Tubuhku lemas dan bergetar, airmata berlinang di pipi.
"Laura…" Kenny melepas ciumannya. Kedua tangannya menangkup wajahku. Aku nyaris jatuh karena tulang-tulang terasa lembek tak bertenaga. Untung Kenny dengan cekatan menangkap dan mendekapku.
"La, jangan menangis… maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu. " dia mengusap airmataku dengan telunjuk kanan sedangkan tangan kirinya menopang tubuhku.
Apakah Kenny bisa membayangkan perasaanku? Aku merasa sangat terhina dan rendah.
"… Waktuku tidak banyak. Aku ingin ... aku ingin menikahimu. Mari kita memulai sekali lagi." Katanya.
Mataku melirik foto pernikahan Ken dan Marina dan menarik diri dari pelukkannya.
"Kamu tidak malu berkata seperti itu, lihat foto itu!" tanganku menunjuk foto pernikahannya.
"Aku terlalu bodoh ketika jatuh cinta kepadamu… dulu." Kataku.
Kenny tidak menengok ke foto itu melainkan menatapku dengan matanya yang tajam.
"Aku datang untuk menengok mama, bukan yang lainnya." Kataku.
Sementara Kenny terlihat bingung, aku berlari masuk ke kamar, nafasku terasa sesak.
Aku menelungkup menghamburkan air mata di bantal. Bibirku masih merasakan kehangatan ciumannya, tetapi akalku mengingatkanku untuk tidak jatuh ke dalam rayuannya. Kenny memerlukanku, tetapi dia mencintai Marina.
Kudengar langkah Kenny menyusul dan duduk di tempat tidur. Tangannya mengusap punggungku.
"Keluar!!! Aku benci kepadamu ! "
" I love you La, I need you. Beri aku kesempatan sekali lagi," Katanya.
Aku duduk dan membalikkan badan menatap Kenny dengan galak.
"Cukup Ken, jangan memanipulasi aku lagi. Sebaiknya kamu keluar dan tidak melakukan hal-hal bodoh sampai Rabu pagi aku pulang. Kalau kamu tidak bisa melakukannya, aku akan keluar untuk mencari hotel."
"Kukira…kita masih mempunyai mimpi-mimpi itu…" dia menggantung kalimatnya.
Tadi siang di kampung aku merasa kembali ke masa lalu, bertemu kerabatnya juga neneknya yang mengharapkan kami bersama-sama. Aku berada dalam kebimbangan, tetapi setelah mengunjungi makam Marina, aku meragukan cinta Kenny kepadaku.
Wajahnya mengiba membuat aku harus berjuang dengan kuat untuk menahan diriku.
"Ken, aku sudah tidak punya mimpi bersamamu lagi . Mari saling menghargai. Sekarang tinggalkan aku sendiri." Aku menunduk sambil berbicara. Tidak berani menatap wajahnya.
Dia berdiri dengan diam.
"Please…" kataku dengan suara lemah. Tanganku menunjuk ke pintu.
Kenny mengusap kepalaku lalu keluar, tetapi aku masih mencium aroma tubuhnya yang bercampur bau rokok, juga masih merasakan usapannya di kepala, ciumannya dan tatapan matanya.
Aku cepat-cepat mengunci pintu dan membanting tubuh ke tempat tidur, melepaskan air mata yang tertahan. Bahkan aku tersedu-sedu, dadaku terasa semakin sesak.
Ciuman tadi membuatku luluh. Aku menikmatinya, aku ingin memeluknya dan membiarkan waktu berhenti di situ.
Tetapi Kenny harus tahu bahwa aku bukan perempuan yang bisa dipermainkan semaunya.
Dalam kebingunan aku menelepon Farina.
"Oray… bagaimana di Pulau Bunga, senang?" seru Farina ketika telepon terhubung.
"Nana… aku merasa terhina, tega sekali Kenny kepadaku." Kataku.
"Eh… sabar Ray, bicaralah pelan-pelan."
"Dia tidak pernah mencintaiku. Sekarang dia menduda dan ingin kembali, dikiranya aku ini apa?" kataku.
Terdengar Farina menarik nafas berat.
"Bicara pelan-pelan, maksudmu Kenny sekarang duda? Kemana istrinya?"
"Mati!"
"Oray!!!" Suaranya bernada protes karena aku menggunakan kata mati untuk manusia, orang yang kukenal pula.
"Hmmm meninggal, hampir lima tahun lalu." Kataku.
"Lalu sekarang dia melamarmu? Kalau masih ada cinta, kenapa tidak diterima saja…"
"…"
"Hey… kenapa diam?"
"Sudah kukatakan tadi, aku dianggap apa? Perempuan pengganti? Aku tidak mau dimanipulasi, aku tidak mau dibodohi."
Kurasa kata-kata Nugie merasuk ke dalam pikiranku.
"Sabar Ray…jangan bikin keputusan dulu, kamu masih labil. Beristirahatlah besok kita bicara lagi." Katanya.
Farina menikah dengan satu anak. Meskipun dia tiga tahun lebih muda dariku, Farina memiliki pengalaman berumah tangga. Adikku berpacaran satu tahun dengan senior di tempat kerjanya lalu menikah dan setahun kemudian anak mereka lahir. Seorang anak laki-laki. Farina menemukan Mr. Right yang sangat mencintainya dan memanjakannya. Kisah cinta mereka sangat manis dan tidak banyak berliku.
Malam itu aku sulit tidur memikirkan perjalanan hidup yang telah kulalui. Cinta kepada Kenny tidak pernah pudar, tetapi impian untuk hidup dengannya memang sudah lama hilang, sejak dia menikah. Kadang aku masih merasakan perih di dada setiap kali mengingat keputusan Kenny yang tiba-tiba untuk menikahi perempuan lain. Aku merasa tidak berharga dan tersisih. Tetapi tidak pernah ada dalam pikiranku bahwa suatu saat kami akan bertemu dan menikah. Semua sudah selesai bagiku. Ketika kemudian kami bertemu dalam situasi ini, aku seperti berada di jalan yang gelap tanpa ujung, tidak tahu kemana harus melangkah.
Permintaannya untuk membangun dan mewujudkan mimpi lama justru membuatku tersinggung. Apakah Richard, Mama, Farina dan ibu bisa memahami bila kukatakan isi hatiku yang sebenarnya?
Pada saat hari sudah terang dan mendengar suara kesibukan di dalam rumah, aku sengaja diam di dalam kamar. Baru ketika terdengar suara mobil Kenny meninggalkan halaman, aku keluar kamar. Pagi ini aku enggan bertemu dengannya.
"Selamat pagi mama," kataku menyapa ibunya yang duduk di kursi kayu menonton televisi.
" Ehhm… Bisa tidur nyenyak?"
Dia mengira aku tidur terlalu pulas hingga bangun kesiangan. Terpaksa aku mengangguk, mendekatinya untuk mencium tangannya. Aku menyayangi perempuan ini, hatiku terluka ketika menyadari kemungkinan jika aku pulang besok, kami tidak akan bertemu kembali.
"Itu makananmu. Kenny yang bikin. Makanlah mungkin masih panas. Dia baru berangkat kerja." Kata Mama.
Kembali aku mengangguk dan duduk di sofa di dekatnya. Perasaanku masih suntuk.
"Makanlah dulu," kata mama.
"Kenny berpesan dia akan cepat pulang, dia mau ajak kamu ke suatu tempat."
"Kemana?"
Mama tersenyum dan matanya terasa sejuk.
"Nanti kamu tahu." Mama tidak ingin mengatakan kepadaku. Aku berjalan ke meja makan dan membuka penutup makanan.
Seperti kemarin di satu piring terdapat omelet kesukaanku. Kali ini saos tomat di atasnya dibentuk menyerupai senyuman. Satu piring lagi berisi potongan tomat dan alpukat. Kenny mengingat makanan kegemaranku. Pada saat menyantapnya aku merasakan kebaikannya dan rasa cinta yang mungkin masih tersisa di dalam dirinya. Namun ketika mengingat cara dia menciumku tadi malam, aku gelisah.
Saat duduk makan aku baru sadar dinding tempat foto pernikahan Kenny telah kosong. Dia menurunkan foto tersebut.
Setelah makan dan membereskan meja, aku mengeluarkan laptop dan menyelesaikan penyuntingan naskah buku yang ditunggu Nuggie. Naskah tersebut sudah kuperiksa, sehingga sekarang tinggal sekali periksa lagi.
Naskah buku ini adalah otobiografi seorang dokter anak yang kisahnya sangat menarik. Pada masa kanak-nakak, dia sering sakit dan menderita asma yang cukup parah. Setiap bulan ibunya menemaninya ke dokter. Dia suka pada dokter yang merawatnya dan mengagguminya sehingga dia pun bercita-cita untuk menjadi seorang dokter. Perjuangannya cukup berat, selain karena masih mengidap asma, keluarganya juga tidak memiliki banyak uang untuk membiayai pendidikannya. Perempuan muda itu bekerja sebagai pengasuh lansia untuk mendapat tambahan biaya sekolah, sedangkan kedua orangtuanya juga bekerja keras. Ibunya seorang guru dan ayahnya pegawai negeri.
Kesungguhannya dalam belajar membuat perempuan itu mendapat beasiswa dan berhasil menjadi dokyer. Sekarang dia adalah salah seorang dokter anak yang sukses di Kota Baru. Penulis buku adalah salah seorang pasien yang menulis naskah dengan sudut pandangnya sebagai pasien yang berhubungan baik dengan dokter tersebut.
Aku menyukai gaya tulisannya.
Rasanya aku tenggelam dalam pekerjaan ini sehingga baru sadar bahwa Kenny duduk di depanku dan memandang dengan tenang.
"Eh… maaf aku tidak mendengar kamu datang." Aku melihat arloji, pukul 11 siang.
Kenny tidak menjawab.
"Sedikit lagi aku selesai, tinggal kirim email."
"Tenang, selesaikan saja dulu," kata Kenny. Dia melepas kacamata dari atas kepala dan meletakkannya di meja lalu menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku. Sambil mengirim email sesekali aku melihat tangan Kenny yang terlihat seksi.
"Bisa ikut keluar sebentar, hmm setelah kamu selesai." Suaranya dalam mengandung daya pikat.
Aku mengangkat wajah dan menatap Kenny. Tidak ada tanda-tanda kami berselisih tadi malam, namun sikapnya lebih dewasa dan normal. Kenny yang agak angkuh.
"Kemana?"
"Ada yang ingin kutunjukkan."
"Baiklah. Sepuluh menit lagi aku siap." Kataku.
Lima belas menit kemudian kami sudah berada di dalam mobil. Kenny melajukan kendaraan dengan kecepatan sekitar 40-50 menit. Dia terlihat santai. Mobil mengarah ke utara menjauhi pusat kota. Aku diam membisu, tenggelam dalam pikiranku sendiri. Ada telepon masuk di ponselku.
"Nug, aku sudah kirim via email." Kataku.
"Aku sudah terima. Kupastikan nanti malam dummy sudah jadi. Kamu pulang besok kan?"
"Uhm, jangan lupa menjemputku."
"Bagaimana bisa lupa, aku ingin kamu segera pulang. Kirim nomor penerabanganmu ya. Sampai besok."
Aku memasukkan ponsel ke dalam tas dan melihat lurus ke depan. Kenny tidak berkata apa-apa sejak tadi.
Kami melewati jalan yang semakin sunyi. Di sebelah utara adalah pantai yang memanjang sedangkan di kiri jalan tanahnya berbukit-bukit. Terdapat beberapa bangunan di sana-sini.
Tidak lama kemudian Kenny menepi dan membelokkan mobil di jalan mendaki. Setiba di atas ada tanah lapang yang hijau dan luas serta satu bangunan rumah di tengahnya. Gedung itu bercat putih dengan jendela kaca pada sisi timur dan barat. Mobil berhenti tetapi mesinnya masih menderu halus. Aku menatap pemandangan di depanku.
Kenny mematikan mesin mobil, segera suasana terasa sunyi meski dari bawah terdengar debur ombak di pantai.
Aku tidak bisa menduga, rumah siapa ini dan mengapa Kenny mengajakku kemari.
Dia membuka box di depanku dan meraih serangkaian anak kunci.
"Mari kita masuk." Katanya sambil keluar dari mobil. Kenny membukakan pintu untukku.
"Rumah siapa?" kataku sambil keluar dari mobil.
Pintu-pintu dan jendela tertutup. Sepertinya tidak ada penghuninya.
Setiba di depan pintu utama Kenny mengulurkan kunci rumah kepadaku.
"Bukalah" katanya. Kulihat tangannya sedikit bergetar.
Aku menatapnya bingung tetapi tangan Kenny masih terulur. Kunci-kunci yang diikat dengan satu rantai terlihat bergoyang-goyang dan berkilat, seperti mata Kenny yang sekarang menatapku.
"Kenapa? Rumah siapa ini."
"Apa pendapatmu bila kukatakan ini rumah kita."
"Rumah kita?"
Kenny menganggukkan kepalanya dan meletakkan anak kunci ke telapak tanganku.
"Mari kita menikah Laura."
***