Kami masih mendengar perempuan itu berbicara.
"Apa di kota besar tidak ada pemuda keren lagi? Haha haha…"
Sebenarnya aku tidak memahami maksudnya tetapi kata-katanya yang terakhir membuatku sadar bahwa perempuan itu menyindirku, "duren" yang disebutnya adalah duda-keren, Kenny lebih tepatnya.
Aku masuk mobil dari pintu kiri dan sesaat kemudian Kenny melajukan mobilnya.
"Mengapa dia bicara begitu?"
"Tak usah dipikir, dia kurang waras."
Aku tercekat dan tidak mempercayai kata-kata Kenny. Jelas sekali dia menyindirku, jauh-jauh datang kemari untuk mencari duda keren, Kenny. Menyebalkan! apa dikira aku semurah itu?
Kenny membawa kami ke sebuah toko oleh-oleh. Aku terkesima melihat aneka ragam keripik ubi, keripik jagung, sambal, kopi… waktu dulu aku tinggal di sini belum ada toko seperti ini.
Kenny menunjuk beberapa makanan yang dipilihnya dan dengan cekatan pegawai toko mengemasnya dalam kardus sambil dia membacakan belanjaan, sementara kasir membuat nota pembelian. Kenny membayar dan kami meninggalkan toko. Seluruh proses hanya berlangsung 20 menit.
Di dalam mobil Kenny mengatakan akan mengajakku ke toko roti.
"Tidak usah, roti banyak di kota," kataku.
"Ini roti khas dari sini dan boss toko adalah temanmu," katanya.
"Hah…??"
Kenny mengerling dan mengatupkan bibirnya lalu menjalankan mobil.
"Siapa?"
"Sebentar kamu tahu." Dia meraih teleponnya dan mengemudi sambil menelepon. Aku menjadi khawatir, tetapi dia terlihat cukup terampil.
"Hey, aku akan ke situ. Ada roti labunya? Juga yang isi daging. Baik 5 menit lagi," lalu dia mematikan hp.
"Kamu senang akan pulang?" dia bertanya sementara tatapannya ke jalan raya.
"Aku menepati janji tiga hari di sini, aku ada pekerjaan yang harus kuselesaikan," kataku teringat WA dari Nugroho. Setiap akhir bulan seperti biasa ada audit di kantor kami.
"Dan kamu tidak akan datang-datang lagi?" dia melanjutkan. Aku tidak tahu apakah harus memberi jawaban "ya" atau "tidak". Untuk apa aku datang lagi? Jika tidak ada sesuatu yang penting pasti aku tidak akan datang. Apakah jika mama meninggal, duh, kenapa berpikir seperti ini, aku akan datang? Untuk apa? Lebih baik aku menemani mama saat dia masih hidup, bukan untuk melepas jenazah. Aku merasa sangat tidak nyaman.
"Laura … apa aku bisa mengharapkanmu datang lagi?"
Ada kerinduan dalam tatapannya yang terasa menusuk jantungku.
"Kemarin kamu menghindari pertanyaanku." Dia berkata lagi.
Aku memandang wajahnya, belum juga kutemukan kata-kata untuk menjawabnya. Aku tidak ingin kata-kataku membuatnya bersedih, tetapi aku tidak bisa segera menjawab pertanyaannya.
Kami tiba di depan toko roti dan Kenny memarkir mobil di depannya serta mematikan mesin mobil. Dalam hening sesaat aku menjawabnya.
"Give me some space ..." kataku.
Dia tidak memberikan reaksi atas kata-kataku, melainkan membuka pintu mobil dan berjalan menuju pintu toko, meninggalkanku di tempat.
Toko Roti Camelia, neon box warna-warni pastel menarik perhatian di tempat tersebut . Kenny bilang pemiliknya temanku. Aku segera turun dan menutup pintu mobil lalu mengikutinya masuk ke toko. Camelia, aku teringat nama tersebut.
Di dalam toko seorang perempuan muda berjalan keluar dari konter.
"Hello Kenny… ah ini Laura? Laura...sungguh kamu?" serunya langsung berjalan dengan langkah lebar dan memelukku.
"Cemelia, apa kabar?" kami berpelukkan.
"Aku senang bertemu denganmu. Ken… jadi ini bagaimana?" Dia melepaskan pelukannya dan menengadah ke wajah Kenny. Kami paham maksud pertanyaannya, tetapi Kenny menjawab dengan mengambang.
"Seperti kamu lihat… Laura akan pulang ke Jakarta. Beri dia roti andalanmu seperti yang tadi kupesan," kata Kenny.
"Kenapa begitu cepat? Kapan kamu datang?" Camelia menatapku, tangan kami masih saling menggenggam.
"Tiba hari Minggu, tidak bisa lama aku kerja," kataku memberi alasan. Pekerjaan menjadi satu-satunya alasanku kepada semua yang bertanya.
"Ayo duduk dulu," katanya sambil menyeretku ke ruang di balik pintu kaca. Kenny mengikuti kami.
"Kami tidak bisa lama karena Laura harus ke bandara pukul satu," kata Kenny sambil melihat arloji. Camelia mengangguk dan menunjuk sofa untuk kami, lalu dia memberi perintah pada anak buahnya.
Sesaat kemudian dia menyuguhkan kopi untuk Kenny dan milk tea bagiku.
"Tokonya laris ya, kamu sukses ," kataku melihat banyak pembeli di toko ini.
"Puji Tuhan, aku memulai bisnis tepat waktu ketika belum banyak saingan dan berusaha menciptakan resep resep yang khas; Ken suka roti labu kuning dan roti daging, bahkan aku bikin roti dengan ikan pedas," kata Camelia, wajahnya memancarkan kebanggaan.
Setelah kami berbincang-bincang dan menghabiskan minuman, Camelia menyerahkan sekotak roti dan tidak bersedia dibayar walau Kenny memaksanya.
"Kalau Laura anggap saya sebagai teman, ini hadiah untuk pertemuan kembali, lain kali baru bayar,"Katanya.
Kenny menyerah dan memasukkan kembali dompetnya tanpa mengeluarkan selembarpun uang.
Pada saat itu seorang perempuan setengah baya masuk ke toko dan berbicara dengan suara lantang. Dia memesan beberapa roti, lalu melihat Kenny.
"Ken?"
"Mama…"
Mereka bercakap-cakap dan Kenny membayar roti yang dibeli perempuan itu.
Aku memandang Camelia, dia menarik tubuhku dan berbisik.
"Itu ibunya Marina."
"Oh…"
"Hati-hati, mereka satu keluarga orang tidak baik." Camelia berbisik dan merapatkan lengannya untuk memastikan aku mendengar peringatannya.
"Apa kamu tidak merasa aneh dengan pernikahan Kenny waktu itu? Syukur perempuan itu dapat karma, mati muda." Suara Camelia terdengar menggeram.
Kurasakan tubuhku tegang. Kata-kata Camelia membuatku bertanya-tanya kembali tentang sikap Kenny waktu itu.
Perempuan bersuara lantang itu terlihat dominan.
"Kenapa lama tidak ke rumah. Cecilia menunggumu," kata perempuan itu seperti berharap orang satu toko bisa ikut mendengar.
"Lain kali Ma, maaf saya harus segera ke bandara. Mari La. Bye Camilia," Kenny menyeret tanganku.
Camelia masih sempat menepuk punggungku.
"Kutungga kamu datang lagi."
"Okay. bye..."
Kami meninggalkan toko roti dan bergegas masuk ke mobil.
"Siapa perempuan itu?" aku pura-pura belum mengetahuinya. Kenny tidak menjawabku. Aku menduga Kenny belum terbuka kepadaku mengenai pernikahan dan hubungannya dengan keluarga Marina.
"Ehmm nanti tolong kirimkan nomor hp Camelia kepadaku." Aku melihat dia mengangguk.
Mobil berhenti di persimpangan jalan karena lampu merah. Tiba-tiba terdengar suara Kenny,
"Apa kamu bahagia?" Matanya yang bening terasa menarikku tenggelam di dalamnya.
Pertanyaan yang tidak mudah kujawab. Apa aku bahagia? Sejak perpisahan enam tahun yang lalu aku tidak berpikir apakah aku bahagia atau ada yang harus kukejar? Impian untuk menikah dan memiliki anak dengan Kenny sudah terkubur.
Pertemuan sekarang memang menggoyahkan perasaanku, tetapi aku juga belum siap untuk membuat keputusan. Berada di dekat Kenny terasa ada kekuatan yang memberi rasa aman. Rasa kewanitaanku muncul, ingin bermanja padanya. Sepotong kue yang tadi siang dibawanya membuatku merasa diperhatikan. Pada saat makan berdua aku merasa kami sebagai keluarga. .
"Kalau belum bisa menjawab, bagaimana jika kamu bertanya padaku?"
"Hah… aku tidak butuh jawaban darimu!" balasku dengan cepat.
"Sungguh?" wajahnya mendekat . Dia terlihat kecewa.
"Bagaimana bila kukatakan aku tidak bahagia karena setiap hari merindukanmu…"
Lampu lalu lintas berganti hijau, Kenny menjalankan mobil.
Aku mengerling padanya. Apakah dia berkata dengan jujur, atau dia memanfaatkanku?
"Laura…" Suaranya dengan nada rendah dan sedikit serak.
"Kamu tidak percaya padaku atau kamu tidak bisa menerimaku?"
"Beri aku waktu untuk memikirkannya," kataku setelah sedikit tenang.
Kalau saja Kenny tahu bahwa aku tidak pernah berhenti mencintainya.
"Apa besok pagi kamu bisa menjawabnya?"
Aku menggeleng dengan cepat.
"Tidak."
Terbayang wajah ibu, Nugroho, pekerjaanku dan bayangan gelap yang selama ini membuatku cemas. Apa yang aku cari? Impian itu sudah lama terbukur dan tidak ada niatku untuk menikah. Cinta terhadapnya kunikmati sendiri dan tidak memerlukan kehadiran Kenny untuk mengakui dan menerimanya.
Kenny mengetukkan jari-jari ke kemudi.
"Tapi kamu mau mempertimbangkannya?"
Mulutku sudah akan menjawab tetapi kutelan kembali kata-kata yang sudah diujung lidah. Aku tidak ingin memberinya janji apa pun sebelum aku sendiri merasa yakin atas sikapku.
"Aku tidak ingin membuat keputusan di bawah tekanan."
"Aku mengerti, aku akan menunggumu, sampai kapanpun," katanya.
Aku mamandang keluar, melihat gunung-gunung dan langit yang biru terang. Pada saat mobil berhenti karena lampu merah di perempatan berikutnya, Kenny mengulurkan tangan dan mengusap kepalaku. Aku meliriknya.
"Jangan lupa ya aku menunggu jawabanmu, menunggumu," dia mengingatkan.
Aku menatap wajahnya. Apakah dia tidak mengerti jawabanku. Aku perlu waktu dan ruang untuk berpikir.
"Aku selalu menunggumu." Dia menegaskan dan aku mengangguk.
Mobil berjalan kembali dan membelok ke kanan, sekarang kami melawan sinar matahari. Kenny meraih sunglass dari kantong dan memakainya.
"Kurangi merokok, kalau bisa berhenti," kataku.
"Kamu mengkhawatirkanku?" dia tersenyum matanya melirik.
"Jika itu bisa membuatmu berhenti merokok." Aku memandang sisi kiri wajahnya yang terpapar sinar matahari dan terlihat segar berseri. Wajahnya masih mempesonaku.
Kenny tersenyum lagi dan wajahnya terlihat berpikir.
"Kamu akan melihatnya kelak."
"Hmmm" aku tidak tahu harus berkata apa lagi.
Kami tiba di bandara, Kenny membantuku mencari porter untuk membawa barang bawaanku.
"Laura, sungguh berat melepasmu pulang, tiga hari ini aku sangat bahagia. Semoga kamu paham bahwa aku sangat membutuhkanmu, aku ingin cintamu dan aku akan memanjakanmu," ujarnya sambil memelukku di depan pintu masuk. Ada banyak orang di sekitar kami dan membuatku tersipu sipu.
Kenny mencium pipiku dengan bibirnya, meninggalkan rasa hangat dan lembut. Cambangnya menggelitik sehingga membuatku berpaling menghindarinya dan bibirnya terasa mencium rambutku.
"Ken…" aku melingkarkan lengan di pinggangnya. Pertama kali kulakukan sejak pertemuan kami kembali.
Matanya yang menatap dalam berkesan memancarkan kelembutan yang menyebabkan arus listrik di tubuhku. Perutku serasa berputar.
Ken, aku mencintaimu selalu kataku di dalam hati.
Aku mengeratkan pelukan dan mengucapkan salam perpisahan.
"Baik-baik dan yang sabar merawat mama. Apu pulang," kataku.
"Laura, berkabar saat sudah mendarat ya…"
Aku mengangguk lalu bergegas masuk ke bandara, mengejar porter yang sudah berjalan di depan.
***