Aku berjalan ke belakang dan merapat ke dinding. Dari dari situ dapat mengawasi kesibukan penandatanganan buku, juga para tamu yang bercakap-cakap sambil menikmati hidangan. Staf kantor membaur bersama pada tamu untuk melayani kebutuhan mereka dan juga sekedar menjadi teman bicara. Di meja penjualan ada beberapa orang yang membeli buku, baik buku baru maupun beberapa buku terbitan sebelumnya.
Melli tidak ada di antara mereka. Aku mencoba melihat ke segala arah, tetapi perempuan itu tidak terlihat di mana pun. Ibu sedang bercakap-cakap dengan dr. Hardy dan seorang adik perempuannya, Nuggie dan Jessi terlihat bersama manager toko buku Page Time, sementara antrian penandatanganan buku sudah semakin berkurang.
Aku mengembus nafas lega. Acara sudah hampir selesai, tinggal menunggu para undangan berpamitan pulang.
Teleponku berdering, sudah bisa kuduga, Kenny pasti yang menelepon.
"Hello," kataku sambil menutup sebelah telinga supaya bisa lebih jelas mendengar suara dari seberang.
"Laura… masih sibuk?"
"Acara sudah hampir selesai."
"Lancar?" suaranya yang dalam begitu menggoda.
"Secara umum lancar, hanya ada gangguan kecil, beberapa buku rusak karena tersiram air dari vas bunga yang terguling." Kataku.
"Bagaimana bisa terjadi? Ada yang tidak sengaja menyenggol atau ada yang sengaja menggulingkannya?"
Sebelum Kenny bertanya aku sudah bingung akan kemungkinan vas itu terguling karena seseorang yang tidak sengaja menyenggolnya. Letak vas di tengah meja, tidak mungkin ada yang menyenggol, kecuali orang tersebut memegang vas atau memegang bunga. Kadang ada orang yang tidak yakin apakah rangkaian bunga itu asli atau plastik dan mereka ingin menyentuhnya, bahkan menancapkan kuku ke daun atau kelopak daun untuk menjawab rasa penasaran.
"Entahlah…" kataku tidak menduga bila ada seseorang yang sengaja menggulingkan vas.
"Sebaiknya kamu mencari tahu atau pelajari orang-orang di sekitar yang mungkin tidak suka bila acara ini sukses." Kata Kenny.
"Ken apa kamu berpikir ada yang sengaja membuat kegaduhan?"
"Bisa jadi, tetapi kamu tidak perlu cemas berlebihan. Waspasa saja. Andai aku di situ aku akan mencari tahu."
"Thanks, Ken untuk perhatiannya." Aku merasa Kenny mempedulikanku.
"Aku membayangkanmu tersenyum, senyummu ada di mana-mana."
"Oh… kamu…" Aku melihat ibu melambai kepadaku.
"Ken, aku harus menemani ibu… para tamu akan berpamitan. Nanti aku telepon." Kataku.
"I am waiting for you."
Aku mendekati ibu, dia masih berbicara dengan dr. Hardy dan adiknya, malah dr. Herliana juga di situ.
"Ini Laura yang aku ceritakan kemarin Ma," kata dr. Hardy kepada ibunya.
"Oh ya, editor buku ini, terima kasih Laura," kata dr. Herliana.
"Sudah menjadi tugas saya, bu dokter, kisah perjalanan karir yang luar biasa." Kataku.
Ibu memandang Hardy dan aku dengan sedikit bingung.
"Kalian sudah kenal?" tanya ibu.
"Kami satu pesawat dari Pulau Bunga beberapa hari yang lalu, saya dinas di sana," kata Hardy. Aku berharap dia tidak membahas perjalanan tersebut. Aku merasa wajahku menjadi hangat dan gelisah bila sampai Hardy bercerita melihatku menangis. Tetapi aku tidak bisa menduga apa yang diceritakannya tentang aku kepada ibunya.
"Laura anak saya yang pertama. Adiknya tinggal di luar kota, ikut suami," kata ibu kepada mereka.
Bisa ditebak biasanya orang akan bertanya apakah aku sudah menikah, karena adikku sudah punya suami. Untungnya keluarga dokter ini cukup sopan dan tidak bertanya langsung.
"Laura tinggal dimana?" tanya ibunya.
Sebelum aku menjawab, ibu sudah mendahului. "Menemani saya, kami tinggal hanya berdua."
Nah, mereka pasti bisa menebak, aku single dan ibu janda!
Kurasakan mata Hardy menatap tanpa berkedip dan bibirnya tersenyum. Apakah saat menghadapi pasien yang sakit dia juga terus tersenyum seperti ini?
"Hai Laura, saya Ninis, adiknya Hardy, dan ini Gaiya, adikku," kata perempuan muda di depanku.
"Helo Ninis, sepertinya kita sebaya dan Gaiya lebih muda?" tanyaku. Mereka menjawab membenarkan. Gaiya masih kuliah.
Percakapan kami terputus oleh beberapa tamu yang berpamitan. Tanpa diatur ibu dan aku berdiri berjajar dengan keluarga dr. Herliana mengantar tamu keluar dari galeri. Audrey juga bergabung dengan kami. Tidak lama kemudian seluruh tamu sudah pulang, tinggal kami dan staf kantor.
"Terima kasih sekali lagi untuk acara yang menarik, terlihat dirancang dan disiapkan dengan cermat," kata Audrey.
"Tadi ada insiden apa?" tanya dr. Herliana.
Aku menceritakan sekilas kejadian vas terguling.
"Biarlah buku yang rusak itu kami bayar," kata Hardy.
"Tidak perlu, itu dihitung sebagai bagian dari biaya promosi," kataku.
Nuggie mendekat bersama Hendra, dia satu-satunya tamu yang belum pulang.
"Bu, ini Hendra IsBest, youtuber yang bukunya akan kita terbitkan," kataku.
Nuggie mengangkat alisnya mendengar kata-kataku. Aku belum membawa naskah tersebut ke sidang editor tetapi sudah mengatakan akan menerbitkannya. Pasti Nuggie keberatan dengan caraku.
"Wow… dari tadi saya sudah lihat, tetapi takut salah… saya follower juga." Kata Gaiya dengan senyum lebar kepada Hendra.
"Hendra sangat terkenal, semoga nanti bukunya banyak dicari," kataku.
"Apalagi jika editornya Laura Arden," kata Hendra, mengedipkan mata kepadaku.
"Senang berkenalan dengan Bu Silvia dan dr. Herliana." Katanya kemudian.
"Terima kasih mempercayai penerbitan kami," kata ibu dengan sopan.
Dokter Herliana mengatakan mengundang ibu dan aku untuk makan malam pada Minggu malam di rumah mereka.
"Ah lupa, Nugroho juga, kebetulan Ninis ahli masak, dia sedang bersiap membuka rumah makan… dan sebelum Hardy kembali ke tempat tugasnya," kata dokter itu.
"Terima kasih, kami akan hadir," jawab ibu.
"Audrey, kamu menjadi pihak pengundang," kata dr. Herliana. Audrey mengangguk.
"Tentu."
Setelah itu mereka semua berpamitan.
Galeri sudah bersih dan staf sudah pulang. Kami berjalan bersama ke tempat parkir dan berpisah di sana.
Hari Jumat malam, kota tampak berkilau dan lalu lintas masih padat, akhir pekan baru dimulai.
"Hmmm bu, aku lapar, ibu juga pasti lapar… yuk kita makan ramen." Kataku.
"Boleh juga," kata ibu sambil meminta Jo untuk mengantar kami ke resto ramen langganan.
"Mau ajak Nuggie?" tanya ibu. Aku menggeleng.
"Ingin berdua dengan ibu."
"Okay…" dia tersenyum.
Pengunjung resto ramen sudah mulai sepi karena lewat waktu makan, namun warung kopi di sebelahnya makin ramai.
Setelah memesan makanan, aku menceritakan kepada ibu tentang kejadian vas bunga dengan lebih detil.
"Siapa yang berada di dekat situ dan siapa yang bertanggung jawab terhadap buku-buku itu?"
"Jessi dan Melli yang mengurus buku, tetapi saat kejadian Jessi sedang di depan mengambil nampan untuk membawa buku tersebut. Melli menghilang setelah kejadian. Dia tidak ada sepanjang acara. Hmmm Otty, illustrator juga ada di dekat situ tetapi dia bilang tidak melihat kejadian karena sedang menonton film. Semua perhatian memang pada film sih," kataku.
"Kita amati saja mereka dan nanti ditanya kemana Melli pergi." Kata ibu.
Ramen pesanan datang, kami sibuk meracik bumbu-bumbu tambahan yang tersedia di atas meja. Aroma kaldu daging yang harum dan bumbu-bumbunya, membuat perut semakin terasa lapar.
"Selamat makan," kata ibu.
"Mari makan," kataku. Kebiasaan mengucapkan kata-kata seperti ini membuat kami tidak merasa janggal.
"Uhm, Bu, apakah…"
Ibu mengangkat wajahnya sambil menunggu aku melanjutkan kalimat. Sungguh berat untuk mengatakannya… tetapi aku sudah memutuskannya untuk memberitahu ibu.
"Apakah… ibu tahu, hmmm Nuggie melamarku?"
Ibu meletakkan sendok dan sumpit lalu mengelap bibirnya dengan tisu.
"Nah… tidak terpikir oleh ibu! Kukira dia menganggapmu sebagai adik."
"Hmm.. aku juga berpikir seperti itu."
"Kapan dia melamar?" kuperhatikan wajah ibu menjadi gelisah.
"Sudah lama, tetapi sepulang aku dari Pulau Bunga dia mengulangi lagi. Dia memintaku untuk tidak kembali kepada Ken."
Ibu terlihat berpikir sambil mengunyah makanan pelan-pelan. Ibu Nuggie adalah adik ibu yang menikah tanpa mendapat restu dari kakek.. Tante Detta menikah dengan pegawai kakek. Pernikahan itu ditentang lantaran kakek mencemaskan kehidupan mereka. Tante Detta berpendidikan tinggi, dia memperoleh magister hak Asasi Manusia di Belanda dan punya karir bagus, sedangkan ayah Nuggie staf biasa di kantor kakek. Tante Detta menikah lari dan memiliki dua anak, Nuggie dan adik perempuannya Faustine. Kakek baru mengakui pernikahan itu dan menerima mereka kembali sebagai keluarga ketika Nuggie SMA. Tetapi kakek tidak pernah memberi bantuan finansial meskipun mengetahui bahwa mereka berkekurangan. Ayah Nuggie juga mempunyai harga diri yang tinggi, jangankan meminta bantuan, dia bahkan melarang anak-anak dan istrinya menerima hadiah dari kakek dan nenek.
"Lalu jawabanmu bagaimana?"
Aku menggelengkan kepala.
"Nuggie kuanggap kakak."
"Ibu rasa sebaiknya begitu. Bagaimana dengan Ken?"
"Bu…"
***