Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 31 - Keangkuhan

Chapter 31 - Keangkuhan

Kami masih bercakap-cakap dengan topik melompat-lompat dan dr. Herliana meminta Hardy bermain piano. Disadari atau tidak, sikapnya agak berlebihan untuk menunjukkan kemampuan anak-anaknya. Mungkin ini kebanggaan seorang ibu.

Dr. Herliana dan ibu sama-sama menjadi orang tua tunggal setelah suami mereka meninggal dunia. Mungkin keadaan itu yang membuat kedua perempuan itu merasa senasib dan menjadi cepat akrab.

Hardy lebih serius dan memainkan lagu klasik karya Johan Sebastian Bach. Aku tidak mengenali lagunya bila Hardy tidak menyebutkannya.

Seorang ibu pasti bangga, punya anak cakep, jadi dokter dan pandai bermain musik.

"Seperti jarimu ada matanya ya, begitu lincah dan ketukannya pas. Terima kasih," kataku ketika dia mengakhiri permainannya dan kembali duduk di sebelahku.

"Thanks, aku senang kalau kamu suka, ada improvisasinya tadi, " katanya sambil menepuk bahuku.

"Hardy sejak SD kelas dua belajar main piano. Hanya Ninis yang tidak mau belajar piano, dia bermain biola," kata dr. Herliana. Dia masih ingin mengatakan sesuatu ketika teleponnya berbunyi, lalu dia menerima telepon dan keluar ruang.

"Tapi aku main musik sekedar hobi, bukan pemusik professional," kata Hardy lagi.

"Tapi bagus sekali. Jadi kapan tugasmu selesai di Pulau Bunga?" tanyaku.

"Satu tahun lagi."

"Lalu?"

"Um aku akan mengambil spesialis."

"Spesialis apa?"

"Bedah."

"Oh semoga sukses."

"Thanks, Laura."

Dr. Herlina kembali ke ruangan, dia bercerita mengenai salah seorang pasien anak-anak yang dalam keadaan kritis sehingga dokter jaga berkonsultasi kepadanya.

"Begitulah tugas dokter, tidak ada hari libur," katanya sambil tertawa lebar.

"Tugas penuh pengabdian, terima kasih dok," kata Audrey.

"Betul. Dokter sangat diperlukan oleh masyarakat," kata ibu, membuat kedua dokter tertawa lebar.

Ninis masih mengeluarkan hidangan penutup dan kami melanjutkan percakapan hingga hidangan terakhir.

"Ninis, nak, kamu kerja keras sekali. Duduklah bersama kami," kata ibu kepadanya.

"Terima kasih Tante, saya menikmatinya. Sekalian latihan kalau nanti membuka resto," dia tertawa memperlihatkan deretan gigi yang rapi.

"Kapan dan dimana?" tanyaku.

"Di mall Prima, masih menata interior, mungkin dua bulan lagi." dia terlihat bersemangat.

"Undang ya nanti," kataku.

"Pasti!" Ninis menceritakan konsep rumah makannya yang akan menyuguhkan bahan makan sesuai musim, sehingga menunya akan mengikuti musim.

"Makan malam yang istimewa, terima kasih, tampaknya sekarang kami harus berpamitan," kata ibu setelah kami menghabiskan semua hidangan.

" Kami juga senang Bu Silvia dan Laura bersedia hadir. Semoga persahabatan kita menjadi lebih erat," kata Herliana.

Kami berpamitan dan meninggalkan rumah putih itu.

**

"Feeling ibu benar kan? Dia ingin menjodohkan anaknya denganmu," kata ibu, membahas percakapan dengan keluarga dr. Herliana.

"Aduh Bu, paling itu basa-basi dan kelepasan bicara, ibu yang memulai sih," kataku sambil mata berkonsentrasi ke jalan. Lalu lintas sudah mulai sepi. Aku suka menyetir di kota pada hari Minggu karena tidak macet. Mungkin warga kota lebih banyak tinggal di rumah pada Minggu sore.

"Menurutmu bagaimana? Si Hardy ini?"

"Hardy ya… dia ganteng!" jawabku membayangkan wajah pria itu.

Tidak ada yang kebetulan, ketika hari itu kami duduk bersebelahan di pesawat dari Pulau Bunga. Aku teringat dia mengantri di belakangku saat check in dan membantu mengangkat bawaanku. Dia juga mengulurkan tisu ketika melihatku menangis. Bertemu dan berbicara dengan seseorang di dalam perjalanan dengan pesawat bukan hal yang aneh. Aku sering bercakap-cakap dengan penumpang yang duduk di sebelahku. Tetapi biasanya aku tidak memberikan data diri dengan benar. Aku menyukai momentumnya untuk mengembangkan imajinasi dengan menyebut diriku memakai nama lain, profesi lain, status lain. Toh, kami tidak akan bertemu lagi. Namun siapa yang menduga bahwa kemudian kami berjumpa kembali hanya dalam waktu kurang dari dua pekan setelah pertemuan itu.

Pertanyaan ibu membuatku berpikir, bahwa ibu ingin aku segera menikah. Setiap orang pasti memikirkan kepentingan dirinya lebih dulu baru memikirkan orang lain. Namun, ibu sudah sekian lama mendahulukan kepentingan anak-anaknya. Usianya 52 tahun dan jika dia menikah lagi, ibu mencari teman hidup. Dia tidak salah dan dia berhak mendapatkan hidupnya.

"Bu… kita baru kenal dengan mereka, kita tidak tahu apa-apa tentang Hardy, sikapnya, hatinya… dia belum menikah padahal usianya 30an kan? Mengapa, semua harus dicari jawabannya," kataku.

"Iya, ibu hanya memikirkanmu. Selama ini ibu tidak pernah mendesak karena ibu pikir kamu masih memulihkan diri. Banyak laki-laki baik dan kamu layak juga mendapatkannya."

"Terima kasih untuk perhatiannya," kataku.

Kami membisu. Aku menikmati deru mesin mobil yang halus dan konstan.

Pernikahan pernah menjadi angan-anganku. Aku sungguh siap untuk menikah dengan Kenny, malahan kami sudah membahas, kapan merencanakan mempunyai anak dan akan berapa anak yang kami harapkan. Aku sudah siap untuk meninggalkan kota besar dan pindah ke Pulau Bunga, untuk menjadi istri Kenny. Siapa yang sangka bila harapan itu akhirnya hilang.

- Seeorang yang tega menyakitimu, berarti dia tidak menyayangimu, tinggalkan dia – pikiran seperti ini menyebabkan aku sulit menerima permintaan Kenny untuk kembali.

Tetapi sekarang aku merindukannya.

Orang yang meminta maaf dan mengakui kesalahannya, layak mendapat kesempatan. Bila aku mencintainya, mengapa aku meragukan Kenny?

Aku sudah memberikan cinta dan jiwaku kepadanya, kukira Kenny juga begitu, tetapi ketika dia memilih perempuan lain aku menjadi tidak mengerti tentang hubungan kami.

Tiba di rumah hari belum terlalu malam, tetapi baik ibu maupun aku, segera masuk ke kamar masing-masing.

Kuperiksa ponselku, tidak ada pesan dari Kenny. Apa yang terjadi? Apakah dia sudah menyerah untuk mendekatiku kembali?

Aku mematikan lampu kamar dan menatap langit-langit di dalam keremangan lampu kecil untuk tidur.

"Mari kita petik bintang-bintang…" ajakan Kenny terdengar kembali, juga gambaran rumah putih di atas bukit yang telah dibelinya.

Tatapan mama yang memohon dan berharap aku untuk menikahi Kenny serta tinggal bersama mereka, dorongan dari Richard dan Adriana, neneknya yang renta dan Siska, tantenya yang memberi kami sepasang selendang. Semua mengarah pada keinginan agar kami menikah.

Aku perlu waktu untuk menjadi yakin akan kesunguhan Kenny.

Tanganku menggenggam ponsel, ingin sekali menekan nomor Kenny dan meneleponnya tetapi rasa angkuh menghalangiku. Seharusnya Kenny yang menelponku.

Sampai saat ini, aku merasa memiliki status yang lebih tinggi dibanding Kenny. Aku berpendidikan lebih tinggi dari dia, aku dari kota metropolitan, tidak berkekurangan secara finansial dan aku mampu hidup mandiri. Banyak perempuan yang menikah untuk mencari jalan keluar dari kesulitan hidup. Mereka menggantungkan hidup kepada suami. Seringkali aku merasa iba kepada para perempuan seperti itu, mereka tidak memiliki pilihan. Perempuan seperti ini, yang sepenuhnya bergantung kepada suami mereka, akan terpuruk ketika suaminya meninggalkannya, entah karena meninggal dunia atau meninggalkannya begitu saja. Ada yang bisa bangkit dan menjadi mandiri, tetapi banyak pula yang semakin buruk nasibnya.

Sejak kami kecil, ibu sudah menyiapkan kami untuk tumbuh menjadi perempuan yang mandiri, apalagi setelah ayah meninggal dunia, ibu memberi contoh nyata, bahwa kami sebagai perempuan harus mampu menopang hidup sendiri. Baik bila memiliki suami yang bisa memberi kita cinta, perhatian dan kebutuhan hidup, tetapi ibu menyiapkan kami untuk menghadapi situasi yang tersulit.

Ajaran ibu telah menempa kami, aku dan Farina, sehingga harus diakui, kami mungkin menjadi sedikit angkuh, karena merasa mampu mengurus diri sendiri.

Lalu apakah aku tidak membutuhkan laki-laki?

Kemanjaan yang pernah kunikmati saat bersama Kenny, memberikan kebahagiaan yang luar biasa. Aku merasa dibutuhkan, dicintai, dilindungi, ada seseorang sebagai teman berbagi.

Senyum Kenny terbayang juga suaranya ketika menyebut namaku dengan L yang berat. Tatapan matanya yang bermagnet, yang membuatku tersipu-sipu. Pelukan Kenny yang luar biasa memberikan rasa aman juga sentuhan-sentuhannya. Aku merasa berharga karena sanjungan dan pujiannya. Kenny yang memanjakanku, membuatkan kopi dan telur dadar di pagi hari…

Apakah kami bisa memulai kembali? Aku kehilangan kepercayaan diri karena Kenny menempatkanku sebagai orang kedua. Dia telah membuat perbandingan dan menentukan pilihannya. Dia sekarang seperti para perempuan yang lemah dan tidak punya pilihan, setelah istrinya meninggal, maka dia mengambil pilihannya yang kedua, aku!

Kupejamkan mata dan mencoba menenangkan diri. Semakin lama aku memikirkan Kenny seperti ini, maka aku semakin yakin bahwa memang dia hanya ingin memanipulasiku. Aku membayangkan wajahnya, matanya yang bening dan senyumnya yang tulus. Aku ingin keluar dari diriku sendiri, mencoba memandang Kenny dengan cara yang berbeda.

Meskipun Hardy berwajah lebih tampan dari Kenny, tetapi dia adalah orang asing bagiku.

Aku sama sekali tidak mengenalnya.

"Laura, kurasa sebaiknya kita lebih sering bertemu," tadi Hardy mengatakannya, ketika mengantarku sampai ke pintu mobil.

"Okay, kabari saja bila ada di sini," kataku, mencoba bersikap sopan.

Mataku terasa berat…

Ponselku berbunyi, alarm pesan WA.

Fiona mengirim pesan."Telah meninggal dunia dalam damai, nenek kami Asteria (84), Sabtu 15 Agustus."

"Rest in Peace untuk Nenek Asteria." Balasku.

Mataku semakin berat… terbayang wajah nenek Asteria saat terakhir aku dan Kenny menjenguknya.

"Waktunya sudah tepat, aku senang kalian bersama…" kalimatnya terakhir sebelum kemudian dia memejamkan mata, tidur.

***