"La, nanti kamu nyetir ya, biar Jo libur," kata ibu, tiba-tiba sambil mengetuk dan berdiri di ambang pintu kamar.
Aku tergagap.
"Eh iya… jam berapa kita pergi?"
"Undangan pukul 5.30, menurutmu berapa lama kita akan tiba di sana?" ibu balik bertanya.
"Kalau begitu kita berangkat pukul empat, singgah beli oleh-oleh dulu," kataku.
Ibu masuk dan duduk di sebelahku.
"Kita belikan cake atau buah?"
"Dua macam itu boleh juga, Matcha cake kesukaan kita itu dan buah pir, anggur serta apel satu keranjang kecil." Aku mengusulkan.
"La, kamu baru menangis?" ibu mengamati wajahku. Tidak ada gunanya membantah, bukti sudah didapatnya.
Aku mengangguk lalu memeluk tubuhnya untuk merasakan tubuh ibu yang lembut dan usapan tangannya di punggungku yang menenangkan.
"Apakah karena urusan ibu?"
"Tidak Bu, ini lebih tentang diriku sendiri."
Aku tidak ingin ibu merasa terbebani oleh tanggapan kami. Farina benar, ibu layak mendapatkan kebahagiaan dengan cintanya yang baru.
"Laura, bagi ibu, kalian berdua lebih penting, juga anak mantu dan cucu ibu. Kalau kalian tidak ingin ibu menikah lagi, ibu akan mundur." Katanya.
"Jangan Bu, kami juga senang melihat ibu berbahagia…"
Ibu menemukan pria lain yang dicintainya dan pria yang juga mencintainya. Perasaan cinta itu pasti sama dengan yang aku rasakan, ada kebahagiaan yang tidak terbilai ketika kita merasa dicintai dan mencintai.
Aku teringat ketika pertama kali Kenny menyatakan cintanya.
Saat itu aku menghampiri Kenny yang sedang bermain gitar di beranda samping. Dia melihatku datang, menggeser duduk untuk memberiku ruang tetapi tangannya terus memetik dawai gitar. Aku melihat jari-jarinya yang lincah bergerak, jari kanan memetik dawai sedangkan jari kiri memainkan kunci nada.
Jarinya yang mempesona membuatku menatapnya terus, dan tanpa kusadari aku mencondongkan tubuh terlalu dekat. Dari jari dan lengannya, pandanganku beralih ke wajahnya yang terlihat serius. Bulu matanya lentik, hidungnya runcing sempurna, bibirnya yang bergerak dan dia bersenandung! Tiba-tiba dia berhenti dan tangannya mengusap wajahku.
"Hei…melamun!" serunya. Aku mendongak dan cepat-cepat menutup mulutku yang tadi terbuka. Mata kami bertatapan.
"Itu lagu apa…aku sering dengar tetapi tidak tahu judulnya." Kataku.
"El Condor Pasa."
"Oh…"
"Ada kisah menarik tentang lagu ini, semula dikira lagu yang tidak dikenal penciptanya, sampai Simon and Garfunkel menulis lirik baru berjudul 'If I Could', tetapi kemudian ada yang menuntut mereka dengan tuduhan pelanggaran hak cipta. Rupanya itu lagu diciptakan pada 1913 dan hak cipta di Amerika Serikat sudah didaftarkan pada tahun 1933."
"Lalu?"
"Ahli warisnya meminta pengakuan karya ayahnya, tetapi mereka tidak bermusuhan dengan Simon & Garfunkel, karena pelanggaran dilakukan akibat ketidaktahuan."
"Baguslah."
Aku menatap Kenny dengan takjub. Meskipun dia tinggal di pulau kecil, di kota kecil yang jauh dari ibukota, tetapi Kenny mempunyai pengetahuan yang luas. Berbicara dengannya selalu mendapatkan hal-hal baru. Pantas sekali dia menjadi guru.
Kenny memainkan lagu baru sambil matanya lekat menatapku, seperti berbicara langsung ke hatiku. Aku merasakannya, suatu perasaan yang membuatku melayang-layang. Kucoba menghindari tatapannya, tetapi baru beberapa detik mata kami saling mengunci kembali.
"Laura, this song for you," katanya di tengah petikan gitarnya.
Aku tidak memahami maksudnya, apakah dia menciptakan lagu untukku? Tetapi kemudian kusadari bahwa Kenny menyanyikan lagu "Falling in Love With You."
Ketika lagunya berakhir, Kenny meletakkan gitar dan meraih tanganku.
"Ken…" aku menarik tanganku tetapi Kenny menggenggamnya dengan erat.
"Laura, apakah kamu bisa mengerti?"
Aku tidak menjawabnya, terlalu malu dan gugup. Aku tidak pernah berpacaran tetapi jujur saja aku juga jatuh cinta padanya, terutama setelah kami pergi ke gunung waktu itu. Genggaman tangannya, perhatiannya dan kesabarannya juga sikapnya yang bijaksana semuanya kusukai.
Sore itu Kenny mencium bibirku dengan lembut, tetapi aku terlalu gugup dan malu sehingga aku berlari masuk ke kamar.
"Nak, kamu sudah tersenyum berarti sudah tidak sedih lagi." Tepukan tangan ibu di pahaku menyadarkanku dari lamunan tentang Kenny.
" Nah ayo siap-siap, bagaimana jika kita pergi sekarang, cream bath dulu supaya segar kepala dan rambut," usul ibu.
"Betul Bu, sudah lama tidak perawatan rambut." Kataku.
Kami segera berangkat ke salon kecantikan, memanjakan diri melakukan perawatan rambut, kuku kaki dan tangan.
"Apakah jika ibu nikah, ibu akan tinggal di Belanda?" aku bertanya sedikit berbisik pada ibu yang duduk di sebelahku. Dia menjawab dengan lirikan mata.
Aku tersenyum kepadanya, menggoda ibu rupanya asyik juga.
"Kenapa kamu tersenyum?"
"Muka ibu merah." Sekarang matanya membelalak.
Selesai dari salon kecantikan kami menuju toko kue membeli matcha cake lalu ke toko buah.
Ibu memilih buah-buah dan keranjang mungil dari anyaman rotan.
"Laura, menurutmu mengapa dr. Herliana mengundang kita makan?"
"Bukannya sudah jelas maksudnya untuk berterima kasih atas penerbitan bukunya?"
Ibu menggelengkan kepala .
"Rasanya ada sesuatu, feeling ibu begitu."
"Apakah itu?"
Ibu menunjuk dadaku.
"Semoga dapat pesanan buku baru." Aku tertawa.
Rumah mereka terlihat menyenangkan. Semua bercat putih, tembok dan bingkai pintu, jendela, tirai serba putih. Di dalam ruang banyak tanaman hijau di dalam pot-pot rotan.
Mereka sekeluarga dan Audry menyambut kami dengan ramah. Dokter Herliana, berdiri bersebelahan dengan Hardy, di sebelahnya Audrey dan Ninis serta Gaiya di seberangnya.
"Ibu Silvia selalu tampil rapid an elegant, Laura manis menawan," sapa dr. Herliana.
"Tuan rumah punya banyak pujian untuk kita, lihatlah rumah yang nyaman ini La… bikin kita bakal betah di sini," jawab ibu.
"Ah… kami senang kalau Bu Silvia dan Laura kerasan." Kata dr. Herliana.
"Selamat sore Bu Silvia, helo Laura, selamat datang… oh kenapa repot repot,"
kata Hardy saat aku mengulurkan keranjang buah, sementara ibu mengangsurkan cake kepada Ninis.
"Mari masuk," Audrey dan Gaiya mempersilakan kami menuju ke ruang tengah.
"Kita langsung duduk di ruang tengah saja, di meja makan maksudnya," kata Gaiya. Kami berjalan mengikutinya.
"Iya, sudah tidak sabar menikmati masakan Ninis. " kata ibu.
Mataku menyapu isi ruang. Perabotan yang sederhana modelnya, tampak bersih dan ditata dengan apik. Tanaman hidup membuat ruangan terasa segar. Beberapa lukisan tergantung di dinding dan di ujung ruang terdapat grand piano.
"Siapa yang main musik?" tanyaku.
"Hardy dan Gaiya," jawab Ninis.
Dia menyiapkan minuman untuk kami.
"Minum hangat atau dingin? Saya menyiapkan green tea cold brew, tetapi juga bisa cepat membuat yang panas."
"Boleh yang dingin dulu," kataku dan ibu mengangguk.
"Kalau begitu sambil kita minum, mungkin Gaiya bisa bermain musik?" ibunya mengusulkan. Gadis itu mengangguk dan menuju ke piano. Dia memainkan lagu-lagu pop kesukaannya.
Entah disengaja atau tidak, Hardy duduk di sebelah kananku, ibu di tengah diapit oleh dr. Herliana dan Audrey. Kursi di kiriku masih kosong, kurasa tempat Gaiya, sedangkan Ninis mondari-mandir mengatur pelayan menyajikan makanan. Aku rasa dia akan duduk di sebelah ibunya, yang letaknya dekat pintu dapur.
Dr. Herliana dan Audrey kembali mengucapkan terima kasih untuk kerjasama penerbitan buku mereka. Sampai saat ini sudah banyak relasi mereka yang memesan.
"Kurasa, pertengahan minggu depan saya akan menghubungi kantor untuk memesan sejumlah buku," kata Audrey.
"Sebagai penerbit tentu kami senang jika bukunya diminati," kata ibu.
Masakan yang disajikan bervariasi, hidangan pembuka gado gado dalam porsi sangat kecil, lalu chicken drum stick dengan bumbu pedas. Setelah itu sup labu merah. Hidangan utamanya roasted beef dan kentang tumbuk serta sayur rebus.
"Hmmmm enak sekali, empuk dan bumbunya meresap, aroma rosemary…" kataku.
"Thank you Laura, kamu cukup jeli, pasti suka masak juga," kata Ninis.
"Sekedar hobi," jawabku.
"Lain kali aku boleh mencoba masakanmu?" tanya Hardy.
Aku melirik ibu, dia mengangguk.
"Boleh. Kapan balik ke Pulau Bunga?"
"Besok pagi. Nanti kalau aku datang lagi kukabari."
Ingatanku langsung pada Kenny. Dia sama sekali tidak mengirim pesan dan tidak menelepon. Tidak seperti biasanya dia begini. Apa yang terjadi? Ken...
"Okay Hardy," kataku.
"Gaiya, terima kasih untuk permainan pianomu. Indah," kata ibu.
"Terima kasih tante," kata gadis itu.
"Kalau saja saya punya anak laki-laki, Gaiya atau Ninis saya ambil sebagai menantu. Ummm ada Nuggie, keponakan laki-laki... " kata ibu.
"Bu…" aku tidak mengerti mengapa ibu menjadi banyak bicara hal-hal yang tidak masuk akal.
"Ambil anak laki-lakiku sebagai mantu," kata dr. Herliana sambil mengedipkan mata, membuatku terkejut.
Aku salah tingkah melirik Hardy, melihat ibu dan dr. Herliana serta Audrey.
"Setujuuuu," seru Gaiya.
"Jangan terbebani," Hardy berbisik di sebelahku, dengan suara rendah,membuatku merasa lega dan memberinya senyuman dan mengangguk.
"Tapi ini usul yang baik untuk dipertimbangkan, bagaimana menurutmu?" katanya melanjutkan.
Pusing kepala langsung muncu mendengar percakapan ini.
***