Lama aku mengamati punggung Kenny saat dia berjalan keluar, sosoknya masih mempesonaku.
Umur yang bertambah membuat beberapa anak rambu di pelipisnya sudah mulai banyak yang berwarna putih.
Aku merasa terbiasa dengan keadaan ini. Hidup bersama dalam satu atap, saling memperhatikan dan bekerja bersama-sama. Sekarang Kenny bilang akan senang bila ada perempuan di rumah. Apa dia tidak menganggap mama sebagai perempuan di rumah ini? Atau maksudnya adalah perempuan yang bisa meladeninya untuk mendapat kenyamanan, seperti membuat rebusan rempah ini.
Banyak tugas domestik menjadi urusan perempuan dan aku termasuk perempuan yang menikmati tugas-tugas rumah tangga terutama memasak. Ibu memberi contoh pada kedua anak gadisnya untuk memandang pekerjaan rumah tangga sebagai aktivitas yang menyenangkan dan kami tidak pernah terbebani untuk melakukannya. Tetapi ibu pernah bilang "Suami kalian juga perlu membantu dan mengerjakan tugas rumah, seperti dulu almarhum ayah juga melakukannya." Laura terkenang sosok ayahnya yang memanjakan tiga perempuan terkasihnya, Ibu, dia dan Farina.
Kenny adalah pria yang baik. Ada pertanyaan yang mengganjal dalam diriku, mengapa dia tidak menikah lagi setelah lebih dari lima tahun menduda, apalagi bila dia memerlukan perempuan muda di rumah ini. Dia pasti mempunyai alasan untuk tetap menduda setelah kematian Marina.
Setelah mandi sore itu aku duduk bersama mama sambil menunggu waktu makan malam, sementara Kenny masih mengajar kelas privat.
Sekitar dua puluh menit kemudian Kenny masuk ke ruang tengah, wajahnya terlihat Lelah. Sejak pagi dia tidak beristirahat.
"Mau kuambilkan minum? Seperti yang tadi," aku menawarinya sambil bangkit dari duduk.
"Yes, please," katanya lalu duduk di seberang mama.
Aku segera ke dapur dan kembali dengan tiga gelas minuman hangat.
Mama dan anak laki-lakinya mengawasiku dan senyum Kenny terkembang.
"Terima kasih Laura untuk kebaikanmu," katanya langsung mengangkat gelas dan menghabiskan isinya dalam beberapa teguk.
Kata-katanya terasa formal.
"Lagi?"
"Kalau ada," tawanya melebar dan wajahnya tersipu. Kadang dia menjadi kekanak-kanakan dan manja seperti ini.
Aku memberinya segelas lagi dan Kenny minum agak lebih lambat kali ini.
Setelah itu kami menyantap makan malam yang dimasak oleh Juli, tetangga sebelah rumah. Menunya ikan goreng, sup ayam dan tumis bunga papaya. Menu andalan rupanya.
Mama bertanya tentang orang-orang di kampung yang kami temui dan Kenny berbicara kepadanya, sebagian dengan bahasa daerah yang tidak kupahami. Dia menjelaskan tentang dua lembar selendang yang kami terima dari Siska. Mama tertawa lebar.
"Hoo… " serunya.
Matanya yang lebar menatapku. Dia terlihat gembira lalu berbicara dalam bahasa daerah. Wajah Kenny menjadi serius dan bibirnya dikatupkan.
Setelah seharian tadi berada di kampung, ternyata aku merasa cepat mengantuk dan lelah. Kenny menawarkan mengajak keliling kota setelah makan malam tetapi aku menolaknya.
"Ngobrol dengan mama saja, aku merasa haus terus menerus, mungkin tadi kurang minum," kataku.
"Tidak ingin melihat-lihat atau bertemu dengan teman-temanmu dulu?"
Aku menggeleng setelah berpikir sebentar.
Bertemu mereka akan menimbulkan banyak pertanyaan lagi dan aku belum siap menjawab mereka, batinku.
"Baik sudah." Kenny berdiri dan keluar dari rumah, duduk di beranda merokok sementara mama bercerita tentang anak-anak Richard dan juga anak Fiona. Cucu-cucunya yang membuatnya gembira.
"Mama tinggal menunggu cucu dari Ken," katanya dengan cara memandang yang seperti mengharapkan aku menjadi ibu dari anak-anak Ken. Dadaku berdesir. Dulu aku pernah membayangkannya. Aku sudah lama menghapus keinginan tersebut.
Kami mendengar Kenny menghidupkan motor dan keluar dari halaman. Dia tidak berpamitan, mestinya hanya keluar sebentar.
"Mama ingin berbaring." Kata mama sesaat kemudian. Dia sudah duduk beberapa jam.
"Mari" aku membimbing mama ke kamarnya.
"Tidurlah di sini sambil bacarita." Ujar Mama menepuk tempat yang kosong di bagian dalam tempat tidurnya. Aku merangkak naik dan berbaring di sebelahnya dan meraih tangan mama.
"Mama, setiap hari hanya berdua, kalau Kenny pergi siapa yang menemani?"
"Juli kadang anaknya. Kartika sering menengok juga." Kata Mama.
"Kalau kalian menikah dan tinggal di sini, mama akan punya teman." Kata mama.
"hm." Jawabku tidak punya pilihan kata yang tepat. Mama memandang dengan matanya yang mencari tahu, tetapi ketika aku tidak memberi tanggapan lain, dia mengalihkan pembicaraan.
"Bagaimana kabar ibumu, dengan siapa dia kalau kamu pergi?"
Aku tertawa menyadari bahwa Kenny dan aku mempunyai situasi yang sama.
"Farina tinggal di kota yang berbeda, paing ibu meminta Nuggie, keponakannya untuk menginap di rumah. Kami juga ada seorang pembantu yang bisa diminta menginap jika diperlukan."
Mama mengenang perjalanannya ke Kota Utara dan menginap di rumah ketika aku dan Kenny bertunangan. Kami tertawa gembira menceritakan kembali beberapa peristiwa masa lalu. Tetapi mama tidak pernmah menyinggung tentang Marina dan pernikahan Kenny dengannya.
Aku masih berbicara menjawab pertanyaan mama tentang pekerjaanku ketika kurasakan mama mendengkur halus. Dia tertidur.
Aku juga mengantuk dan malas bangun dari tempat tidurnya. Kupejamkan mata dan menggenggam tangan mama. Aku pun tertidur.
Belum lama tertidur ada tepukan di pipiku. Kubuka mata, wajah Kenny dekat di atasku. Wajah yang selama ini sering hadir di dalam mimpi-mimpiku.
"Kamu mau pindah ke kamarmu atau mau tidur di sini saja?" suaranya membuatku tersadar.
Aku mengerjapkan mata mengumpulkan ingatan untuk menjawab.
"Jika belum mengantuk aku bawa es krim untukmu." Katanya lagi membuatku bersemangat.
Aku duduk lalu merayap turun dengan hati-hati takut membangunkan mama.
Baru saja berada di tepi pembaringan, Kenny mengangkat tubuhku dan menggendongku keluar.
"Ken…" aku menahan suara agar tidak membuat mama terbangun.
Hangat badannya dan aroma rokok serta bau badan khas Kenny membuatku ingin menyandarkan kepala di dadanya. Posisiku membuatku merangkul leher Kenny untuk menjaga keseimbangan tubuh. Nafasku sesak dan perut berputar-putar.
Dia menuju sofa, mendudukkan aku dan kembali memelukku.
"Laura.. I need you." Dia berbisik di telingaku. Suara dan kata-katanya membuai tetapi aku sudah menjaga diri untuk tidak hanyut dalam rayuannya. Siang tadi di makam jelas kulihat, Kenny mencintai istrinya. Aku bukan siapa-siapa.
"Mana es krimnya?"
Kenny mencolek hidungku lalu berdiri untuk mengambil es krim dari atas meja makan.
Dia membeli beberapa cup es krim dengan berbagai rasa. Aku memungut satu, kombinasi rasa durian dan ketan hitam.
"Kusimpan yang lain di feezer." Dia berkata sambil membawa kantung es krim.
Ketika Kenny kembali, es krim di tanganku sudah berkurang setengahnya.
"Benar-benar penggemar es krim." Dia menggelengkan kepala lalu duduk lagi.
"Kalau kamu tinggal di sini aku akan sediakan satu freezer penuh." Dia tertawa lebar.
"Mungkin Rossy bisa kau bujuk begitu. Darimana belajar merayu? istrimu yang mengajari?"
"Nah, bagaimana harus membujukmu?" dia mendekat, aku bergeser.
"Nuggie bilang aku tidak boleh menjadi bodoh lagi."
Kenny mengusap janggut di dagunya.
"La. Apa kamu masih menyimpan impian kita?" mata elang itu menjadi sayu dan lembut.
Impian kami untuk hidup bersama dan mempunyai banyak anak seperti ramalan neneknya. Impian yang membuatku bergairah untuk menikahinya. Namun impian itu sudah kubuang ketika aku meninggalkan Pulau Bunga bertahun tahun lampau.
"Hey Bung, jangan membodohiku." Aku menjauh dengan menggeser dudukku. Kenny menarik tubuhku dan mendekapnya dengan erat. Perasaanku teraduk-aduk.
"Laura, lihat mataku."
Aku bergeming. Tiba-tiba telapak tangan dengan jemari panjang itu mencengkeram pipiku.
"Ughhh."
Dia menghadapkan wajahku dan mata kami bertatapan. Wajah kami terasa dekat sehingga nafas Kenny terasa menyembur di wajahku. Kalau ini dilakukannya di waktu lampau aku akan memejamkan mata dan menanti kecupan lembutnya. Sekarang yang kulihat adalah wajah Kenny yang lain. Dia terlihat tidak sabar dan tatapan matanya tajam menusuk. Aku mulai merasakan cengekeramannya yang menyakitkan.
"Ken, le... lepas... lepaskan." Kataku dengan susah payah karena aku tidak bisa menggerakkan rahang yang terkunci oleh tangannya.
"Mari kita wujudkan mimpi-mimpi itu." Bibirnya berkata sementara matanya terus menatapku.
Aku membelalak kepadanya.
Mudah baginya berbicara seperti itu setelah mengoyak hatiku lima tahun yang lalu dan sekarang tiba-tiba dia berbicara seolah-olah tidak terjadi apa apa di antara kami.
Wajahnya mendekat dan sebelum aku menyadari apa yang akan dilakukannya, bibir Kenny menempel di bibirku. Dia mengisap bibirku dan mendesakkan lidahnya. Aku merapatkan gigi agar dia tidak bisa berbuat lebih jauh tetapi Kenny memainkan bibirku sehingga tanpa sadar aku pun membuka mulut. Ciumannya sangat kuat dan membuat tubuhku lemas, seluruh tubuh terasa berdenyut dan aku nyaris larut dalam gairah yang ditimbulkannya.
"Jangan mau dibodohi lagi… jangan jatuh cinta kepadanya lagi" suara Nuggie terngiang.
Seketika aku mendorong dada Kenny yang keras dan kokoh. Tetapi tenagaku sia-sia tidak mampu menggeser tubuhnya, sementara Kenny malah mengisap lidahku.
***