepatu."
Aku mengangsurkan kotak cake kepada ibu dan membuka boks wanton serta menyorongnya ke tengah juga satu mangkuk salad.
"Ini kita makan sama-sama," kataku.
"Sebentar, ini harus sambil minum kopi. Kamu mau?"
"No, thanks." Kataku. Ibu membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri.
"Hmmphhh…" mata ibu terpejam dengan ekspresi manja ketika dia memasukkan sesendok kecil chese cake kesukaannya.
Tiba-tiba kusadari bahwa ibu tidak setua yang kubayangkan. Dia cantik dan menarik, tentu saja Jan van Dijk jatuh cinta kepada ibuku.
"Bu…"
"Ya?"
"Tadi Hardy menelpon." Aku menyuap makanan dan mengunyahnya sementara ibu menanti kelanjutkan kalimatku.
"Masak dia bilang ingin mengajakku menikah."
"Hah… secepat itu dia bicara? Kamu jawab bagaimana?" mata ibu melebar.
Aku menggelengkan kepala.
"Kukatakan terus terang, tak ada feeling, dan mengajaknya berteman saja."
Ibu kembali melanjutkan memakan kuenya pelan-pelan. Terlihat dia berpikir.
Kami saling menatap dan hanya mulut yang aktif mengunyah.
"Nak, kurasa memang cintamu hanya pada Ken." Ibu berkata sambil menggoyangkan sendok di tangannya.
"Hmmm…"
Kenny, memang dia sudah mengambil seluruh cintaku. Aku tidak berhenti memikirkannya. Menjelang tidur aku menunggu telepon dari Kenny, seperti biasa sekitar pukul 10 dia menelepon dan kami bercakap-cakap sampai aku mengantuk.
Kali ini aku menantikannya. Aku membayangkan wajah Kenny yang tersenyum, saat dia cemberut bahkan ketika matanya menatap tajam karena marah. Kenny pernah sangat marah karena cemburu. Mskipun ketika itu dia marah, matanya menatap tajam dan bibirnya terkatup erat, aku tidak takut kepadanya. Aku tahu bahwa sikapnya seperti itu karena dia mencintaiku dan tidak ingin kehilangan aku. Kegelisahan Kenny justru membuat aku gembira karena merasa dibutuhkan. Aku ingin merasakan hal itu kembali, membayangkan seseorang yang menantiku, seseorang yang mengharapkan atau menunggu kedatanganku.
Kuraba tubuhku seakan Kenny memelukku, mengusap pipiku dan mengusap bibirku. Kehangatan tubuhnya dan dan… ciumannya yang lembut.
"Ken…" desahku.
Aku merindukannya, aku mengharapkan kehadiran Ken sekarang juga untuk memelukku dan menenangkanku. Apakah dia akan datang atau dia sudah meninggalkanku lagi. Kupikir apakah aku mulai sinting ketika mengharapkan kehadirannya?
Teleponnya masuk.
"Ken…" kataku. Terdengar suaraku yang serak.
"La? Kenapa?"
"Ken… aku… aku… " tiba tiba aku menangis, aku ingin mengatakan kepadanya bahwa aku rindu dan ingin dipeluk, tetapi aku khawatir dia akan menertawakanku.
"Apa yang terjadi? Kamu di rumah?" terdengar suara Kenny cemas.
Aku terisak tidak tahu apa yang harus kukatakan.
"Jangan menangis, aku di sini." Kalimat Ken sungguh menghibur. Dia ada untukku. Keberadaannya untuk menghiburku. Tetapi tangisku tidak dapat berhenti, aku benar-benar merindukannya dan menyadari bahwa tiba waktunya bagiku untuk berkata "Ya" kepadanya, meski kekhawatiran tetap ada.
Kekhawatiran itu akan terus ada sampai aku menjalani dan membuktikan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"I … I…want a huggy…" akhirnya aku berani mengatakannya.
"I am here Laura…"
"Huggy … huggy me…" tangisku meledak.
"Jangan menangis Laura, I was constanly hugging you…"
Aku teringat paradox cinta Bunda Teresa, bila kita menyukai sampai terasa sakit, maka tidak ada lagi yang lebih menyakitkan selain semakin mencintai.
" I'm hugging you, no more tears" suara Kenny yang dalam menyejukkan dan menenangkanku. Aku seperti berada di dalam pelukannya dan mendengarkan degub jantungnya.
***