Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 33 - I don't have any feelings for you

Chapter 33 - I don't have any feelings for you

"Bu aku pulang sendiri, ada janji makan sama teman di mall," kataku.

Aku tidak punya janji tetapi sedang ingin sendiri dan mencari suasana baru. Belanja adalah salah satu kesenanganku.

"Okay, atau kamu yang bawa mobil, ibu bisa pulang dengan taksi."

"Tidak usah, malas cari tempat parkir, terima kasih. Ibu mau dibelikan apa?"

"Apa ya? Buah saja."

"Tidak ingin blue berry cheese cake?" aku tahu kesukaan ibu, dia pasti sulit menolak yang satu ini. Benar saja, bibir ibu melengkung ke atas, senyum yang cantik. Aku mengangguk.

"Sampai nanti." Kataku sambil meninggalkan ruang kerja ibu.

Ada taman di belakang mall, ruang terbuka yang nyaman dan di tengah-tengahnya ada air mancur serta bangku-bangku taman untuk menikmatinya. Beberapa pohon cemara berjajar di tengah boulevard menuju air mancur. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman tersebut sebelum hari menjadi gelap. Langkah kakiku mengikuti trotoar di tepi boulevard yang ditanami palem-palem menjulang tinggi berdampingan dengan tiang-tiang lampu tenaga matahari. Setelah berjalan hingga ke ujung boulevard, aku terus melangkah mengikuti bundaran untuk memilih bangku yang kosong, menghadap air mancur. Udara bersih dan angin bertiup lembut sesekali membawa uap air dari air mancur di depanku.

Dari tempatku duduk terlihat beberapa keluarga muda dengan anak-anak mereka, salah satu yang menarik perhatianku adalah seorang anak laki-laki yang sedang berjalan. Dia tidak berhenti tertawa mencoba berjalan kian kemari sedangkan ayahnya mengikuti dari belakang. Suara tawanya bersahutan dengan decit dari sepatunya. Banyak orang yang gemas melihat bocah itu.

Tepat di kursi sebelahku ada pria muda, mungkin lebih muda dariku, membawa anjing pudel berwarna coklat. Tubuh pria itu yang tegap terbungkus kaos spandek ketat yang menonjolkan dada bidang dan sick packnya. Penampilannya sangat kontras dengan si pudel yang dipanggilnya dengan nama "Neo". Beberapa rombongan gadis muda yang lewat di depannya digongongi oleh Neo. Dua gadis berhenti sejenak, menepuk kepala Neo dan mengusap lehernya. Ekor Neo bergoyang cepat, demikian pula pantatnya. Aku tersenyum melihat mereka. Cara yang jitu dari majikan Neo untuk menarik perhatian gadis-gadis.

Matahari semakin rendah ke cakrawala menyisakan sinar kuning emas yang memantul pada awan-awan, bahkan awan putih di sebelah timur terlihat seperti bercahaya dengan warna jingga.

Pemandangan seperti ini dapat kita nikmati hampir setiap saat, tetapi kesibukan sering menyebabkan keindahan tersebut luput dari perhatian. Di Pulau Bunga pemandangan alam yang cantik lebih sering bisa dinikmati dari halaman rumah, tidak perlu pergi jauh-jauh. Dari jendela kamar pun aku sering melihat burung nuri ekor putih yang bertengger di dahan pepohonan. Apabila terbang berpindah ke dahan atau pohon yang lain, nuri putih itu terbang rendah dan menyentakkan tubuhnya dalam setiap kepakan sayap. Ekornya yang Panjang membuatnya harus menjaga keseimbangan seperti itu.

Dari rumah baru Kenny di atas bukit pemandangan laut terpampang di depan sedangkan di belakang terlihat puncak gunung yang memunggungi kota pelabuhan tersebut. Kurasa, bulan purnama pasti terlihat cantik di atas laut.

Kenny membangunkan keinginanku untuk tinggal di Pulau Bunga dengan kehidupan yang berjalan lebih lambat dibandingkan kehidupan kota besar.

"Berkeluarga itu menyenangkan." Kata ibu beberapa hari yang lalu.

Duduk sendiri di tengah keramaian pengunjung taman dan melihat kesibukan orang-orang, membuat aku berpikir ulang tentang tujuan hidupku.

Sedari kecil di kepalaku tertanam konsep, aku perempuan, kelak akan menikah dan menjadi ibu. Ayah pernah membelikan kami boneka bayi yang berukuran persis seperti bayi berumur satu-dua bulan. Aku dan Farina memainkan boneka itu seperti seorang adik bayi yang kami jaga dan rawat dengan kasih sayang.

"Ray, kita main rumah-rumahan, kamu jadi ibu, aku jadi ayah, ini anak-anak kita, kembar," usul Farina suatu hari.

"hemmm mari kita beri nama anak-anak kita ini."

"Punyaku Cinderella," Farina tertawa gembira karena dengan cepat menemukan nama yang disukainya.

"kalau gitu punyaku Mirabella," kataku.

Aku tersenyum sendiri mengenang interaksi kami dengan Cinderella dan Mirabella. Kedua boneka itu kami rawat baik-baik sampai kami dewasa masih tersimpan di lemari hias di dalam kamar.

Miranbella pindah tangan ke seorang pasien anak di rumah sakit sedangkan Cinderella dihadiahkan kepada anak pembantu di rumah, ketika Farina akan menikah.

Gadis cilik itu protes kepada Farina.

"Tante akan menikah nanti punya anak dan jadi orang tua, kenapa masih main boneka?" kata Karin sambil menunjuk boneka di kamar Farina.

Kami melihat Farina tertegun mendengar kata-kata gadis kecil itu, dia memandangku dan kepada ibu lalu kembali menatap Karin.

"Sungguh berat melepaskannya, tetapi Karin benar, sebentar lagi aku punya Cinderella sendiri," kata Farina sambil mengambil Cinderella untuk diserahkan kepada Karin. Gadis itu tertawa senang dan memeluk boneka barunya erat-erat.

Aku masih mendengar suara sepatu berdecit-decit itu. Membayangkan, jika lima tahun yang lalu aku menikah mungkin sekarang sudah mempunyai dua anak. Bila ada anak laki-laki, dia juga akan memakai sepatu serupa saat belajar berjalan dan Kenny akan memapahnya sampai anak itu mampu berjalan sendiri.

Paru-paruku terasa penuh udara sehingga aku mengembuskannya dengan nafas Panjang. Ada rasa pedih ketika membayangkannya.

Kenny telah melanggar janjinya dan meninggalkan aku.

Sekarang dia mengajakku membangun mimpi-mimpi itu kembali tetapi aku meragukan kesungguhannya. Aku takut terluka kembali, aku takut ditinggalkan kembali.

Rasa takut hanya akan diatasi dengan menjalani dan melewatinya. Haruskah aku menikah sekarang?

Aku meneguk air dari tumbler. Suara-suara di sekitarku masih ramai, lampu-lampu menyinari sudut-sudut taman. Semakin malam semakin banyak orang berkunjung ke taman yang disediakan oleh pengelola mall. Banyak orang berdiri menghadap air mancur yang sekarang terlihat berkilau dengan warna-warni lampu yang berganti-ganti. Dua menit lagi air mancur akan menjadi atraksi menarik, setiap jam air mancur akan menari-nari dan berubah bentuk diiringi musik yang bergaung dari pelantang di beberapa sudut taman.

Kuputuskan untuk menikmati atraksi tersebut. Kali ini aku menjadi rindu pada Kenny, karena air mancur menari dengan iringan lagu Canon in D dari Pachelbel, lagu kesukaan Kenny.

Ah, Kenny selalu mengikutiku ...

Kalau dia di sampingku, kami akan berpelukan menikmati atraksi ini, seperti pasangan-pasangan yang ada di sekitarku. Apakah aku iri?

Aku masuk ke mall dan menghibur diri dengan membeli tiga pasang sepatu dan satu tas. Sepatu-sepatu itu kusiapkan untuk kunjungan ke Belanda. Satu sepatu yang nyaman untuk bejalan kaki, satu sepatu resmi dan satu sneaker.

Setelah belanja aku membeli oleh-oleh untuk ibu , buah dan cake serta beberapa snack lain untuk kami nikmati Bersama.

Di dalam taksi aku menerima telepon dari Hardy.

"Hello Laura, apa kabar? Aku sedang berpikir apakah banyak teman-temanmu di Pulau Bunga?"

"Tentu saja… sebutlah siapa yang kamu kenal, mungkin aku juga kenal. Kota kecil itu dan aku tinggal menetap selama enam bulan, lalu beberapa kunjungan lain."

"Kamu tidak rindu datang lagi ke sini? Aku sedang makan di kafe Richard," katanya.

"Oh sampaikan salamku kepada Richard dan Adriana, I love them."

"Sepertinya mereka menunggumu untuk kembali ya? Tetapi bagaimana jika aku menawarkan kehidupan lain di kota? Brand new life"

Aku tersentak mendengar pertanyaannya.

"Maksudnya?"

"Tinggalkan Kenny, aku akan menikahimu.

"Hardy, kamu tidak mengenal saya," jawabku dengan tertawa getir.

"Aku dikenal punya naluri yang bagus, feelingku, aku cocok denganmu. Mau mempertimbangkannya?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"I don't have any feelings for you. Jangan salah, aku senang berteman denganmu."

Kurasa aku harus menunjukkan sikap tegas kepadanya.

Feelingku masih pada Kenny.

"Laura, aku tidak akan menyerah!"

***