Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 20 - Dia bilang bahagia

Chapter 20 - Dia bilang bahagia

Tiba di rumah Kenny turun dari mobil dan memintaku menunggu dia membuka pintu rumah lalu kembali membopong mama yang tertidur . Mama terbangun dan berusaha untuk turun dari gendongan untuk berjalan.

"Sudah tidur saja…!" seru Kenny padanya dan membawa mama masuk ke kamar tidurnya.

Aku menutup dan mengunci pintu depan lalu ke dapur merebus air serta menyiapkan baskom dan handuk kecil untuk membasuh wajah mama juga lengan dan kakinya. Pada saat aku masih membasuh kaki mama, Kenny berdiri di ambang pintu.

"Kamu mandi? Aku siapkan air panas. " suaranya dengan nada rendah yang terdengar mesra. Aku menggeleng tanpa menengok ke belakang.

"Tidak perlu, aku hanya cuci muka."

"Tapi aku sudah merebus air cukup untuk kamu mandi." Dia menjawab dan meninggalkan kamar.

Aku terlalu lelah dan mengantuk sehingga meskipun ada air hangat cukup untuk mandi, kali ini aku hanya mencuci muka, tangan dan kaki. Kupikir Kenny bisa memakai air hangat itu untuknya.

Setelah aku membasuh muka, aku berjalan masuk ke kamar,tetapi Kenny mencegatku.

Tangannya meraih tubuhku dan memelukku. Belum hilang rasa terkejutku atas perbuatannya, tiba tiba dia sudah mencium bibirku, membuat tubuhku menegang. Aku meronta tetapi dia makin mengeratkan pelukan dan menggigit bibirku.

"I love you," bisiknya. Aku memukul dadanya dan menarik diri.

Setelah aku tidak memberi jawaban atas pertanyaannya sebelum kami pergi tadi, aku merasa Kenny menjadi murung dan tidak banyak bicara, tetapi kini tiba tiba dia menciumku.

Kembali aku sulit tidur. Segera aku mengemas barang-barang ke dalam kopor, dan menyediakan pakaian untuk besok pagi. Aku mencoba mengalihkan pikiran dengan memutar lagu-lagu di youtube sampai aku benar-benar mengantuk dan mematikan ponsel, sekitar pukul dua dini hari. Sebelum tidur masih sempat melihat keluar jendela kaca, bulan terlihat bundar dengan lingkaran putih di sekelilingnya.

Aku memaksa diri bangun lebih pagi meskipun masih mengantuk karena hingga pukul dua dini hari tadi belum tidur. Segera setelah mencuci muka dan menggosok gigi, aku menuju dapur untuk memanaskan masakan tadi malam agar Kenny dan mama bisa menikmatinya untuk makan pagi.

"Kenapa bangun pagi? Tidak bisa tidur atau tidur terlalu nyenyak?" Kenny di dapur sedang merebus air untuk membuat kopi.

"Aku siapkan makan pagi dari masakan kemarin, perlu beberapa menit, bisa tunggu?" aku menengadah, memandang wajanya yang lebih tinggi sekitar 20 cm dariku dan tidak menjawab pertanyaannya.

Dia tersenyum dan mengangguk, lalu mematikan kompor mengangkat ceret dan menuang air panas ke dalam gelas berisi kopi dan dua gelas lain berisi teh.

Kenny terlihat segar sehabis mandi. Pada saat dia meninggalkan dapur, aroma tubuhnya yang segar oleh sabun atau sampo berbau lavender masih memenuhi udara, masuk ke rongga hidungku. Aku teringat kembali pada ciumannya tadi malam. Begitu sulit menghindari Kenny di tempat ini.

Aku tidak memperhatikan dia lagi karena sibuk memanaskan masakan dan mengaturnya di piring agar terlihat menarik. Beberapa saat kemudian Kenny kembali ke dapur dan membantuku membawa makanan serta piring piring ke meja makan. Mama duduk di kursinya sambil memandang kami dengan tersenyum.

"Aku yang suap mama," kataku.

"Okay," kata Kenny.

Dia makan dengan menunduk dan tanpa bicara. Sekitar 10 menit kemudian piringnya sudah kosong, Kenny mengambil tisu dan mengusap mulutnya.

"Enak sekali masakanmu. Sudah pandai memasak ya?"

"Hmmm beberapa masakan saja, suka ngawur resepnya."jawabku santai.

Kenny memandang mama, sambil menghirup kopi.

"Ma, seandainya Laura bisa menemani mama terus tentu senang kan?"

"Bisa?" mama bertanya padaku.

Aku tidak menjawab tetapi menatap protes pada Kenny. Beraninya memanfaatkan mama untuk memojokkanku. Mama menunggu jawabanku, matanya lembut menatap.

"Sepertinya tidak mudah mama, banyak hal harus dipertimbangkan dan menjadi syarat," kataku menghadap ke mama. Aku tidak mau dimanfaatkan dan dibodohi.

"Kau urus itu!!" kata mama kepada Kenny.

"Tentu Ma, nanti kami akan membicarakannya." Suaranya terlihat percaya diri. Aku tersenyum dan meliriknya. Asal tahu, kamu tidak akan berhasil membodohiku. Kataku di dalam hati.

Kenny melihat arloji, berdiri dan berjalan ke kamarnya. Beberapa saat kemudian dia keluar dari kamar sudah berpakaian rapi untuk pergi bekerja.

"Laura…" cara memanggil dengan suara L yang tebal, hanya Kenny yang melakukannya.

"Ya…" aku berpaling menatapnya.

"Aku akan pulang cepat, jika kamu ingin sesuatu tunggu aku ya, jangan pergi sendiri, aku yang akan mengantarmu ke airport."

"Aku tidak kemana-mana," kataku.

"Good. Aku berangkat dulu."

Kenny mengusap kepalaku, mencium kening mama lalu berjalan keluar. Seperti waktu yang lalu aku mengawasi kepergiannya, menatap punggungnya yang lebar dan bahunya yang kokoh menghilang di balik tembok.

"Nak, tinggal kalian berdua yang mama pikirkan…" suara mama pelan dan tangannya meremas tanganku dengan lemah.

"Mama ini masih ada waktu,, saya akan mencuci rambut mama, memotong kuku dan memandikan mama dengan air hangat. Mama di kamar saja, saya akan atur semuanya. Bagaimana?" aku mendekap tubuhnya.

"Apa saja yang kamu pikir baik, mama ikut" jawabnya pasrah.

Dia tersenyum dan matanya terlihat basah.

Mama menurut apa saja yang kulakukan. Rambutnya yang panjang tetapi tipis di bagian ujung bawah kupangkas sekitar 10 cm dan kukeramas dengan bersih. Dalam proses yang kulakukan di kamar tidurnya, mama berbaring terlentang dan aku memakai alas plastik agar air tidak membasahi Kasur. Kepalanya kupijat dan kubilas dengan air hangat.

Mama mengantuk tetapi sesekali dia bertanya dan bercerita tentang masa kecil anak-anaknya.

"Mama sangat ingin kalian menikah. Kenny anak baik, terlalu baik bahkan dia mengorbankan kepentingannya sendiri. Kali ini dia lupa bahwa perbuatan yang menurutnya baik membuat orang yang disayanginya ikut terluka."

Aku mencoba memahami kalimat mama tentang Kenny yang terlalu baik. Apa sebenarnya yang terjadi pada Kenny? Apakah kata-kata mama ini tentang pernikahan Kenny dengan Marina? Aku tidak ingin mendengarnya.

"Apakah pijatan saya terlalu keras?" aku mengalihkan perhatiannya.

"Terlalu enak, mama agak mengantuk jadinya…"

"hmmm boleh tidur kalau mengantuk."

Mama tidak menjawab dan aku melanjutkan memijat, membilas dan mengeringkan rambut mama.

Pada saat Kenny pulang sekitar pukul 11.30, mama masih tertidur pulas.

Kenny memandang semua sudut rumah dan memberiku tatapan sangat dalam.

"Kerja keras hahhh!?"

"Tidak juga, aku sudah satu jam beristirahat."

Dia menyerahkan sebuah bungkusan kecil kepadaku.

"Semoga kamu suka," katanya lalu membalik badan dan meninggalkanku.

Bungkusan kecil itu berisi sepotong cake dengan krim stroberi di bagian atas. Aku membelalakkan mata melihatnya. Mengeluarkan desert tersebut dan memindahkannya ke piring kecil. Aku menikmatinya dengan puas.

Kenny masuk ke kamarnya dan berganti memakai jeans dan t-shirt lalu menuju kamar mandi mencuci muka, kaki dan tangannya. Setelah merasa bersih dia masuk ke kamar mama.

Ketika keluar dari kamar dia mendekat padaku dan tiba-tiba menarik lenganku serta memeluk tubuhku.

"Heiii" aku menolak dadanya, tetapi pelukan Kenny terlalu kuat.

"Terima kasih La, mama terlihat segar, dia tidur dengan tersenyum, kamarnya bersih, harum dan rapi." Tangan Kenny menepuk punggungku dan matanya yang ramah serta senyumnya membuatku merasa senang karena bisa membuatnya bahagia.

"No problem. Mau makan? ayam goreng dan sup sawi," kataku ketika Kenny melepas pelukannya. Kami berjalan Bersama ke dapur.

"Mama dan kamu sudah makan?" dia menarik kursi dan duduk. Makanan sudah siap juga piring untuk kami.

"Mama sudah, aku menunggumu."

Kenny menatap tetapi tidak berbicara apapun.

Aku mengambil sup yang baru kupanaskan dan memindahkannya ke mangkuk – mangkuk lalu membawanya ke meja makan. Uap panas sup sayur menguarkan aroma lada serta seledri yang segar.

Duduk di seberangnya, aku membuka tempat nasi dan mengisi piring Kenny. Dia mengetuk meja dengan jari-jarinya, dengan irama riang.

"Segini cukup?"

"Ya, cukup," jawab Kenny sambil mendekatkan mangkuk sup ke hadapannya.

Dia mulai memakan sup, mengunyah sayur dan menghirup kuahnya.

"Laura, terima kasih. Alangkah bahagianya bisa seperti ini" Mata itu terlihat teduh dan penuh cinta. Kami bertatapan mata. Dia bilang bahagia, hanya karena duduk makan bersamaku?

Kenny makan dengan lahap wajahnya penuh peluh di atas bibir, di hidung, di kening juga di leher.

"Laura, apa yang ingin kau bawa untuk oleh oleh? Mari kuantar belanja jadi kita berangkat lebih awal," kata Kenny .

"Aku tidak ingin apa-apa…"

"Untuk bunda? Aku yang beli kamu yang bawa." Matanya mengirimkan kekuatan pesan yang sulit untuk ditolak. Mungkin dulu aku akan meraih lengannya bergelayut manja dan segera pergi berbelanja dengannya. Sekarang ada rasa enggan yang menahan keinginanku untuk meraih lengannya yang kokoh itu.

"Jangan repot-repot, kain dari sini sudah banyak di rumah kami, ibu hanya memakai satu-dua kali," kataku mengingat beberapa lembar sarung dan kain pemberian dari mama dan Kenny.

"Kamu tidak memberiku kesempatan berbuat baik untuk bunda?" Kenny terlihat kurang senang dengan jawabanku. Pertanyaannya membuatku terkesiap dan menatap wajahnya yang terlihat murung. Aku kehilangan kata-kata.

"Ada kripik ubi, enak, kamu pasti suka." Kenny mendesak.

" Aku berkemas dulu dan berpamitan pada mama." Kataku.

Bagian terberat memang berpamitan dengan mama, sebab dia mengatakan menunggu kedatanganku yang berikutnya.

"Bagi saya yang terpenting mama terus sehat." Aku tidak memberikan janji. Kupeluk tubuh renta itu serta mengusap punggungnya.

Di halaman rumah sebelah Kartika sedang merawat pot-pot tanaman.

"Tika, titip mama sebentar ya?" kata Kenny.

"Siap, aman kakak…kemana?" jawabnya.

"Aku akan pulang," kataku menghampiri Kartika untuk berpamitan.

Tiba tiba terdengar suara perempuan berbicara dalam bahasa daerah. Aku menengok pada asal suara, melihat perempuan berumur 20-an akhir di sebelah rumah Tika.

"Duren, duren, tahu kan duren di sini enak, sampai jauh-jauh dari datang mencari," suaranya melengking dengan tawa berderai.

Kartika membelalak padanya, mengalihkan pandangan pada kami dan memberi isyarat pada kami untuk segera berangkat.

"Selamat tinggal Tika, terima kasih ya kemarin-kemarin kamu kirim kue terus." Kataku.

"Sampai jumpa ya, kapan datang lagi?"

Aku tidak menjawabnya melainkan menepuk bahu Kartika.

***