"Ibu cuma nanya."
"Banyak yang kupikirkan. Aku sudah terbiasa dengan kehidupan kita sekarang." Kataku jujur. Aku tidak tahu apakah akan siap untuk mengubah kehidupan yang sudah kujalani ini. Pindah ke Pulau bunga dan menjadi istri, menantu dan mungkin juga segera menjadi ibu berikut semua tanggungjawabnya… rasanya aku belum siap meskipun umurku sudah mendekati kepala tiga.
"Ibu tidak akan mendesakmu, semua adalah pilihan, mana yang menurutmu baik. Tetapi ibu mau katakan bahwa mempunyai keluarga sendiri itu menyenangkan."
Aku memikirkan kata-kata ibu.
HP ibu berbunyi, notifikasi email. Dia segera membuka email. Pada saat membaca terlihat wajahnya gembira bahkan tubuhnya digerak-gerakkan dengan gembira.
"Apa Bu?"
"Yes… yes… tunggu!" Ibu terlihat melanjutkan membaca pesan email tersebut lalu menarik nafas dalam dan mengetik balasan. Aku menunggunya sambil memanggil pelayan untuk meminta bill.
"Sekalian dengan meja di dekat pintu," kataku menunjuk Jo.
Setelah aku selesai membayar, ibu menutup ponsel dan tertawa lebar kepadaku.
"Kita ke Belanda!" serunya.
"Apa? Kapan dan untuk apa?"
"Buku kita tentang Pernikahan dipilih menjadi salah satu buku yang akan didiskusikan dalam pameran buku di Negeri Belanda. Kita diundang hadir." Suara ibu terdengar bersemangat.
"Kapan?"
"Oktober, dua bulan lagi. Tidak lama untuk persiapannya. Ikut?"
"Tentu. Kita dapat tiket dan akomodasi?"
"Ada untuk seorang, yang seorang nanti kita bayar."
"Oh baik, Yuk pulang, aku ngantuk." aku berdiri dan menggandeng lengan ibu menuju tempat parkir. Malam semakin larut dan udara mulai semakin dingin tetapi hati ibu sepertinya hangat, dia tersenyum sepanjang jalan.
**
Setelah mandi dan berbaring di atas tempat tidur, aku menelepon Kenny seperti janjiku tadi.
"Kukira kamu sudah tidur atau lupa," kata Kenny ketika telepon tersambung.
"Hmmm baru pulang, mandi dan sekarang menelpon, maaf ya tadi sibuk tidak konsentrasi saat bicara."
"Aku gembira kamu menelepon, Laura senang mendengarmu bicara." Katanya.
Kenny tidak banyak bicara, dia lebih banyak mendengar dan aku yang biasanya berbicara.
Hari-hari itu, saat aku menyusun skripsi di Pulau Bunga, Kenny memanjakan aku dan Fiona.
Dia tidak pernah mengeluh bila kami meminta diantar-antar ke beberapa tempat. Kenny sabar mendengar cerita-cerita kami, sesekali dia akan menimpali dengan komentar-komentar yang membuat kami belajar untuk berbicara lebih dewasa dan bersikap bijak.
Aku menganggap dia sebagai kakak, seperti Fiona.
Suatu saat aku penasaran ingin menikmati matahari terbit dari Gunung Laki.
"Fin, kapan kita bisa ke gunung untuk melihat matahari terbit?"
"Kita tanya Kenny kapan dia bisa antar."
Kami pergi pada akhir pekan berikutnya, berangkat pagi menjelang subuh untuk mengejar matahari terbit.
Kendaraan bisa diparkir di dekat pos 1, selanjutnya kami berjalan kaki.
"Berapa jauh?" tanyaku.
"Biasanya setengah jam saya berjalan, tapi kalian lebih lambat mungkin satu jam," ujar Kenny.
"Oh… semoga bisa lebih cepat." Aku berharap cukup kuat untuk berjalan mendaki selama setengah hingga satu jam.
Jalan setapak yang kami lewati tidak selalu bagus, kadang sangat terjal dan berbatu-batu, apalagi langit masih gelap.
Kenny dengan sabar mengulurkan tangan membantu kami menaiki batu-batu tersebut. Dia memakai senter kepala yang membantu penerangan jalan, tetapi cukup silau bagiku untuk bisa memandang wajahnya.
Setiap kali Kenny meraih tanganku dan menarikku untuk naik di jalan setapak, aku merasakan tangannya yang hangat dan kokoh. Nyaman rasanya sehingga tidak ingin kulepaskan.
Beberapa kali Kenny menepi dan membantu Fiona dan aku untuk naik terlebih dulu, dia berjaga di bawah. Sikapnya sangat melindungi. Pada saat itu aku mulai tertarik kepadanya.
Ketika tiba di tempat tujuan, Kenny menggelar matras gulung untuk kami duduk menghadap ke timur.
Matahari diharapkan muncul dari balik bukit kecil di seberang lembah. Langit masih gelap tetapi di bagian timur sudah mulai terang berwarna biru muda dan jingga pucat, paduan warna yang memberikan semburat warna ungu.
"Dingin?" tanya Fiona kepadaku. Dia merapatkan jaketnya.
Aku menggeleng. Sebenarnya merasa sedikit kedinginan karena aku hanya memakai sweater, tanpa jaket.
Aku menuang kopi dari termos kecil ke dalam tutup termos. Minum hangat mungkin akan menghalau rasa dingin.
"Ha… kamu tidak lupa kopi, bagus," Kenny mengulurkan tangan meminta kopi. Aroma kopi telah memberikan rasa hangat, sebelum aku meminumnya.
"Kita minum bergantian, aku tidak membawa cup." Kataku sambil memberikan kopi di tutup termos. Kenny menerima tanpa ragu dan meminumnya.
Di tempat ini ada rombongan lain yang juga duduk atau berdiri dan bercakap-cakap dengan suara rendah. Kami sama-sama menanti sinar matahari pertama.
Langit di timur semaikin cerah dan pelan-pelan piring emas matahari muncul dan bergerak ke atas. Indah sekali sampai aku merinding ketika melihatnya. Sinarnya membias pada awan-awan putih di sekitar kami yang ujung-ujungnya berkilau keemas- an, bahkan gumpalan awan di arah barat juga berkilau.
"Menakjubkan," kataku. Kulihat wajah Fiona dan Kenny juga berkilau keemasan. Kami duduk berdampingan, Kenny di tengah. Tiba-tiba kedua lengannya terentang, Kenny mengalungkan lengannya ke bahu kami, di kanan dan kirinya. Fiona segera menyandarkan kepala di bahu kanan Kenny. Aku ingin mengikutinya, tetapi ada rasa ragu. Aku merasakan kehangatan tubuh Kenny, aroma tubuhnya dan…perutku terasa berputar. Ada apa ini? Oh Mama Mia…!
Kenny menoleh padaku.
"Kamu suka? Mataharinya indah," katanya. Aku mengangguk dengan gugup.
"Pasti Laura suka, dia sangat ingin kemari," kata Fiona, mendorong tubuhnya sehingga tubuh Kenny semakin merapat padaku. Aku merasa Kenny meremas dan mengguncang bahu kami.
"Kamu kedinginan?"dia bertanya, nafasnya yang hangat terasa mengembus di wajahku.
Aku menahan nafas… berharap dia tidak salah mengerti akan kegugupanku, berharap pula aku tidak salah mengerti akan sikapnya, sebagai seorang kakak, sama seperti sikapnya kepada Fiona.
Tetapi perasaan itu sangat kuat, aku merasa aman dan nyaman jika berada di dekatnya. Aku bahagia hanya dengan melihat senyumnya. Ken...
"Laura… apa kamu tertidur?" kudengar suara Kenny di seberang telepon.
"Ah… be… belum, tapi aku mengantuk."
"Kukira tertidur, sebab aku memanggil tetapi kamu tidak menyahut."
"Hmm maaf... Ken, tadi aku dengar ibu mengetuk pintu," aku berbohong.
Aku teringat pelukan-pelukan Kenny, tatapan matanya dan janjinya untuk menikah lalu perpisahan itu. Kurasakan mataku yang hangat oleh air mata.
"Mungkin sebaiknya kamu lekas tidur, besok aku telepon lagi ."
"Hemm… selamat malam," kataku.
"Jangan lupa aku menunggumu. Sweet dream La, I adore you, bye." Suaranya yang berat dan serak, masuk ke telinga dan berhenti di dalam kepalaku. Kenny menutup telepon.
Aku melepas nafas dan menggeletakkan telepon.
… Ken…
Aku memejamkan mata dan terbayang wajahnya, terbayang wajah Hendra, Nuggie, Hardy, Kenny… senyum Kenny…
Ketika Kenny menikahi Marina, apakah dia masih menyimpan rasa cinta kepadaku? Kenapa dia bisa mendua? Kalau dia memilih menikahi Marina berarti dia lebih mencintai perempuan itu ketimbang cintanya kepadaku.
Apakah aku di matanya? Kenny mencariku lagi setelah istrinya meninggal. Aku hanya sebagai orang kedua, sebagai pengganti istrinya yang meninggal. Airmataku bergulir… rasa sakit itu datang lagi. Apakah Kenny pernah mengerti rasa sakit seperti ini?
Dia menunggu, berjanji akan memanjakanku bahkan sudah membeli rumah, tetapi apakah aku di matanya? Kukira dia ingin melepas statusnya sebagai duda, dia ingin mempunyai istri dan seorang perempuan yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Dia pernah memilih perempuan itu, tetapi Tuhan berkehendak lain Marina meninggal sebelum mereka mempunyai anak.
Sanggupkah aku menjadi pengganti?
Malam semakin sunyi dan semakin larut tetapi aku belum mampu membuat keputusan untuk diriku sendiri, apalagi menjawab Kenny.
***