Nuggie memutar lagu di mobilnya, memberi suasana segar dalam perjalanan kami menembus jalan raya yang padat lalu lintasnya.
Ada telpon masuk untukku. Aku merogoh tas untuk mengeluarkan hp. Panggilan video dari Kenny. Kutekan tombol menjawab.
"Hai Ken," sapaku sambil tertawa lebar .
"Laura…" suara Kenny yang berirama dan menyebut huruf L pada namaku dengan suara yang berat itu menggetarkan hatiku. Wajah Kenny terlihat muram dan bibirnya terkatup rapat. Hatiku berdesir melihatnya, aku tidak suka memandang wajahnya yang muram dan ingin membuatnya tertawa.
"Heiii kenapa dengan muka jelek itu?" aku menggodanya, tetapi wajah Kenny masih serius.
" Wajah kehilangan kamu La, kapan kamu datang lagi?" suaranya serak dan matanya memancarkan kekosongan. Jika tanpa cambang, wajahnya pasti terlihat lebih tirus.
"Ini saja belum sampai di rumah kamu sudah bertanya kapan aku datang lagi. Hmmm datang untuk mama?"
" Kali ini Untukku. Please..."
"Belum bisa janji, eh aku ada beberapa pekerjaan yang lumayan padat" jawabku.
Kenny membisu tetapi dia matanya terus menatapku.
" Smile for me please…" aku berbisik supaya Nuggie tidak mendengarnya, karena suara percakapan telepon kami berbaur dengan lagu-lagu Bruno Mars.
Bibir Kenny terangkat sedikit, dia berusaha tersenyum walaupun matanya terlihat kosong. Apakah dia benar-benar merasa kehilangan aku?
"Kembali padaku Laura!" dia memohon dengan kalimat yang membuatku tergagap.
Matanya membuat perasaanku seperti diayun-ayun dengan cepat dan aku merasa bersalah karena pulang. Mengapa aku yang merasa bersalah dengan pulang cepat dan tidak menjawab permintaannya? Kenny pandai membalikkan keadaan. Kulihat Nuggie berusaha mendengar percakapan kami. Dia juga murung. Nah, bagaimana ini, tiba-tiba aku tersudut oleh dua laki-laki. Seakan-akan aku bertanggungjawab untuk membuat mereka gembira.
"Bagaimana keadaan Mama?" tanyaku memecah kebisuan.
"Jangan mengalihkan percakapan." Kenny menjawab dengan cepat. Aku tertawa menanggapinya.
Mata elangnya menajam, lalu bibirnya terkatup lagi.
"Sabar," jawabku dan memberinya seulas senyum.
"Tidak bisa sabar, sudah terlalu lama aku menunggumu." Kembali Kenny menggunakan nada protes.
"Itu aku tidak pernah tahu kalau ditunggu. Don't blame me!" Aku tertawa dan berkata yang sebenarnya.
Kenny terhenyak, bibirnya terbuka dan dagunya menurun.
"Sekarang aku memberitahu."
"Okay. Sekarang aku tahu. Terima kasih."
"Kamu dengan siapa?"
"Nuggie… ini dia sedang menyetir, berjuang melawan kemacetan," kataku sambil mengarahkan layar hp ke tempat Nuggie.
"Hai, Ken, apa kabar?" sapa Nuggie sekilas. Dia mengemudi sehingga tidak mungkin untuk menatap layar hp lebih lama dari beberapa detik.
"Hello Nuggie, terima kasih sudah menjemput Laura," kata Kenny, terasa aneh.
"Huh… jangan khawatir, menjemput dia adalah kewajibanku," Jawab Nuggie. Aku merasakan nada jengkel yang ditahan oleh Nuggie. Tentu saja dia jengkel.
" Senang mendengarnya. Terima kasih," Kenny menjadi sopan dan formal terhadapnya, seakan tidak memahami kemarahan Nuggie.
Aku membalik HP menghadap padaku kembali dan kami saling menatap.
"Tadi perjalanannya lancarkan?" tanya Kenny. Aku teringat bermimpi dalam tidur beberapa detik.
"Oh… aku mimpi pesawatnya jatuh, kurasa aku mengigau sampai penumpang di sebelah membangunkanku. Ehmm dr. Hardy, apa kamu kenal?"
"Kenal. Dokter puskesmas. Sepertinya dia cuti selama tiga minggu." Jawab Kenny.
Kami terus bercakap-cakap sampai aku harus turun dari mobil karena telah sampai di rumah.
"Kami sudah sampai rumah," kataku berharap dia mengakhiri teleponnya.
"Salam hormat untuk ibunda, nanti malam aku telepon kamu," Kenny menutup telepon.
"Ahh..." kataku mengeluarkan nafas yang menggumpal di dada, sambil memasukkan hp ke dalam tas.
"Oray… terlihat kalian cukup mesra." Nuggie mematikan mesin mobil dan mengerling kepadaku.
"Tadi dia minta aku menelepon ketika tiba, tetapi aku lupa,," kataku berbohong, karena tadi sudah sempat berbicara dengan Kenny ketika di bandara. Akhir-akhir ini aku banyak berbohong. Aku masih canggung dan tidak ingin Nuggie berpikir bahwa Ken dan aku menjadi akrab kembali.
Di dalam rumah ibu berdiri menungguku di pintu ruang tengah, dia baru keluar dari dapur.
Nugroho dan aku membawa masuk barang bawaan.
"Kalian tiba tepat pada waktu makan malam, ibu juga sudah lapar," kata ibu.
Kulihat makanan sudah siap di atas meja.
"Syukur kamu tiba dengan selamat." kata ibu.
"Kenny dan mama kirim salam untuk ibu," kataku sambil memeluk ibu dan memberinya ciuman di pipi. Tangan ibu merangkulku.
"Apa mereka baik-baik seberapa parah mamanya?" ibu memberi isyarat padaku untuk duduk dan menceritakannya.
"Nug, makan dulu," kata ibu kepada keponakannya.
"Saya pinjam kamar mandi dulu," Nugroho berjalan ke kamar mandi.
Ibu kembali menatapku. Aku menceritakan keadaan mama yang tidak terlalu mengkhawatirkan dan cerita lebih lengkap tentang pernikahan Kenny dan mengapa istrinya meninggal.
Ibu mendengar dengan tenang. Dia menarik nafas.
"Ooo istrinya meninggal pada awal tahun pernikahan mereka?" ibu mengulang kalimatku. Kepalanya dimiringkan ke kanan, matanya berputar ke atas, mimik yang lucu di wajah yang bulat, lalu bibir ibu bergerak-gerak tanpa satu kata yang diucapkan. Aku mengangguk.
Naluri ibu membuatnya menatapku dalam-dalam seperti menanti kata-kata penting dariku.
Nugroho datang dan duduk di sebelahku.
"Baik mari kita makan," ibu membuka tutup- tutup mangkuk yang berisi makanan.
"Pas aku lapar banget, di pesawat dapat makanan ringan." Kataku berselera melihat masakan ibu, sayur nangka muda dengan iga sapi.
"Haha… aku juga makin lapar mencium aroma sambal tomat terasi," kata Nuggie. Dia juga terbiasa dengan masakan ibu, sebab dari kecil Nuggie kerap menginap di rumah kami.
" Itu tahu dan tempe bacem andalan Tante Sil," kata Nuggie menunjuk masakan yang dimaksudnya dengan tujuan memuji ibuku.
Aku mulai makan, tanpa menatap mata ibu. Dia masih terdiam menatapku.
"Berarti dia sudah lama menjadi duda?" tanya ibu.
"Iya"
Lalu senyap. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"nduk ceritamu belum selesai…" ibu menungguku.
"Hmmm… sudah kok…"
Aku menunduk menatap makanan di piring dan tidak berani membalas tatapan ibu.
"Dia bilang apa?" Mata ibu menyelidik.
"Mama atau Ken? Tentang apa?"
"Huhhh… Ken, tentu! Hmm tentang permintaannya agar kamu ke sana… pura-pura bodoh!" ibu terlihat tidak sabar. Aku tidak ingin banyak bicara di depan Nuggie, tetapi ibu seperti tidak memahaminya.
Aku menggeleng, mulutku terkunci meskipun aku ingin berbagi dengan ibu, kali ini aku merasa jengah.
"kenapa kamu menyembunyikannya dari ibu?"
Bagaimana mungkin aku berpura-pura seperti ini, sebab ibu adalah ibu, dia selalu tahu kegelisahan kedua putrinya. Aku dan Farina selalu terbuka kepadanya dan kami bertiga tidak pernah menutupi apa pun.
Aku meletakkan sendok garpu, mengusap mulut dengan tisu sambil menenangkan diri.
"Dia mengajak menikah…" rasanya ada sesuatu yang terangkat dari dadaku ketika mengucapkan kalimat ini.
"Lalu?" mata ibu melebar dan wajahnya bersemangat. Nuggie menjatuhkan sendoknya, mulutnya terbuka menatapku.
"Aku belum menjawab."
"Kenapa?" tangan ibu menggenggam tanganku memberikan rasa hangat serta aman, seolah dia mengatakan akan selalu bersamaku dalam suka dan duka, juga dalam setiap keputusanku.
"Ibu… semua terasa tiba tiba dan aku tidak tahu apakah aku mengharapkan ini? Aku sudah lama tidak memikirkannya, aku aku… jujur tidak tahu harus bagaimana."
Ibu mengangguk dan meremas tanganku.
"Ya pikir baik baik, tapi jangan takut membuat keputusan. Betul kan Nug?"
Nuggie terlihat mengangguk dan menunduk.
Dia tidak pernah menunjukkan perasaannya yang sesungguhnya terhadapku di hadapan ibu, sehingga ibu selalu beranggapan hubungan baik kami dilandasi oleh persaudaraan sebagai sepupu.
Aku berdiri mengambil dos berisi roti pemberian Camelia dan membukanya.
Kutawarkan pada ibu dan Nuggie untuk memilihnya. Ibu tertawa lebar dan berkata bahwa jauh-jauh dari Pulau Bunga mengapa aku membawa roti, karena makanan jenis ini banyak di kota.
"Ini spesial, adonan rotinya dicampur dengan ubi, labu dan yang roti isi daging serta ikan dengan bumbu pedas, masakan setempat. Coba deh Bu, Nug, " aku mendesak mereka.
"Hmm coba yang ikan dan yang ubi, kita makan separo-separo," ibu mengusulkan sambil memilih roti yang dimaksud dan membaginya menjadi dua bagian.
Nuggie menolak, katanya dia sudah terlalu kenyang menghabiskan tahu bacem buatan ibu. Kupikir dia tidak tenang setelah mendengar aku mengatakan bahwa Kenny mengajakku menikah.
***