Aku masih mendengar Meli meminta Nugroho memeriksa hasil kerjanya.
"Jika nanti kamu diterima, kamu harus membuatku yakin tidak perlu lagi memeriksa hasil kerjamu. Itu tugasmu,"
"Siap , Nugie, aman…"
Aku akan meminta Nug memberi alasan dia merekrut editor baru sementara kami masih memiliki lima editor dan tidak sedang kekurangan tenaga.
Aku menuju ruang kerja ibu, mengetuk kayu bingkai pintu kaca yang tertutup.
"Masuk," kata ibu tanpa mengangkat wajahnya yang sedang menatap computer.
Aku masuk dan duduk di sofa sambil memperhatikan ibu.
"Kamu tidak ada kerjaan?" tanya ibu.
"Banyak, Cuma belum ingin duduk kerja. Sedikit lagi."
Kini ibu mengangkat wajahnya dan menatapku dengan pandangannya yang sudah kuhafal, ibu sedang bersungguh-sungguh.
"what?"
"Kapan bisa memastikan… jawabanmu untuk Ken?"
Mendengar pertanyaan itu aku menyandarkan punggung dan kepala ke sandaran kursi.
Sebelum ibu bertanya aku sudah memikirkannya sejak di Pulau Bunga. Jika aku memilih kembali kepada Ken dan tinggal di sana, ibu akan sendiri dan tentunya juga harus memikirkan kelanjutan perusahaan. Keberadaan Nug beberapa tahun terakhir sebenarnya cukup membantu, namun ibu belum yakin untuk menyerahkan tanggungjawab perusahaan peninggalan bapak ini kepada Nug.
"Ibu tidak mendesakku kan ?" aku meraih kubik ajaib dari meja dan memainkannya.
"Meski demikian harus kita pikirkan bersama sejak sekarang," kata ibu.
"I love you mom." Kataku sambil berdiri dan akan keluar.
"Nanti siang kita makan bareng, ajak Nug." Kata ibu.
Aku mengangguk dan meninggalkan ruang kerja ibu untuk menuju ruang kerjaku yang terletak di ujung dekat halaman belakang. Untuk menuju ruang kerja tersebut aku harus melewati koridor panjang dan toilet. Saat itu kulihat Meli keluar dari toilet dan dia berjalan seolah-olah tidak mengenalku atau bahkan tidak melihatku. So arrogant!
Setelah menghidupkan computer aku mulai membuka email dan mengunduh beberapa dokumen naskah untuk memeriksa dan memberi catatan lalu mengembalikannya kepada Nug. Pada saat aku tenggelam dalam pekerjaan terdengar langkah-langkah tergesa-gesa yang mendekat.
"La… terima kasih oleh-olehnya," suara Wike dan Yessy bersahut sahutan.
"Syukur jika kalian suka. Terus terang itu pemberian, aku malas belanja apalagi membawa tentengan gitu. Jadi kalian mesti berterima kasih pada dua pria yang memaksaku membawa itu semua."
Kedua gadis itu terbahak mendengar candaku.
"Dua pria? Boleh dong dikenalkan kepada kami?" kata Wike. Aku melambaikan tangan menampik permintaan mereka.
"Yang satu suami orang dan yang seorang duda…" aku bergumam, mereka terkikik, entah mendengar gumamanku atau tidak.
"Oke, kami lanjut kerja…" kata Yessy sambil berbalik dan menggandeng Wike.
Sepeninggal mereka aku menjawab email-email yang masuk dari para penulis dan beberapa mitra toko buku. Ada satu email dari Hendra, seorang youtuber yang sedang naik daun. Dia mengajukan proposal untuk menulis pengalaman dan panduan praktis menjadi Youtuber.
Dalam jawabanku selain menyambut baik proposalnya untuk kami pelajari, aku juga bertanya alasan Hendra memilih penerbitan kami, yang tergolong di luar 10 pesar. Rupanya dia sedang online sebab baru beberapa menit email terkirim, dia sudah membalas kembali.
Hello there!
Meski bukan penerbit terbesar tetapi Sinar Baru cukup punya nama dan menerbitkan buku berkualitas. Semoga kerjasama kita akan "smooth" dan berlanjut.
Sudah lama saya mendengar tentang Anda, tapi kita belum pernah berjumpa. Bagaimana jika nanti malam kita bertemu sambil makan, mengkin bisa mendapat ide – ide baru untuk buku selanjutnya? I want to hear good news from you.
Hendra Isbest
Ajakannya terlalu mendadak sementara aku belum banyak tahu tentang dirinya, kuputuskan untuk menunda membalas email tersebut.
Akhirnya semua email telah kubaca dan kutanggapi, beberapa dokumen kuteruskan kepada staf sesuai bidang mereka. Aku mencari tahu tentang Hendra dan memutar beberapa Youtubenya. Not bad. Wajahnya menarik dengan hidung tinggi, mata yang cerah dan optimistic serta senyum yang menggoda. Keberhasilannya adalah karena dia menggarap tema-tema yang disukai perempuan dengan sudut pandang laki-laki. Beberapa yang banyak dikomentari adalah saat dia menggungah tema "10 gaya rambut perempuan yang disukai laki-laki", "mengenal 10 tanda pria tertarik padamu" "10 menit sehari melatih senyum menawan". Aku tahu, ajakannya adalah salah satu cara dari 10 keajaiban yang dikantonginya.
Tanpa terasa sudah mendekati jam makan siang. Aku mengemasi meja kerja dan keluar menuju kamar kerja ibu sambil menelepon Nugroho.
"Ibu mengajak kita makan di luar, bersiap dalam 10 menit," kataku sambil menutup telepon. Baru saja aku memasukkan hp ke dalam tas, ketika terdengar nada panggil.
"Ya Nug?"
"kuajak dia ya?"
"Siapa?" tanyaku.
"Melli."
"suka sukamu" kataku agak kesal.
Ibu pasti ingin berbicara "pribadi" bertiga, jika Melli ada di antara kami, maka tidak mungkin kami membahas masalah di depan orang luar.
Sepuluh menit kemudian kami sudah berjalan di halaman parkir. Aku menyerahkan kunci mobil pada Nugroho yang berjalan di belakang bersama Melli. Wajahnya terlihat riamg tetapi kesomnbongannya melekat kuat bahkan dari cara dia menggerakkan tubuh bisa dilihat.
"Saya duduk di depan ya Nugie?"
Aku dan ibu saling berpandangan dan tanpa berkata apa pun aku membuka pintu belakang untuk ibu lalu memutar ke kanan untuk diriku sendiri. Melli otomatis duduk di depan.
"Kemana kita?" tanya Nug sambil menghidupkan mesin.
"Ibu sudah pesan tempat di Resto Red Spices."
"Baik." Dia menjalankan mobil sambil sesekali bercakap-cakap dengan ibu dan Melli, sementara aku sibuk membuka fb di ponsel. Perhatianku terpecah melihat Melli bersikap manis kepada ibu dan Nug, tetapi tidak menganggap keberadaanku.
Kami tiba di resto Red Spices, Namanya mengerikan bagi mereka yang tidak menyukai masakan pedas, namun sesungguhnya banyak pilihan olahan yang tidak pedas. Selain rasa yang lezat dan bahan makanan yang selalu segar, daya tarik masakan di tempat ini adalah sajiannya yang cenderung terlihat merah menyala.
Melihat meja reservasi berada di dekat jendela, aku langsung menuju ke kursi di sampig jendela, sementara ibu duduk di kananku, sedangkan Nug memilih kursi di depanku dan Melli tentu saja di sebelahnya.
"Maaf tiba-tiba saja saya jadi merepotkan, saya tidak tahu harus makan siang dimana jadi ikut Nugie," kata gadis itu kepada ibu.
"Tidak usah dipikirkan," jawab ibu sambil menyodorkan menu padanya. Seorang pelayan menghampiri dan ibu langsung memesan masakan kesukaanku, buncis lada garam, kepiting soka asam manis, ayam tulang lunak dan greek salad.
"Kalian silakan pilih yang lain," katanya dengan menatap Nug dan Melli. Mata Melli melirik padaku, mungkin dia berpikir bahwa ibu tidak menawariku. Melli memilih udang goreng mayo dan Nug memesan daging sapi lada hitam serta ca brokoli. Makan siang yang meriah.
"Ibu Silvia hebat, memiliki dan mengelola penerbitan seperti ini, saya iri hati," katanya memuji ibu.
"Ah ini pun terpaksa, saya sudah mulai merasa harus mundur, ini yang ingin kubicarakan dengan kalian," kata ibu memandangku dan Nug. Tidak mungkin kami melanjutkan percakapan sebab ada Melli.
Melli menyeringai.
"Sepertinya Nugie cocok dengan pekerjaan ini ya Bu, asal didukung oleh staf yang kapabel," kata Melli sambil menaikkan dagu, penuh percaya diri, pada akhirnya dia melirik padaku.
Tiba-tiba aku merasa dia meremehkan keberadaanku. Mungkin dia tidak tahu bahwa aku anak ibu? Aku juga memiliki 30 persen saham? Ponselku berdering, nama Kenny muncul di layar.
"Helo…" kataku.
"Kamu dimana? Apa baik baik dan sudah makan?" dia bertanya berturut-turut.
"Mana yang harus kujawab dulu?" aku berbisik.
"Mana saja asal bisa dengar suaramu, aku senang."
"Ehmm." Mulutku jadi terkunci dan merasa tiga pasang mata memandangku. Nuggie yang berada tepat di depanku memandang tanpa berkedip.
"Jadi kamu dimana? Terdengar berisik, bukan di kantor?"
"Bukan, ini sedang makan siang di luar."
"Dengan siapa?" belum sempat kujawab terdengar suara Nug.
"Ini pesanan minummu, jeruk nipis panas," dia menyorongkan gelas minuman tersebut ke hadapanku. Terasa dia sengaja berbicara dengan lantang agar Kenny mendengarnya.
"Terima kasih Nug," kataku menyela.
Lalu berdiri meninggalkan tempat untuk melanjutkan percakapan dengan Kenny.
"Aku dengan ibu dan teman kantor," kataku. Kami hanya saling menanyakan keadaan, menayakan makanan tetapi hatiku terasa berbunga-bunga mendapat telepon dari Ken.
"Oke lanjutkan, sampai nanti malam. Laura, I love you deeper."
"Terima kasih Ken."
Lima menit kemudian saat aku kembali, semua pesanan sudah terhidang.
"Kenny?" tanya ibu sambil mengusap punggungku saat aku mulai duduk. Aku mengangguk lemah.
"Oh Laura, mukamu menjadi merah, Ibu akan kehilanganmu segera?" kata Ibu membuatku memandangnya dengan memohon.
"Lupakan dia Ray, ingat kamu sudah disakiti seperti itu! Lagipula dia sudah pernah beristri." kata Nuggie dengan marah dan matanya melebar.
Mulutku terasa menganga menanggapinya tetapi tidak merasa perlu untu menjawabnya atau menjelaskan lebih lanjut. Ibu menahan nafas dan menepuk punggungku, mengembalikan kesadaranku. Nuggie belum pernah bertemu langsung dengan Kenny tetapi dia membencinya.
"Cepat makan, nanti kepiting soka kesukaanmu diambil alih Nug," kata ibu bercanda.
"Kalau dia tega, silakan," jawabku dengan bahasa isyarat mempersilakan Nug. Kami bertatapan mata dan kemarahan masih menyorot dari matanya. Kusorongkan piring berisi kepiting soka mendekat kepadanya. Nug bergeming.
"Nugie, mau dong 2-3 potong," kata Melli, matanya nanar pada piring berisi kepiting soka asam manis.
"Makan yang lain saja," kata Nug tanpa memandang Melli, membuat gadis itu meraih tangannya.
Nug mendekatkan udang mayo pesanan Melli.
"Oh Nug, kita makan sama-sama pesanan ini, ibu kan cuma bercanda tadi," kataku lalu kepada Melli "Ambil sjaa." Aku memberinya senyuman, tetapi tampaknya dia enggan mengambil masakan tersebut.
"Nug, tahu youtuber bernama Hendra IsBest?"
Sebelum Nuggie menjawab Melli sudah menyela. "Dia keren dan followernya banyak, kamu kenal dimana?"
***