Suasana makam adem dan sepi hanya terdengar desau angin yang menimbulkan suara-suara dedaunan bergesek.
Kami tiba di depan makam Marina. Ada foto diri di batu nisannya. Wajahnya manis dengan senyum lebar. Matanya bersinar dengan bulu mata lentik dan hitam.
"Di sini terbaring dalam tidur kekal, kekasih kami, istri, anak, adik dan cucu, Marina Gerdy."
Kenny mengeluarkan sekotak lilin dan menyulutnya dengan pemantik lalu memasang lilin-lilin itu di atas makam, berjajar rapi.
Aku memperhatikan tangannya dengan jari-jati panjang dan otot yang maskulin itu dengan cekatan memasang lilin dan wajahnya terlihat serius.
Tangan itu selalu hangat ketika menggenggamku. Tangan itu yang dulu sering membelai kepalaku, mengusap pipiku dan meremas bahuku. Tangan itu yang dulu merawat istrinya.
Kenny menyerahkan sisa beberapa batang lilin kepadaku. Aku mengikuti ritualnya, menyulut api dari lilin yang sudah menyala, membakar bagian bawahnya lalu melekatkannya di permukaan makam. Nyala api lilin yang lembut menari-nari tertiup angin.
Adriana tadi malam mengatakan Kenny dengan telaten merawat Adriana ketika perempuan ini sekarat. Dia sudah di surga, kata Kenny kemarin tentang Marina.
Romantis kan?
Apa pun yang pernah mereka alami bersama adalah waktu yang mereka miliki, aku tidak akan bisa menghapus kenangan Kenny akan perempuan yang pernah dinikahinya seperti aku juga tidak akan bisa melupakan kenyataan bahwa mereka pernah menikah.
Kami hanya bertunangan.
Dalam lamunan aku melihat Marina menari-nari dengan bajunya yang tipis berwarna merah, melambai tertiup angin, seperti liukan api lilin. Dia berlari menjauh dengan melambaikan tangan lalu menghilang.
Bagaimana mereka menjalani kehidupan?
Apakah cinta Marina lebih besar dari cintaku pada Ken?
Apakah mereka bahagia bersama sebelum maut memisahkan?
… the winner takes its all… berdengung lagi di dalam kepalaku.
Aku tertunduk merasa nyeri di dada bahwa cinta yang terlalu dalam kadang membawaku dalam rasa bahagia sekaligus duka. Jujur, aku cemburu.
Aku tidak berdoa. Untuk apa berdoa baginya?
Sekarang aku malah bertanya pada diri sendiri apakah aku masih menginginkan Kenny atau aku akan membalas dendam. Bahkan di dalam pikiran sendiri aku tidak berani jujur.
"La, maaf ya? Pernikahan itu terjadi …" Tiba-tiba Kenny berkata
"No … no! aku tidak mau mendengarnya," kataku panik sambil menutup telinga dengan tanganku.
Aku sering membayangkan dia akan mengatakan memilih Marina dengan berbagai alasan untuk pernikahan mereka. Dadaku terasa nyeri. Aku tidak ingin mendengar dibanding-bandingkan. Faktanya aku yang kalah. Aku sama sekali tidak ingin mendengar alasan pernikahan mereka!
Kenny memandang lekat dengan sorot penyesalan.
Pernikahan tersebut adalah peristiwa yang paling menyakitkan dalam hidupku.
Aku merasa membeku, darah beku, bibir beku bahkan tak bisa berpikir lagi.
"Aku tidak sempurna, kesalahanku besar dan betapa berat kamu harus menanggungnya. Bagaimana aku harus menebusnya Laura?" Suara Kenny lirih dan matanya menjadi sayu.
Laura, jangan lemah, dia tidak mencintaimu, bisikku dalam hati, menatap mata lembut itu.
"Semua sudah lewat, kalau saja bisa memutar waktu, kuharap kita tidak pernah bertemu ." Kataku lirih sambil menunduk.
Kenny mengangkat wajahku. Dia terkejut karena aku bukan menyatakan penyesalan atas pernikahannya dengan Marina, melainkan menyesali pertemuan kami.
"Untuk apa bertemu jika tidak ada manfaatnya?" kataku.
"Laura… jangan sinis begitu. Kita pernah menikmatinya... atau kamu?"
Kenny pernah menikmatinya, hanya itu? Pernah. Apakah aku di mata laki-laki ini? Sekedar untuk dinikmati sebagai kekasih, bukan tujuan sebagai perempuan yang ingin dinikahinya.
Mata itu lagi, tatapannya yang menusuk!
Aku menahan gemuruh di dada.
"kamu boleh marah, memakiku, boleh memukulku, jangan disimpan di hati, tumpahkan kemarahanmu." Kata Kenny, berdiri semakin dekat.
Kalimat Kenny terdengar sombong bagiku.
"Apakah dengan marah akan memperbaiki kerusakannya? Tenang Ken, aku sudah melupakan semuanya. Aku bisa memaafkan dan sudah kulakukan. Move on…" kataku dengan tertawa sumbang.
Kemarin aku sudah menangis di dadanya, dalam dekapannya dan menumpahkan perasaan rindu kepadanya.
Kenny merapatkan tubuhnya di sampingku sampai aku bisa merasakan bahang tubuhnya yang membuatku gelisah. Aku menggeser tubuh menjauhinya tetapi Kenny menggenggam kedua tanganku dengan erat, aku merasakan telapaknya yang lembap dan basah. Telapak tangan yang tadi kukagumi.
"Laura… " Suara Kenny terdengar lembut.
Apakah aku masih menginginkannya? Untuk apa? Aku mencintai laki-laki ini. Pikiranku berputar-putar seperti awan yang tiada daya diembus angin, bergerak kemana angin bertiup. Langit biru di Pulau Bunga membuatku ingin terbang melayang seperti awan-awan itu.
Teleponku berdering. Nugroho.
"Hai Nuggie, ada apa?" tanyaku.
"Nona, kamu pergi tanpa berkabar. Kapan pulang? Ada naskah yang harus selesai pertengahan pekan ini." Katanya.
"Jangan khawatir, aku bawa laptop, besok pagi kuselesaikan," kataku, kembali pada kesadaran seutuhnya.
"Kapan pulang Oray? I miss you." Nugroho memanggilku dengan cara seperti itu. Oray… mengikuti adikku yang ketika kecil sulit menyebut namaku Laura.
"Huh… kamu butuh kerjaanku, bukan rindu." Sanggahku. Nuggie tertawa.
"Kenapa tidak pernah percaya bila aku rindu?"
"Karena kamu selalu bercanda. Aku pulang Rabu. Kamu jemput di bandara pukul 17 ya."
"Baiklah. Jaga diri baik-baik, jangan berikan hati kepada orang di sana, jangan melakukan kebodohan lagi," kata Nugroho.
" Aman. Tentu saja. Bye Nug." Aku menutup telepon.
Suara Nuggie cukup keras, Kenny pasti mendengar percakapan kami tetapi aku tidak merasa perlu untuk menjelaskan apa-apa kepada Kenny.
"Siapa?" dia bertanya.
"Teman kerja… ehmm dia keponakan ibu." Kataku dengan penjelasan singkat. Kenny dia tidak bertanya lagi.
Lilin-lilin menjadi pendek, beberapa sudah mati karena angin bertiup cukup keras sehingga lilin meleleh dengan cepat. Kami menunggu hingga seluruh lilin padam untuk meninggalkan makam.
Kenny merangkul bahuku saat berjalan keluar makam, tetapi dengan segera aku menarik diri dan mengerling kepadanya.
"Oh… kamu tidak boleh melakukan kebodohan lagi ya" kata Kenny mengulang kata-kata Nuggie. Dia memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Aku diam tidak menjawab.
Sesampai di rumah aku mandi untuk menghapus keringat dan debu. Pulau Bunga berjarak 2000 km dari kota tempatku tinggal. Letaknya di timur, dataran rendah dan udaranya panas, selalu di atas 30 derajat. Siang tadi mencapai 35 derajat. Panas sekali, untung di kampung banyak pepohonan sehingga lebih sejuk dibandingkan di rumah Kenny. Di Kota Utara tempat asalku, ketinggian 600 meter dan tempatnya lebih sejuk, dengan suhu rata-rata 25 derajat.
Setelah mandi dan segar aku merasa mengantuk tidak tertahankan sehingga kuputuskan untuk tidur sekitar satu jam.
Sebelum tidur aku membuka HP untuk melihat pesan yang masuk dari Nuggie.
"Oray… jangan sampai jatuh cinta pada dia lagi. Aku tidak mau kamu terluka kembali."
"haha hatiku sudah karatan bro." balasku.
Kupejamkan mata yang sudah sangat berat dan segera aku tertidur pulas tanpa bermimpi.
Sebelum satu jam aku terbangun karena tubuhku basah berkeringat.
Biasanya aku mengeluh apabila AC di rumah tidak dingin atau listrik padam sehingga tidak bisa memasang AC di kamar tidur. Sudah lama aku tidur tanpa berkeringat. Kali ini aku menikmati tidur berkeringat. Aku mengambil handuk kecil dan menyeka keringat di wajah dan leher juga di dada dan punggung. Haus…
Aku bangun dan menuju dapur untuk minum. Mama duduk di ruang tengah, melamun.
"Selamat sore mama…"
"Bagaimana tadi di kampung?" tanya mama.
"Senang, semua terlihat lebih baik. Mama saya akan buat minuman hangat, boleh ambil bahan yang ada di dapur?"
"Lakukan seperti ini rumahmu sendiri, Nak." Katanya.
"Terima kasih."
Setelah minum segelas air, aku melihat rempah-rempah dan merebus kunyit, sereh, jahe dan gula merah. Aromanya harum, tetapi terasa ada yang kurang.
"Ma, apakah di halaman ada daun pandan?"
"Di belakang kamar mandi," kata mama sambil menunjuk arah yang dimaksud.
Aku keluar untuk memotong daun pandan dari rumpunnya yang lebat.
Pada saat berjongkok memotong beberapa lembar daun pandan, tiba-tiba Kenny berdiri di belakangku.
"Mau bikin apa?" suaranya yang berat dan kehadirannya mengejutkanku, sehingga aku nyaris terjengkang. Kenny menahan tubuhku dengan tungkainya, lalu membantuku berdiri dan kami berhadapan.
"Mau… mau… bikin minuman," kataku tergagap.
Dia bertelanjang dada, tubuhnya yang atletis terlihat berkilat oleh keringat. Mata kami saling tertaut dan aku merasa terisap masuk ke dalam dirinya hingga hilang akal. Beberapa detik terasa lama, lalu aku cepan-cepat menunduk dan berjalan masuk ke rumah.
Setelah mencuci daun pandan dan memasukkannya ke panci yang airnya sudah menggelegak mendidih, pikiranku masih kepada mata elang Kenny.
Dia yang menggodaku dengan pesonanya. Aku kembali menjadi bodoh.
Tiga gelas kusiapkan untuk minuman kami dan kubawa ke meja makan.
"Tunggu sebentar Mama, minumannya masih panas," kataku.
Sambil menunggu minuman menjadi hangat, aku mengupas manga dan alpukat serta memotongnya dan membawa buah potong di piring ke ruang makan.
Kenny duduk di depan meja makan.
"Minumlah," kataku sambil mengangsurkan segelas minuman kepadanya.
Dia menerima gelas dengan tangannya yang sengaja menyentuh tanganku, menciptakan kejutan listrik yang membuat isi perut seperti diaduk. Bagaimana aku bisa menghindari perasaanku yang sesungguhnya kalau terjadi sepertib ini. Kenny meneguk minuman itu sementara aku memandang wajahnya dengan tanpa berkedip.
"Ahhh enak sekali," katanya lalu melanjutkan minum sampai habis.
"La, coba bisa dapat minuman ini setiap hari, memang lain ketika ada perempuan di rumah." katanya.
Dia mengangsurkan gelas kosong dengan seulas senyum kemudian berdiri dan berjalan keluar. Dia masuk ke kamar mandi.
***