Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 29 - Laki Laki di Hati Ibu

Chapter 29 - Laki Laki di Hati Ibu

Bad mood tadi malam masih mempengaruhiku saat duduk minum lime tea bersama ibu setelah menghabiskan makan pagi. Kami bangun agak siang dan pukul 10 pagi baru sarapan. Kusadari, ibu justru terlihat riang gembira hari ini, tidak seperti aku yang merasa murung karena tidak bisa menentukan sikap atas cintaku.

"Apa yang membuat ibu gembira?" aku bertanya.

"Undangan ke Belanda." jawabnya dengan senyum lebar.

Aku memandangnya sambil mencoba menghalau suasana hatiku yang masih buruk dan berusaha tersenyum kepadanya.

" Apakah ibu bangga karena pekerjaan ibu mendapat pengakuan?"

"Itu tentu saja."

Ibu seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi dia memandangku dengan tatapan ragu.

Aku mendekatkan tubuhku.

"Apa Bu?" aku menjadi penasaran.

"Kamu berjanji tidak akan menertawakan ibu?" Hah... dia terlihat seperti anak kecil.

"Janji." aku memberi jawaban dengan tegas.

Kulihat wajahnya tersipu-sipu. Ibu meraih handphonenya membuka kotak pesan dan mengangsurkan gadgetnya kepadaku.

"Perhatikan pesan-pesan itu, ibu minta pendapatmu ." Kata ibu.

Aku melihat obrolan ibu dengan seseorang bernama Jan, percakapan yang cukup intim karena bukan hanya tentang undangan untuk menghadiri diskusi pada pameran buku saja, tetapi juga menanyakan masalah pribadi. Kurasa aku terkejut mendapati pesan pribadi itu sehingga mataku terpaku pada layar handphone. Aku mengulang membaca pesan-pesan itu dan mencoba memahaminya dengan lebih jernih.

-- "Dear Silvia, ini kesempatan untuk bertemu secara pribadi, kamu tahu aku sudah lama menginginkannya." Tulis Jan.

__ "Danke, Jan, kurasa aku akan datang bersama anak gadisku, aku ingin memperkenalkannya kepadamu." balas ibu.

Oh jantungku berdebar, apakah ibu akan menjodohkan aku dengan laki-laki ini?

__ "Sure, pasti dia semanis kamu, my princess? Aku tidak sabar menunggu"

Lho... bagaimana ini? aku sedikit panik dan melirik ibu. Dia terlihat gelisah meremas jemarinya.

__ " kita sudah terlalu tua untuk semua ini." tulis ibuku.

__ "Cinta tidak mengenal batas usia, kita sama-sama bebas, apa lagi yang membuatmu ragu?"

__ "Banyak yang harus kupikirkan Jan, salah satunya anak sulungku."

Aku memegang handphone ibu dengan sedikit gemetar. Bukan menjodohkanku, melainkan ini tentang ibu dan pria bernama Jan.

Kutatap lebih lama percakapan tersebut, lalu kukembalikan telepon itu kepadanya.

"Bu…" belum sempat kulanjutkan kalimatku, ibu sudah menyela.

"Ibu tahu, ini salah dan tidak sepantasnya. Ibu sudah berusaha menghindarinya." Kata ibu dengan matanya yang bergerak ke kiri dan ke kanan.

"Bicaralah, ibu siap mendengar apa pun pendapatmu." Dia terlihat sedikit lebih tenang, selalu berusaha menguasai dirinya dan emosinya. Ibu perempuan yang kuat.

Kutatap wajah ibuku, perempuan berusia 52 tahun dan yang sudah hampir 28 tahun menjadi ibuku dan 26 tahun menjadi ibu dari Farina, lima tahun menjadi nenek dari Ryan.

Ups… perempuan yang sudah 17 tahun menjadi janda karena ayahku meninggal akibat serangan jantung.

Ibu yang selama ini merawat dan mengasuh kami dengan penuh cinta dan pengabdian dan tidak pernah menjalin hubungan dengan pria lain, menjadi kebanggaanku dan Farina.

Serasa ada suatu kekuatan besar yang mencabut isi dadaku dan membuatnya terasa kosong.

Ibu terlihat salah tingkah dan wajahnya merah karena malu.

"Aku terkejut Bu, beri aku waktu untuk menjawab," kataku dengan jujur.

Dia mengangguk, wajahnya menjadi keras. Keriangannya tadi telah lenyap. Kurasa aku yang menyebabkannya menjadi seperti ini, namun aku juga tidak mampu menutupi perasaanku.

Kami duduk berdekatan tetapi membisu untuk beberapa waktu.

"Apakah Nana sudah diberitahu?" tanyaku tentang Farina.

"Belum, kamu dulu, sebagai anak pertama kamu layak tahu lebih dulu dari Nana."

Ibu adalah perempuan yang mandiri dan tegar. Selama 17 tahun menjadi orangtua tunggal bagi kami dan melanjutkan bisnis keluarga yang ditinggalkan ayah secara tiba-tiba. Dia tidak pernah mengeluh dan berhasil mengatasi rintangan yang menghadang. Setidaknya perusahaan ayah tetap eksis di tengah situasi banyak penerbitan yang gulung tikar seiring dengan perkembangan media online. Ibu juga berhasil menyekolahkan kami berdua. Sebenarnya dia tidak memerlukan pendapat anak-anaknya, bila sekarang dia menjalin hubungan dengan pria lain. Meskipun dengan kesadaran tersebut, aku tetap merasa ada ganjalan, tidak ingin tempat ayah di hati ibu, digantikan oleh pria yang lain.

"Ibu sudah lama kenal dengan Jan?"

Dia mengangguk dan menunjukkan telunjuk kanannya.

"Apakah dia sudah melamar ibu?"

Kembali ibu mengangguk.

Aku tidak tahu apakah aku harus tertawa atau menangis. Ibu seorang janda dan aku perawan, kami sama-sama menerima lamaran dari pria yang mengaku mencintai kami, tetapi ada rintangan – rintangan yang harus kami hadapi. Ibu mempertimbangkan perasaan kami, anak-anaknya, sedangkan aku masih meragukan kesungguhan Kenny.

"Seberapa jauh ibu mengenalnya? Darimana kenal?" tiba-tiba aku teringat kata-kata Hendra tentang Love Scammer. Belakangan ini juga di media sosial dimeriahkan dengan penawaran kencan daring atau pun kencan untuk orang-orang berusia lanjut, ya seumuran ibu.

"Belum pernah bertemu secara langsung. Dia juga seorang penulis, sesekali kami bertemu melalui skype dan VC,"kata ibu.

"Ibu jangan buru-buru membuat keputusan, kita bertemu dulu dan mungkin saat itu ibu dan Jan bisa mengetahui bagaimana kelanjutannya," kataku ingin agar ibu mengulur waktu.

"Thanks Laura," ibu ingin kita saling terbuka. Ibu akan kabari Nana." Katanya sambil berdiri dan berjalan masuk ke kamar.

Aku menghabiskan minuman di cangkir lalu menatap ke langit biru yang cerah dan membayangkan apabila ibu menikah lagi serta kemungkinan dia akan pindah ke negeri lain bila menikah dengan orang asing.

Aku menelepon Hendra untuk menanyakan tentang love scammer.

"Hey, apa ada pria-pria penipu yang mencoba menghubungimu?" suara tertawanya nyaring dan bebas.

"Bukan aku, eh ya… ada banyak pria yang minta berteman di IG tetapi kutolak dan blokir."

"Bagus. Jangan diterima jika tidak kenal atau tidak ada kepentingan terkait." Kata Hendra.

"Jadi apa ciri-ciri penipu ini?"

"Bukankah dulu sudah pernah kuberitahu?"

"Lupa."

Hendra menjelaskan kembali ciri-ciri para penipu berkedok pria yang mengaku jatuh cinta.

"Berapa lama mereka menunggu korbannya sampai jatuh dalam perangkap?"

"Biasanya dalam hitungan minggu atau sebulan, mereka ingin cepat dapat uang."

Aku mengembus nafas lega.

"Jika seorang laki-laki mendekati perempuan secara online, sampai satu tahun apakah penipu?"

Hendra tergelak mendengar pertanyaanku.

"Love scammer mungkin tidak menungu sekian lama, tetapi tidak dijamin orang tersebut bukan penipu. Tergantung seberapa besar kemungkinan dia mendapatkan keuntungannya, apakah layak ditunggu salama setahun. Tetapi itu terlalu lama kurasa. Bahkan seseorang yang jatuh cinta mungkin tidak menunggu sekian lama untuk mendapat jawaban."

Aku meragukan teori Hendra tetapi tidak membantahnya. Ibu mengatakan sudah mengenal Jan selama lebih dari setahun.

Ah… ibu, kenapa selama satu tahun terakhir aku tidak memperhatikan gelagat ibu sedang jatuh cinta? Hanya belakangan memang ibu lebih memperhatikan penampilannya dan merawat diri dengan lebih baik. Dia rajin ke salon, membeli baju baru. Kukira semula hanya sindroma perempuan paruh baya yang ingin terlihat menarik. Ah ibuuuu…

Nana menelepon dengan suara pelan, seakan takut ada yang mendengar.

"Oray, bagaimana ini, ibu…"

"Hmm… aku juga bingung. Ibu di kamar, aku di beranda, bicara bebas," kataku agar Farina tidak berbisik-bisik.

"Aku tidak menduga sama sekali, tetapi siapa yang bisa mengelak datangnya cinta? Aku hanya berpikir bahwa ibu layak berbahagia dengan hidupnya." Kata Farina.

Aku mengulang kata-kata itu di kepalaku. Betul, ibuku layak mendapatkan cinta baru dan berbahagia.

"Bukankah begitu Oray, ibu menghabiskan separo umurnya untuk mengurus kita."

Aku merasa sedih karena seakan ayah sudah tersingkir dari hati ibuku.

"Cinta bisa datang kapan saja, kepada siapa saja. Asal pastikan bahwa pria itu juga mencintai ibu dan bukan bermain-main," kata Nana.

"Aku akan cari tahu, kami akan ke Belanda bersama-sama. Ibu sudah cerita?"

"Ya… mungkin mereka mempunyai minat yang sama sehingga kalau ngobrol nyambung. Dia seorang duda dengan satu anak laki-laki, seumuran kamu. Pria itu berumur 62 tahun." Kata Farina. Dia sudah mendapat infromasi lebih jauh.

"Ibu yang cerita?"

"Sebagian dari ibu sisanya aku cari di internet. Namanya Jan Van Dijk, penulis buku."

"Baiklah Na, nanti kita bahas lagi, aku jadi pusing mendadak." Kataku.

"Okay, kita pikirkan yang terbaik untuk ibu," kata adikku lalu kami mengakhiri percakapan telepon.

Aku pun masuk ke kamar untuk menelpon Kenny. Aku merasa perlu mendengar pendapatnya.

Aku memutar nomornya tetapi tidak terhubung, kuulang dua kali lagi tetap tidak diangkat. Dia tidak biasanya seperti ini. Sejak pagi juga belum ada pesan masuk dari Kenny. Apakah aku merindukannya?

"ken..." diam-diam aku menyebut namanya.

Aku hanya bisa duduk melamun di sofa kesayangan di sudut kamar.

Cinta bisa datang kapan saja, pada siapa saja… kata-kata Farina bedengung di kepalaku.

Jan Van Dijk… aku menelusuri nama tersebut dan menemukan si penulis. Wajahnya khas Eropa, rambut pirang juga alis dan bulu matanya. Kulitnya terlihat kasar, tetapi senyumnya sungguh mempesona. Meskipun berusia 62 tahun, dia terlihat energik dan muda. Matanya memancarkan semangat.

Aku takut kehilangan ibu, aku takut kehilangan cinta ibu kepada kami…

Apakah aku egois bila melarang ibu menghentikan hubungannya dengan pria itu?

***