Dalam keadaan canggung kami meninggalkan rumah baru Kenny. Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku sendiri. Rasa sayang kepada Kenny tetap ada. Kupikir aku tidak akan suka bila ada oang berkata jelek tentang pria ini, tetapi sebaliknya aku juga tidak lagi merasa ingin dipeluk dan dibelai olehnya. Dalam satu malam perasaanku terhadap Kenny telah berubah. Aku menyayanginya dengan cara yang berbeda.
Sore itu aku ke dapur membuka kulkas untuk melihat bahan yang bisa kutemukan untuk memasak. Terdapat tiga terong, daging sapi, tahu dan telur. Mama duduk di kursi menemaniku bicara sementara aku mempersiapkan masakan.
"Mama mau terong dimasak apa? Ajari saya ya?"
Tapi mama malah ingin aku yang menentukan masakannya.
Aku mengukus terong dengan mentega untuk kemudian disiram dengan daging cincang berbumbu bawang putih, halia, lada dan garam. Tahu dan telur aku goreng.
"Dokter bilang mama harus banyak makan supaya sehat." Kataku sambil mencincang daging, mengulang kata-kata Kenny tentang kesehatan perempuan tersebut.
"Akhhh dokter," mama mencibir dan kami tertawa bersama.
Bagaimana tidak, mama berusia hampir 70 tahun dan melihat dokter yang berusia kurang dari 30, sepertinya dia tidak begitu percaya pada kemampuan professional mereka.
"Ketika Laura di sini rumah terasa hidup, mama jadi rindu sama Fiona juga," katanya. Menurutnya tinggal berdua hanya dengan Kenny membuat mama kesepian sebab Kenny jarang mengajak mama bicara. Dia lebih suka duduk membaca atau bermain musik saat di rumah.
"Kadang mama merasa tidak berguna," dia menggumam, matanya kosong.
"Aduh, mama yang harus ajak bicara supaya dia tinggal menjawab, laki-laki memang sedikit bicara, apalagi dia!" kataku.
"Kalau kamu tinggal di sini pasti kami senang," katanya lagi.
Aku tersenyum padanya tanpa bisa menjawab. Aku tidak ingin terjebak dalam percakapan yang bisa menyeretku untuk memberi janji akan sesuatu yang aku sendiri tidak mampu memberikannya.
"Apa kalian akan menikah?" mata mama menatap lekat.
"Mama tidak usah banyak berpikir," kataku. Dia diam, aku melanjutkan memasak.
Sekitar satu jam kemudian masakan sudah siap dan aku menatanya di meja makan. Peluhku mengalir di kening, leher dan punggung tetapi rasa lelah dan kehabisan nafas karena kesibukan tadi, segera hilang ketika melihat hasil masakanku sendiri.
Aku melihat keluar, bulan purnama baru naik dari arah timur, sinarnya putih lembut memantul di atas genting dan daun-daun.
"Ken, makan malam sudah siap," seruku kepadanya. Kenny duduk merokok di beranda. Aku ingin membuatnya senang, ini malam terakhir di rumahnya, besok aku kembali pulang ke Kota Baru. Tanpa menunggu jawaban Kenny aku kembali ke ruang tengah tempat kami akan duduk makan. Mataku menatap dinding yang kosong, tidak ada lagi foto pernikahan Kenny sejak pagi tadi.
"Biarkan foto itu di tempatnya, jangan membuatku merasa bersalah," kataku setengah berbisik ketika dia berada di dekatku. Kenny memandangku dengan bibir tertutup rapat. bad mood...
Setelah membantu mama duduk aku pun duduk di sebelahnya. Aroma masakan dan uap panas nasi yang harum membuatku semakin lapar. Telepon Kenny berdering, dia berjalan ke meja untuk mengangkatnya lalu menjawab terlepon tersebut.
"Aku akan sampaikan kepada Laura dan Mama," kata Kenny lalu menutup telepon dan berdiri di ujung meja. Dia berkata bahwa seorang tantenya, adik mama yang bernama Hanna mengundang kami untuk makan malam di tempatnya. Hanna tinggal bersama anak laki-lakinya.
"Baik, mari biar saya pesiar sedikit," jawab mama dengan tertawa lebar.
Kenny memandang meja yang penuh makanan lalu menatapku. Dia pasti merasa tidak enak karena aku menyiapkan semua makanan ini. Aroma terong mentega yang sudah terbayang untuk segera kusantap harus kulupakan. Besok pasti sudah tidak enak jika dipanaskan, namun melihat antusiasme mama untuk pergi, aku harus mengalah.
"Mari kita pergi, makanan ini bisa kita simpan di kulkas untuk besok sarapan," kataku sambil langsung berdiri mengangkat makanan.
"Biar aku yang membereskan, kamu bantu mama ganti baju," katanya.
Mata Kenny terasa lembut.
Dia meminta maaf karena undangan yang mendadak seperti ini.
"Oh aku tidak keberatan. No worries."
Baru dua hari bersamanya, aku merasa seakan sudah beberapa minggu di rumah ini.
Aku membuka lemari pakaian mama dan mengambil gaun yang ditunjuk olehnya lalu membantunya berganti pakaian. Tangan mama agak sulit digerakkan sehingga dia sengaja memilih busana dengan kancing di depan yang mudah dikenakan.
"Boleh saya sisir rambut mama?"
Dia mengangguk.
"Lakukan yang menurutmu baik." Katanya pasrah. Aku menyisir rambutnya membentuk sanggul kecil di atas tengkuk. Wajahnya kubersihkan dan kuberi cream wajah serta memoles bibir mama dengan lipstick warwa merah muda yang membuat wajahnya terlihat segar.
"Mama cantik."
Dia tertawa manis. Aku menghela nafas kecil ketika menyadari aku tidak pernah menyisir rambut ibuku sendiri. Ibu terlalu mandiri dan bisa melakukan apa saja untuk dirinya sendiri. Tetapi aku bertekat akan mencari kesempatan untuk bisa memijit kakinya, menggunting kuku kakinya dan menyisir rambut ibuku.
Terdengar Kenny berteriak dari ruang makan.
"La, boleh kuminum lagi minuman ini?"
Dia pasti melihat minuman rempah yang kusiapkan di botol-botol di dalam kulkas.
"Minum saja," aku balas berteriak.
Dia tidak menjawab, tetapi kurasa Kenny meminumnya.
Tiba-tiba dia menyibak tirai pintu kamar. Kenny berdiri di ambang pintu, tubuhnya yang jangkung terlihat menjulang.
Mama sudah siap untuk pergi, dia terlihat cantik setelah sekian lama memakai baju rumah dan tidak berhias.
Kenny membelalak melihat ibunya dan tertawa.
"Tanganmu ajaib, bisa membuat mama secantik ini." Kata Kenny memberi pujian kepada kami berdua.
"Terima kasih," kataku.
"Aku sudah siap juga, mari pergi." Kataku.
"Seandainya saja kamu bisa membuat mama seperti ini setiap hari… ehm juga membuat minuman tadi untukku," katanya dengan mata bulatnya yang menatap tajam dan tekanan kuat pada kata untukku.
"Besok pagi-pagi sebelum ke bandara kubikinkan lagi," jawabku senang karena dia menyukai minuman tersebut.
"Aku ingin setiap hari?" dia mengulang dengan tekanan pada kata setiap hari.
"Setiap hari?" aku balas bertanya seperti berkata untuk diriku sendiri.
Duh … Setiap hari, setiap hari … untukku… kenapa aneh rasanya.
Astaga, sama saja artinya aku harus berada di rumah ini setiap hari! Itu pasti maksudnya. Kemarin sore dia sudah mengatakannya sepintas lalu.
Semakin dekat dengan waktu untuk pulang, Kenny semakin mendesakku dengan ajakannya.
"Tapi aku sudah lupa cara hidup bersama orang lain," kataku tegas, ingin dia mengerti sikapku.
Cahaya berkilat di mata yang menghablur itu.
"Aku bukan orang lain!" suaranya tegas, matanya sebening kristal.
"Aku ingin mewujudkan impian baru kita bersama-sama," dia melanjutkan.
Tanganku memegang lengan mama mencari kekuatan.
"Bagaimana La?" Kenny mendekat dua langkah, aku mundur selangkah.
Aku memandang matanya lekat-lekat, masuk ke dalam kristal bening yang dalam sementara mulutku terkunci. Kenny menawarkan impian baru untuk kami gapai bersama. Terasa otakku melambat. Apa yang kamu cari Laura ? seakan ada yang berbisik di telingaku.
"Laura, bersediakah engkau?" Wajah Kenny penuh harap dan tegang.
Mama memandang kami bergantian, tetapi Kenny dan aku terlalu sibuk untuk berbalas kata.
"Kamu malu bersama seorang duda?" matanya menyelidik.
"Mari sudah pergi, mengapa kalian malah bicara duda, impian…" mama menyela.
Sikapku sudah jelas siang tadi, tetapi Kenny seakan tidak mau tahu.
Kini, apa yang bisa kuharapkan?
Cintanya atau status sebagai istri? Menjalani kodratku sebagai perempuan, mengandung dan melahirkan anak-anak kami.
"Beri aku kesempatan akan kutunjukkan betapa kamu sangat berarti bagiku, I need you," kata Kenny.
"Apa aapa…yang kamu inginkan dari aku?" balasku dengan pertanyaan yang bodoh.
"Aku ingin kehadiranmu untuk menerima cintaku, melanjutkan mimpi kita, anak-anak… " Matanya meluluhkan hatiku.
Anak-anak, aku pernah menginginkannya.
Tubuhku serasa melayang-layang, berselancar di puncak ombak, setiap ujung saraf bergetar dan dengan gerak tak terkendali seperti saat aku mendengar lagu "Granada" kesukaan ibuku. Melayang, meluncur, menari dan meloncat-loncat. Aku mendekap tangan ke dada serta memejamkan mata. Sungguh berat untuk berpikir jujur, apalagi mengatakannya. Apakah aku jujur kepada diriku sendiri dan kepada Kenny?
"Aku tidak bisa Ken." Kataku pelan.
"Maaf…" aku menambahkan.
Dengan air mata yang menggenang aku melihatnya. Apakah aku membuat keputusan yang benar? Dadaku terasa sesak.
Kenny mengatupkan bibir dan mengangguk.
" Aku mengerti, mari kita pergi." Dia berjalan lebih dulu.
Selama makan malam dijamu Hanna, pikiranku berputar putar. Mama terlihat bahagia karena sudah lama dia tidak keluar rumah dan sekarang bisa bertemu dengan adiknya. Mama juga sepertinya bangga bisa datang dengan kami berdua. Dia pasti membayangkan bahwa Kenny dan aku akan bersama-sama kembali. Semua wajah terlihat gembira, hanya aku dan Kenny yang tertawa palsu.
Aku tidak ingin menyakiti Kenny dan membuatnya bersedih, tetapi peristiwa di makam Marina telah membuatku ketakutan. Aku tidak menginginkan suatu pernikahan hanya untuk mendapat status sebagai istri, menanggalkan julukan sebagai perawan tua.
Mungkin aku egois karena menginginkan pernikahan yang sungguh-sungguh dan utuh, tetapi aku tidak yakin Kenny mampu memberikannya kepadaku.
"Jadi besok kamu pulang? Kapan datang lagi? Atau Kenny akan menjemputmu?" Minda menantu Hanna bertanya.
"Betul, besok saya pulang," jawabku dengan sengaja menghindari pertanyaan lain dan tidak melihat kepada Kenny.
"Sebaiknya Kenny menjemput memang," kata Sonny, suami Minda.
"Kita lihat nanti," jawab Kenny dengan tenang.
"Jam berapa pesawatnya? Saya ingin membuat masakan ikan untuk ibumu." Kata Hanna.
"Tidak usah repot tante." Kataku.
"Laura ke bandara pukul satu siang," kata Kenny. Aku melihat matanya yang bersedih.
Dalam perjalanan pulang mama tertidur di mobil. Kenny mengemudi dengan membisu. Sinar bulan memantul di wajah Kenny. Aku menggigit bibir bawah menahan kesedihan yang muncul.
"Ken, aku melakukannya untuk kebaikan kita." Kataku sambil melihatnya. Dia mengangguk, bibirnya terkatup sementara matanya lurus menatap jalan. Aku ingin menangkap sinar bulan dan menyimpannya di dalam hatiku, agar cahayanya menuntunku melewati jalan panjang dan gelap.
***