Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 22 - Terbang ke barat

Chapter 22 - Terbang ke barat

Richard menelepon pada saat aku dalam proses mengantri untuk check-in naik pesawat.

"Hai Richard…"

"Laura, ada porter yang menuju ke tempatmu, aku titip oleh-oleh, maaf tadi terlambat," katanya.

"Um.. bagaimana dia mengenaliku?" aku menengok ke pintu masuk. Pintu dan dindingnya kaca semua sehingga aku bisa melihat Richard, Adriana dan Kenny.

Richard menyeringai dan menunjuk seorang porter yang berjalan masuk sambil menenteng satu kardus.

"Oh… kenapa repot-repot, tadi Kenny sudah belikan oleh-oleh juga," kataku.

"Tidak repot, ini dari kami untuk keluarga di kota." Katanya.

"Baiklah, terima kasih." Porter itu tiba dan menyerahkan kardus kepadaku.

"Laura, kakak cantik, kami menunggu kedatangan berikutnya ya," Adriana berbicara di telepon sambil tersenyum di balik dinding kaca.

Aku mengangguk kepadanya.

"Terima kasih untuk semuanya, ini aku sudah dapat giliran check -in, sampai jumpa," kataku sambil melambaikan tangan dan menutup telepon. Adriana meniupkan ciuman, Richard melambaikan tangan, namun Kenny hanya memandang. Kedua tangannya masuk di saku celana.

Pria yang mengantri di belakangku membantu mengangkat kardus oleh-oleh dari Richard sementara porter yang bersamaku mengangkat koper dan dua kardus lain. Bawaan pulang selalu menjadi lebih banyak dibanding ketika pergi.

"Terima kasih," kataku sambil memandangnya sekilas. Laki-laki itu tersenyum dan mengangguk.

Aku mendapat kursi nomor 19 F, dekat jendela, dan kopor serta kardus oleh-oleh masuk bagasi. Aku menerima boarding pass dan menenteng satu tas kecil dan sekotak roti. untuk masuk ke ruang keberangkatan. Sekali lagi aku menengok keluar, melihat Kenny, Richard dan Adriana yang masih berdiri mengawasiku.

Kulambaikan tangan kepada mereka. Bibir Kenny berbicara dengan jelas "I Love You". Kubalas dengan senyum dan lambaian tangan.

Pesawat lepas landas, semakin tinggi meninggalkan Pulau Bunga dan gunung-gunungnya. Duduk di dekat jendela di dalam pesawat yang terbang ke barat aku merasa seakan Kenny mengawasiku dan menungguku kembali kepadanya.

… Aku akan memanjakanmu…

Kata-katanya berdengung di kepalaku, senyumnya dan sinar matanya terlihat di tempat tempat mataku memandang, pada langit dan awan putih yang berarak.

Pesawat yang hilang sebelum aku pergi ke Pulau Bunga belum juga ditemukan dan keluarga serta kerabat penumpangnya masih dalam kecemasan. Aku berdoa agar penerbangan ini aman dan kami semua selamat hingga tiba di tempat tujuan. Aku ingin pulang dan bertemu ibu.

Pulang, ke rumah ibuku, kembali ke kotaku dan kembali ke pekerjaanku serta teman-temanku. Di bawah sana, Kenny berjanji menungguku, sampai kapan pun, katanya kemarin.

Laut di bawah berkilau-kilau seperti menegaskan janji Kenny kepadaku.

… Apa yang kamu inginkan Laura? Bermanja kepada Kenny, menghuni rumah di atas bukit bersamanya, juga mencintainya dan menjadi ibu dari anak-anaknya? Atau kamu memilih untuk tetap tinggal di rumah ibu dan melanjutkan hidup yang selama ini kamu jalani? Seolah-olah ada "aku" lain yang bertanya dan menunggu jawaban dariku.

Dadaku sesak, tenggorokan tersumbat sehingga aku membuka mulut untuk mengambil nafas.

"Apakah kamu bahagia?" tanya Kenny kepadaku yang tidak sempat kujawab dengan benar.

Apa arti bahagia bagiku? Wajar bagi seorang perempuan untuk menginginkan kehidupan baru sebagai istri dan ibu. Aku pernah menginginkannya, menjadi istri Kenny dan ibu dari anak-anak kami. Yang tidak wajar adalah saat aku berhenti menginginkan status sebagai istri dan ibu karena Kenny sudah menikah dengan orang lain. Aku tidak bisa membayangkan menjadi istri pria lain. Sekarang, Kenny tidak terikat dalam pernikahan dan melamarku, tetapi mengapa aku enggan menerimanya? Karena aku tidak percaya lagi kepadanya atau karena aku ingin membalas sakit hati. Membayangkan Kenny, rasanya aku tidak bisa menyakitinya. Aku terlalu menyayanginya. Pikiran-pikiran ini membawaku dalam ketidak pastian. Aku tidak bisa membuat keputusan untuk diriku sendiri, bagaimana mungkin aku memberikan keputusan bagi orang lain? Airmata yang sejak tadi kutahan akhirnya mengalir deras tak terbendung.

Kenny... kenny... kenny... kenapa harus seperti ini?

Aku menengok keluar jendela dan menahan isak tangis, supaya laki-laki yang duduk di sebelahku tidak mengetahuinya. Kuusap air mata dengan punggung tanganku dan kugigit bibir bawah untuk mengahan isak tangisku, bagaimana pun juga aku tidak bisa menyembunyikan tangisku. Tangan pria itu terulur memberikan tisu. Dia pria yang tadi antri di belakangku.

"Mungkin kamu perlu ini?" katanya.

Aku menerimanya tanpa berbicara, sebab tenggorokkanku masih tersumbat oleh tangis.

Aku terlalu malu untuk menghadapi penumpang di sebelahku ini, sehingga aku memalingkan wajahku dan memunggunginya, meski pun merasa tindakanku ini tidak sopan.

Rupanya aku tertidur beberapa detik ketika tiba-tiba aku merasakan pesawat jatuh menukik dengan cepat. Aku berteriak sekencang-kencangnya dengan panik. "Aku ingin pulang, aku tidak mau mati berkeping-keping jatuh di laut!" seruku.

Tiba-tiba aku tersadar. Tubuhku berguncang. Pria di sebelahku memegang bahuku kuat-kuat sampai aku merasa kesakitan.

"Apakah kamu bermimpi?" dia bertanya. Matanya menatap lurus.

Aku mengangguk. Pesawat jatuh? aku masih di dalam pesawat, duduk bersebelahan dengan pria yang mengguncang bahuku.

Berita-berita pesawat jatuh mempengaruhiku. Tubuhku berkeringat dan kurasakan aku sedikit menggigil. Bulu kuduk pun berdiri.

Pria itu mengambil botol air mineral dan membuka tutupnya.

"Minumlah. Tubuhmu memerlukannya," katanya menyodorkan air minum. Aku gamang menatapnya.

"Saya dr. Hardy." Dia memperkenalkan diri. Dia menyebut statusnya sebagai dokter, memberi dampak kepadaku. Aku menjadi tenang dan menerima botol air minum darinya.

Setelah meminum habis air dalam kemasan 330 ml , aku merasa lebih tenang.

"Apakah ada yang mengganggu pikiran, sepertinya Anda mengalami depresi." Kata dokter itu.

"Sedikit ada masalah dok, tapi saya bisa mengatasinya," kataku berbohong.

"Anda pasti bukan orang Pulau Bunga, ini perjalanan pulang?"

Aku mengangguk.

"Dokter bertugas di Pulau Bunga?" aku balik bertanya.

"Hm. Saya tugas di puskesmas Kecamatan Kota. Sudah satu tahun."

"Betah di sana?"

"Ya saya suka orang lokal, mereka ramah dan baik hati, sikap mereka berterus terang. Kalau Anda … hmmm?"

"Silvia. Saya pernah tinggal enam bulan di Pulau Bunga, ini kemarin menengok ibu kost yang sakit," kataku, tidak sepenuhnya berbohong, tetapi aku memakai nama ibuku untuk perkenalan.

Kami mengobrol banyak sepanjang sisa perjalanan dan keadaan itu mengalihkan pikiranku dari Kenny.

Ketika tiba di Kota Baru setelah menempuh perjalanan 2.000 km, di atas ketinggian 33 ribu kaki, waktu sudah sore.

Aku mengucap salam perpisahan kepada dr. Hardy dan menunggu bagasi. Pada saat telepon genggam hidup kembali, banyak sekali pesan yang masuk. Aku menelpon Nugroho.

"Tunggu di gerbang ya, aku sedang mengambil bagasi." Kataku.

"Okay. Aku sudah di tempat." jawabnya.

Kulihat ada beberapa pesan masuk di hp-ku dari Kenny.

" La, suaramu, juga senyummu sepertinya tertinggal, ini mengikuti terus. Aku tidak percaya kamu sudah pulang!" kalimatnya membuatku tertegun.

"Terima kasih untuk semua kebaikan. Ini baru mendarat dan sedang menunggu bagasi. Peluk untuk mama," aku menulis pesan. Kenny segera membacanya tetapi tidak membalas.

Aku memasukkan HP ke dalam tas dan mengurus pengambilan bagasi lalu mendorong trolley berisi barang bawaanku ke tempat penjemputan.

Nuggie berjalan mendekat. Dia memeluk dan mencium kepalaku lalu mengambil alih trolley sambil kami berjalan ke tempat parkir mobil.

"Thanks Nug."

"Lain kali kalau pergi pamitlah, apa kamu benar-benar tidak menganggap aku?" Nuggie memprotesku.

"Sorry…" dia selalu baik kepadaku.

"I miss you Oray…" Nuggie mencolek pipiku.

Keponakan ibuku ini mencintaiku. Dia terang-terangan mengatakan ingin menikahiku, tetapi aku menolaknya.

"Kenapa?" waktu pertama kali aku menolaknya Nuggie bertanya seperti itu.

"Kita masih ada hubungan darah." Kataku.

"Nonsense. Ayah kita berbeda jadi secara adat dan secara medis kita bisa menikah."

"Nuggie, sejak kecil kita Bersama-sama dan aku menganggapmu sebagai kakak. Tidak ada rasa cinta yang lain terhadapmu." Kataku.

Nuggie mengatakan bahwa dengan menikah dia merasa yakin cintaku akan tumbuh terhadap dia sebagai suami. Aku tidak pernah menganggap serius pernyataannya.

"Bagaimana progress bukunya? Editanku sudah rapi kan?" tanyaku sambil memandang Nuggie memasukkan barang-barang ke bagasi mobil.

"Sudah beres. Kita sedang mempersiapkan peluncuran, dua minggu lagi." Katanya.

Nuggie masuk ke mobil aku mengikutinya.

"Jadi bagaimana kabar laki-laki itu? Apa kamu berhasil meninju wajahnya?" Suara Nuggie terdengar gemas. Dia selalu bilang bahwa aku harus meremukkan wajah Kenny untuk melampiaskan sakit hati.

Kenny juga mempersilakan aku memukulnya. Aku tidak melakukannya.

Wajah Kenny terbayang dan aku merasa ada yang kosong di hatiku. Suara Kenny terus terdengar "Aku menanti mu sampai kapanpun, aku akan memanjakanmu…"

Kata-kata manis yang terus masih kuragukan.

"Haha… kurasa aku membuatnya bingung," kataku. Di dalam hati kutambahkan, aku pun bingung.

"Awas kalau kamu jatuh cinta lagi kepadanya. Dia tidak layak untukmu. Apalagi sudah jadi duda."

"Kok tahu?"

"Bunda Sil yang bilang."

"..."

***