Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 18 - Rumah di atas bukit

Chapter 18 - Rumah di atas bukit

Kenny meraih tanganku yang menggenggam anak kunci lalu dia memilih satu kunci yang diikat dengan benang biru. Tangannya membawaku memasukkan anak kunci ke lubang kunci di pintu. Tanganku gemetar.

Baru saja kudengar dia mengajak menikah.

Aku gemetar mendengar permintaannya. Sejak kemarin aku gelisah karena ada perasaan

Sikap Kenny merendahkan aku.

Menikah bukan urusan sederhana ada banyak pertimbangan yang harus dilakukan. Dulu aku memang siap menikah dan meninggalkan kota besar untuk tinggal bersama suami di Pulau Bunga. Tetapi dia justru menikahi Marina dan mengabaikanku. Sekarang aku telah melupakan niat menikah, bahkan aku memiliki karir yang bagus dan merasa mapan . Mengapa pula aku harus repot-repot menikah. Aku memang masih mencintai Kenny tetapi cinta itu tidak cukup besar untuk membuatku memberikan kesepakatan menikah dengannya. Lagipula aku malah ingin membalas dendam kepadanya.

Pintu terbuka dan Kenny mendorong tubuhku untuk melangkah masuk ke dalam rumah yang dindingnya bercat putih, jendela kaca lebar-lebar dengan tirai putih melambai-lambai. Aku tertegun karena gambaran rumah ini mirip seperti yang dulu pernah aku katakan kepada Kenny. Dulu aku berkata kepadanya, suatu saat ingin mempunyai rumah dengan jendela kaca yang lebar hampir pada seluruh dinding. Semua dinding berwarna putih dan tiraipun putih.

Ruang seperti itu akan cocok untuk diisi perabot warna warni dan tanaman hijau. Warna putihnya akan menenangkan setiap penghuni, terutama ketika mereka pulang dari bepergian. Katakanlah, warna putih itu akan menetralkan semua perasaan dan pengalaman dari luar sehingga penghuni rumah akan siap merenungkan dan memilih hal-hal baik untuk disimpan dan membuang semua yang buruk.

Kurasakan Kenny memelukku dari belakang.

"Aku ingin mewujudkan impianmu, impian kita." Katanya dengan suara yang dalam dan memikat . Nafasnya yang hangat mengembus di atas kepalaku.

Aku menahan tangis haru karena Kenny masih mengingat keinginanku.

"Rumah ini aku beli dari pemilik lamanya yang pulang ke Ruteng karena orangtuanya sakit dan mereka harus menggantikan peran orangtua di rumah besar." Kenny menjelaskan.

Dia membeli rumah dan mengajak menikah. So sweet... tapi aku bukan gadis bodoh.

"Maaf Ken, aku tidak bisa," kataku sambil menatap ke halaman belakang yang luas, ditumbuhi rumput dan beberapa pohon rindang. Alangkah nyaman tempat ini.

"Laura, apakah kamu malu karena aku duda?" dia bertanya sambil menghadap kepadaku.

Bukan karena status duda yang membuatku ragu, aku tidak berpikir untuk menikah dengan seseorang yang aku tidak yakin mencintaiku.

Luka karena ditinggalkan Kenny pada waktu itu sangat dalam, aku perlu waktu lama untuk bisa menjadi tenang. Rasanya aku tidak akan sanggup bila harus mengalami luka serupa. Nuggie mengatakan "aku tidak boleh dibodohi lagi". Aku tidak percaya pada cinta Kenny. Dia melamarku setelah istrinya meninggal. Aku cuma sebagai pengganti. Ah...

Kenny terlihat salah tingkah. Jika status duda membuatku tidak bisa menerima, maka dia tidak bisa memaksaku. Aku tidak ingin menjelaskan kepadanya. Biarlah dia berpikir sendiri.

"Rumahnya bagus, semoga kamu segera menemukan seseorang untuk menjadi istrimu." Kenny mengepalkan kedua tangannya.

"Tidak ada orang lain, aku hanya mengharapkanmu." Katanya.

Aku memiringkan kepala memandangnya dengan senyum yang mungkin terlihat sinis. Bagaimana aku bisa percaya kepada kata-katanya.

"Kamu tidak percaya? Aku bisa mengerti, setelah apa yang kulakukan kepadamu."

Nah...

Dia terdiam untuk beberapa saat. Seekor burung kutilang hinggap di dahan pohon terdekat dan bernyanyi. Dua … eh tiga ekor lainnya datang, mereka berlompatan dari satu dahan ke dahan yang lain dengan nyanyian yang rebut. Aku berjalan mendekati jendela lebar untuk melihat burung-burung itu lebih dekat. Baru kusadari dari jendela samping laut terlihat membentang. Biru dan tenang. Panorama yang sangat indah.

"Kamu beruntung mendapatkan tempat ini."

"Rumah ini untukmu La, mari ikut…" Kenny menarik lenganku dan membawaku ke kamar tidur utama.

"Ken?" aku cemas.

"Tenang, aku tidak akan berbuat macam macam. Aku ingin kamu melihat saja." Katanya.

Pintu kamar dibuka. Satu dindingnya adalah kaca menghadap laut , dan pada satu dinding lain terdapat lukisan kucing.

ukan satu kucing tetapi banyak kucing dengan pose bermacam macam, ada yang melompat, ada yang sedang bermain bola, ada kucing yang tidur malas, ada kucing yang sedang menatap dengan matanya yang bening seolah tanpa dosa.

Seekor kucing dilukis dengan ukuran lebih besar dari yang lain, memakai pita di leher dan kucing itu tersenyum. Melihat lukisan kucing itu membuatku tertawa senang tanpa sadar bahkan melompat-lompat.

"Oh Ken… lucu sekali… menggemaskan," kataku mendekati gambar kucing-kucing itu.

Kenny bersandar di dekat salah satu gambar kucing.

"Mana yang paling kamu suka?"

Aku melihat kembali satu persatu gambar kucing-kucing terebut dan kebingungan sendiri untuk memilihnya.

"Hmmm semua menggemaskan, aduh ini lucu sekali… hahaha… gayanya…uhh." Kataku melihat dua ekor kucing yang berpakaian dan memakai sunglass berjalan bergandengan.

Kenny melihatku dengan tertawa lebar.

"La… alangkah senang aku melihat kamu tertawa seperti ini." Kata Kenny sambil memotretku beberapa kali.

"Aku mau foto di semua kucing, nanti kirim padaku ya," kataku sambil berpose.

Kenny memotret dengan kamera hp dan aku memakai macam-macam gaya Bersama lukisan kucing-kucing yang menggemaskan.

"Ternyata begitu mudah membuatmu tertawa seperti ini. Aku sungguh bahagia," kata Kenny sambil mengacak-acak rambutku.

"Eh…"

Aku tersadar dari ekstasi yang baru merayapi hatiku dan berdiri mematung.

"Kamu membuat ini semua untukku?" Tanyaku kepada Kenny. Kamar tidur utama miliknya, mengapa dia memasang lukisan kucing? Kenny tidak tergila-gila pada kucing seperti aku.

"Ini untukmu seorang, nona." Kata Kenny, senyumnya lembut menawan. Dia berdiri dengan tangan di dalam saku celana.

"Terima kasih." Aku menyentuh wajah-wajah kucing-kucing itu. Hewan kesayanganku.

Kuembuskan nafas Panjang.

"Tapi Ken, kurasa jawabanku tetap sama. Aku tidak bisa tinggal di sini." Kataku dengan pasti.

Suasana menjadi sunyi, burung-burung kutilang masih bernyanyi dan debur ombak masih terdengar. Aku memandang keluar. Rumah yang indah, tempat yang nyaman. Tetapi hatiku tidak ada di sini.

"Bolehkah aku bicara lebih serius?" Kenny menjajariku berdiri memandang laut.

Aku tidak memberi jawaban, Kenny mengartikannya sebagai persetujuan.

"Tiga tahun yang lalu aku melihat sebuah rumah batu yang mungil di tempat ini. Sebuah bangunan sederhana, namun letaknya di atas bukit dan di seberang pantai, membuatku ingat pada keinginanmu untuk memiliki sebuah rumah di atas bukit yang menghadap ke laut." Kenny mulai bercerita.

"Rumah itu tidak dijual. Setiap hari sepulang kerja aku sengaja melewati di depan untuk memandang tempat ini. Aku juga mencari tahu pemiliknya. Kukatakan kepadanya, jika dia berniat menjual rumahnya, aku adalah orang pertama yang akan menawar. Benar juga tahun berikutnya dia menjual tempat ini."

Kenny menarik nafas sejenak dan mengusap kepalanya.

"Aku meruntuhkan rumahnya dan membangun kembali rumah ini, seperti yang pernah kamu inginkan. Aku membangun ini untukmu, untuk kita! Bangunan ini selesai empat bulan yang lalu. Setiap hari aku gelisah antara keinginan meneleponmu dan kecemasan bahwa kamu tidak akan menerima teleponku."

Aku teringat hari itu sebenarnya aku memang tidak ingin menerima telepon dari Kenny. Ibu yang menyodorkan telepon itu kepadaku.

"Laura, I need you to be my wife." Kata Kenny.

Ceritanya mengharukan? Tetapi aku tidak tersentuh sama sekali.

Kenny melihat reaksiku.

Kemarin dia mendesak dengan ciuman, kali ini menawarkan rumah untuk mengajakku menikah. Aku tidak ingin mengambil keputusan dalam keadaan tertekan dan terdesak, aku perlu waktu berpikir dengan jernih, namun aku tidak ingin memberi janji kepadanya.

Jadi aku membisu. Diam adalah lebih baik daripada aku salah bicara, diam lebih baik daripada kata-kataku akan menyakitinya.

Aku mengangkat bahu dan tersenyum.

"Oke, aku mendengar ceritamu. Rumahnya bagus. Selamat."

"Laura…"