Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 25 - Hendra IsBest

Chapter 25 - Hendra IsBest

Fuhhh… aku memahami tatapan mata ibu, sedikit memberi reaksi atas sikap Melli yang tidak sopan.

"Kenapa dengan dia? Aku kurang mengenalnya." Kata Nuggie menjawab pertanyaanku, mengabaikan sikap Melli.

"Dia mengajukan proposal buku, tentang keberhasilannyasebagai Youtuber, berikut tips."

"Oh diterima saja, pasti bisa best seller," lagi-lagi Melli menyela.

Aku tersenyum kepadanya, mencoba membuatnya mengerti batas, kapan dia bisa bicara dan kapan harus diam.

"Tidak semudah itu, naskahnya sedang saya periksa dan pelajari," kataku.

"Siapa yang punya wewenang memutuskan lolosnya sebuah proposal?" tanya Melli.

Pertanyaan tersebut wajar saja jika memang didasari rasa ingin tahu, tetapi aku merasa kalimat Melli meragukan kemampuanku.

Nuggie menunjuk aku.

"Oh…" wajahnya terlihat bingung dan kecewa ketika melihat Nuggie.

"Sebenarnya dia mengajak bertemu malam ini, tetapi aku masih menjawabnya." Kataku.

"Sepertinya buku dia akan menguntungkan, ehm dia menilai positif akan perusahaan penerbitan kita, oleh sebab itu naskahnya dikirim ke kita." aku menambahkan.

" Tetapi tetap hati-hati jangan sampai terjebak dengan strateginya," kata Nuggie.

"Haha… biar aku yang menjebaknya saja." Aku menjadi tertantang, mungkinkah Hendra mempunyai maksud lain .

Ibu membelokkan percakapan dengan menanyakan tentang isi telepon Kenny.

"Telepon biasa Bu… sehari dia bisa 4-5 kali menelepon, sekedar tanya apa sudah makan, bagaimana kerjamu ... seperti itulah."

"Bagaimana pendapatmu tentang Ken ?" tanya ibu kepada Nuggie.

"Kurasa dia memanfaatkan kelemahan Oray," jawab Nuggie, matanya memicing.

"Katakan kalau aku salah? Kamu mulai terperangkap olehnya."kata Nuggie kepadaku. Mata kami bertatapan yang terbaca olehku adalah kegelisahan Nuggie.

"Maksudku tentang lamaran Kenny kepadanya," ibu menegaskan. Aku belum mengatakan soal lamaranitu kepada Nuggie.

Mata Nuggie melebar dan dia merapatkan bibirnya. Aku ikut merasakan keterkejutannya. Matanya terluka. Nuggie juga pernah melamarku namun aku tidak pernah menceritakannya kepada ibu. Aku selalu menganggap Nuggie sebagai kakak.

"Dan kamu menjawabnya?" kata Nuggie tidak jelas apakah itu kalimat tanya atau kalimat pernyataan.

Aku memiringkan kepala.

"Belum kujawab."

"Apa kamu bisa mempercayainya?" suara Nuggie terdengar emosional.

Kupejamkan mata dan menarik nafas, tidak ingin menjawab pertanyaan Nuggie. Soal kepercayaan kepada Kenny biarlah menjadi urusan antara aku dan Kenny saja.

"Oh saya tidak mengerti," tiba-tiba Melli berseru. Aku membuka mata dan memandang gadis itu yang sekarang sedang menunggu jawaban dari kami. Matanya yang dilingkari eyeshadow hitam dan bulu mata palsu, berkedip seperti mata burung hantu.

"Melli kamu masih magang? Tentu tidak harus mengetahui semua urusan kami. Sebenarnyab kita tidak kekurangan editor kan Nug?" aku tidak dapat menahan diri menghadapi Melli.

"Hah… magang?" tanya Melli, wajahnya tercengang.

Nuggie menggerakkan bibir tanpa berkata apa pun.

"Saya rasa begitu," kata ibu.

"Tapi saya sudah berpengalaman lama di tempat lain, ibu misa melihat hasil kerja saya." Kata Melli. Dia menatap marah kepadaku.

"Sama-sama karyawan jangan sok kuasa." Melli berkata kepadaku dengan tatapan mata sinis yang membuatku nyaris menyemburkan air teh yang kuteguk.

Nugroho menepuk bahu Melli.

"Laura ini bukan sekedar editor, dia pemilik saham dan juga putri Ibu Silvia." Akhirnya Nuggie menjelaskan.

Muka Melli menjadi merah karena malu dan tubuhnya menjadi tegang. Matanya melebar semakin mirip burung hantu.

"Saya sudah katakan kepada Melli, dia menjalani masa percobaan selama tiga bulan membantu mengedit tiga buku. Dia adik kelas waktu kuliah." Nuggie menjelaskan kepada kami.

"Melli, bekerjalah baik-baik dan jangan ikut campur urusan orang lain, kami punya standar tersendiri untuk merekrut karyawan dan, semua karyawan harus melampau standar tersebut." kataku, kali ini dengan intonasi sangat tegas.

Gadis itu menunduk lebih dalam tetapi tidak menjawab. Mestinya dia sangat terkejut.

"Okay, sekarang tolong sampaikan persiapan peluncuran buku biografi dr. Herliana. Tadi pagi Audrey Kirana penulisnya menelepon. Dia menyediakan tempat peluncuran di Galeri Baca." Kata ibu mengganti topik percakapan.

"Bagus kalau begitu, mengingat reputasi Galeri Baca dan komunitas mereka, kita akan diuntungkan juga." kataku.

Nugroho memberikan rencana acara peluncuran. Nuggie mengusulkan pemutaran video pendek aktivitas dr. Herliana disertai data tentang pelananan kesehatan untuk anak, kemudian dilanjutkan dengan pemaparan singkat tentang perjalanan karirnya. Audry sebagai penulis akan menyampaikan testimoni, alasan dia menulis biografi tersebut.

"Jika dr. Herliana hadir, kita meminta dia bercerita apakah puas dengan capaiannya selama ini dan pandangan dia tentang upaya meningkatkan kesehatan anak " aku mengusulkan.

"Undang beberapa keluarga pasien."

"Ray, aku suka bahwa kamu mengusulkan ada lampiran tips pertolongan pertama untuk kecelakaan terhadap anak yang banyak terjadi di rumah. Hanya 10 halaman tetapi menjadi salah satu daya tarik orang membeli buku tersebut." kata Nuggie yang kubalas dengan senyuman.

Melli duduk diam dengan bibir rapat. Dia tidak berkata sepatah katapun, juga tidak menghabiskan makanannya.

Kembali ke kantor dan membuka email aku melihat pesan baru dari Hendra IsBest. Dia menanyakan jawabanku untuk undangannya.

Setelah memikirkannya sekali lagi, kurasa aku perlu mengisi waktu dengan kegiatan di luar kebiasaan.

"Bisa bertemu di Hot Cup, pukul 17.00-18.00." tulisku membalas emailnya. Aku kira satu jam cukup bagi kami untuk membahas proposalnya. Dia segera menyetujui rencana tersebut.

Jo, sopir kami menurunkan aku di kedai kopi Hot Cup dalam perjalanan mengantar ibu pulang.

"Kenapa tidak membawa teman? Kamu yakin pertemuan dengan pria ini penting?" tanya ibu. Aku mengangguk tegas. Biasanya tugas seperti ini keberikan kepada Yessy dan Like.

"Di sini sebentar saja, aku pulang untuk makan malam dengan ibu," kataku sebelum turun dari mobil di depan kafe.

"Apa mau dijemput Pak Jo?" tanya ibu.

"Tidak usah, nanti naik taksi saja," jawabku.

Sepuluh menit sebelum waktu yang ditentukan aku memasuki kafe, memilih kursi yang menghadap ke pintu untuk memudahkanku mengawasi tamu tamu yang masuk.

Sudah lama aku tidak pergi ke kafe seorang diri. Ada t rasa canggung, ketika beberapa orang menatapku.

Ah kenapa aku merasa seperti gadis muda yang menunggu bertemu dengan teman kencannya.

Untuk menghindari tatapan mata orang-orang (mungkin juga hanya perasaanku), aku membaca menu yang ada di atas meja.

Perempuan pelayan datang dan mencatat pesananku. Es Kopi dan tape bakar.

Seorang pemuda dari meja di seberang berdiri dan berjalan mendatangiku.

"Laura Arden? Saya Hendra." Katanya dengan tersenyum lebar dan menarik kursi di depan. Aku berdiri dan menyambut jabatan tangannya. Rupanya dia justru datang lebih awal dan sengaja tidak segera menyapa. Kami belum pernah bertemu.

Senyumnya lebar karena bibirnya memang lebar dan tipis. Kata orang-orang tua, bibir tipis suka banyak bicara.

"Lebih cantik aslinya dari foto-foto yang kulihat di medsosmu," Hendra memujiku. Samar-samar aku mencium keharuman tubuhnya, entah dari jeli rambut, lotion atau parfum. Aroma maskulin, bargamot, mint dan kayu-kayuan.

"Haha… apakah ini salah satu tips untuk menarik perhatian orang?" Dia hebat punya banyak follower karena kemahitannya berkata-kata.

Pengikutnya di medsos kebanyakan perempuan muda – yang kerap menyemangatinya dengan komentar-komentar seru. Hendra percaya diri dengan status dan keberhasilannya itu.

Laki-laki itu tersenyum lepas. Wajahnya memiliki tulang pipi menonjol, dan saat tertawa rahangnya turun dan garis pipi yang panjang membuatnya terlihat semakin tirus. Rambut gongrongnya yang ikal menggantung di atas bahu, bergerak saat dia berbicara. Caranya berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan ekspresi wajah seperti sudah dipelajarinya dengan cermat. Gayanya bisa membuat hati para perempuan penggemarnya meleleh. Dia masih lajang, status ini juga menguntungkannya.

Hendra menjelaskan niatnya untuk mencetak buku mengingat masih banyak orang yang suka membaca tips secara offline.

" Penerimaan naskah di tempat kami dilakukan melalui penyaringan oleh tiga orang editor., Jadi mohon bersabar, kira-kira dalam waktu satu bulan kami akan memberi jawaban."

"Apa tidak bisa lebih cepat?" Hendra berbicara sambil menggerakkan kepala dan matanya menatap langsung. Kepalanya agak mendongak dan jakunnya turun naik seirama kata-kata yang diucapkannya. Dia tahu betul cara mengoptimalkan pesonanya.

"Kami usahakan."

"Aku berharap bisa lebih cepat. Berapa lama proses editing dan pencetakan, apabila kamu setuju menerbitkan?"

"Seminggu juga bisa siap. Kita bisa bahas proses distribusi dan strategi marketingnya ketika proses cetak berjalan."

"Masuk akal," katanya.

Aku menyeruput es kopi yang dinginnya sempurna, rasanya tetap kental karena bukan ditambah es batu melainkan kopi yang didinginkan, sangat, sangat dingin.

"Boleh aku memberi saran? Tentang akun medsosmu." Kata Hendra, menyampaikan topik bicara yang lain.

Aku melebarkan mata mendengar..

"Ada yang salah?"

"Buatlah akun terpisah antara akun resmi terkait perusahaan dan akun pribadi, Untuk keamananmu, hindari profil foto close-up dan masalah pribadi masuk pada akun perusahaan. Untuk akun pribadi sebaiknya kamu kunci sebagai akun pribadi, jangan menerima pertemanan dengan sembarang orang. Banyak orang sakit di luar sana. Tadi dalam waktu singkat aku sudah banyak mengetahui tentang urusan pribadimu," kata Hendra.

"Saran yang bagus, akan kupertimbangkan. Terima kasih."

"Hati-hati dengan love scammer, jangan sampai jatuh cinta karena mereka adalah penipu."

"Love scammer?"

"Iya itu pria-pria asing yang sering mengaku sebagai dokter, tantara, pilot dan meminta pertemanan dengan merayu korban untuk jatuh cinta lalu mereka akan menipu."

"Oh aku mengerti. Terima kasih sudah diingatkan, tetapi aku tidak mudah jatuh cinta." Kataku. Aku teringat Kenny ketika mengatakan hal ini. Tidak ada laki-laki lain yang pernah kucintai kecuali Kenny.

"Syukurlah, ikut lega mendengarnya. Apakah kita bisa bertemu, di luar urusan bisnis? Aku suka bercakap-cakap denganmu," kata Hendra, kembali melepas senyumnya yang mempesona.

"Kami akan meluncurkan buku minggu depan, nanti kuundang," jawabku.

"Itu tergolong bisnis, yang di luar bisnis apa bisa bertemu lagi?"

"Gigih juga ya? Ini tips nomor berapa?"

Dia tergelak tetapi tidak lagi mengejar dengan pertanyaan selanjutnya.

"Pasti banyak orang sering bilang bahwa kamu cantik, tetapi bagiku bukan hanya soal kecantikanmu. Berada di dekat Laura memberikan rasa senang. Aku tidak bosan memandang wajahmu, mendengar suara tawamu bahkan caramu berbicara."

Hendra semakin berani memberi pujian yang membuatku curiga, apalagi tatapan matanya, sangat bisa dimengerti sebagai tatapan orang yang sedang tergila-gila.

"Kalau aku tidak tahu reputasimu, pasti hatiku berdebar-debar mendengar pujianmu." Kataku.

"Ini kukatakan dengan tulus, kamu harus percaya."

"Ha… haha, sulit untuk percaya, karena aku tahu seperti apa diriku. Senang ngobrol denganmu juga, tetapi sekarang aku harus pulang." Kataku.

"Okay, terima kasih sudah bersedia bertemu hari ini." Katanya. Dia memaksa membayar makanan dan minuman kami karena dia yang mengundang.

Aku mencari taksi online dan dengan cepat mendapatkannya sebab kami berada di Kawasan sibuk di tengah kota.

"Sampai jumpa Laura," dia memberi salam ketika kami berpisah di depan kafe.

Meskipun kata-kata Hendra terkesan menggoda, namun dia tetap menjaga sikap sopan dan membuatku merasa nyaman. Mungkin aku bisa mempertimbangkan untuk bertemu di luar urusan bisnis seperti yang dimintanya. Tetapi untuk apa sebenarnya dia meminta bertemu di luar bisnis? Perkenalan kami terjadi atas dasar urusan pekerjaan.

Wajah Kenny terbayang. Aku merasa bahwa diriku mulai terbuka kembali. Hendra adalah laki-laki pertama yang kutemui secara pribadi sejak peristiwa itu. Biasanya aku menemui klien bersama Nuggie atau rekan kerja yang lain. Tidak pernah seorang diri. Tiba-tiba aku merasa muda kembali pada umurku yang mencapai 28 tahun.

Aku harus membuka diri seperti kata ibu.

***