Aku tidak bisa mengharap Kenny menjawab semua pertanyaanku, lelaki ini seringkali membiarkan orang berpikir dan menyimpulkan sendiri. Kenny tahu ramalan neneknya terhadapku.
"Kalian akan punya banyak anak." Saat ini kebanyakan keluarga muda hanya memiliki satu-dua orang anak. Diramal banyak anak mestinya lebih dari tiga. Umurku 28 tahun, belum menikah… mau punya anak berapa?
Setelah pertunangan itu terputus, tiada guna mengingat-ingat lagi ramalan tersebut, karena kami tidak menikah.
Yuliana membuka warung di bagian depan rumah dengan penataan dagangannya sangat rapi, berbagai serbuk minuman kopi, coklat, sari buah tergantung dalam kemasan sachet warna warni seperti mengiasi kedainya. Membuka warung di kampung kecil dengan jumlah pembeli yang terbatas membuat Yuliana memiliki banyak waktu untuk mengatur tempat berjualan ini dengan rapi.
"Siapa yang belanja di sini? Para tetangga?" tanyaku.
"Sekarang banyak yang buka toko sehingga keberuntungannya dibagi-bagi," ujarnya tanpa nada mengeluh.
"Mari lihat aku masih memanggang ayam," katanya melambai mengajakku berjalan ke dapur terbuka di belakang rumahnya.
"Seharusnya tidak perlu, aku suka makan dengan bunga papaya, daun papaya, labu gitu saja," kataku.
"Ah tidak, aku ingin memberimu ayam dengan cara memasak yang sudah dipuji orang sekampung," katanya melucu.
Kenny menungu kami sambil berbaring di balai-balai di beranda.
Aroma asap hasil pemanggangangan dengan bumbu sereh, daun jeruk dan bawang memenuhi rumah Yuliana. Rasa daging ayam yang empuk dengan rempah yang meresap membuat aku memuji Yuliana berkali-kali, ketika kami menikmatinya.
"Ini ayam panggang paling enak yang pernah kumakan. Tidak kering, empuk tetapi kulitnya garing. Lain kali ajari aku bikin ya?"
"Tentu saja, tapi kapan Laura mau datang lagi? Katanya lusa sudah pulang?" tanya Yuliana membuat aku tersadar.
Aku menjawabnya dengan senyum tersipu, karena tidak ada bayangan kapan akan datang ke tempat ini lagi. Tiba-tiba aku merasakan kekosongan dan ketidakpastian. Aku memandang tanah lapang di tengah kampung, pada kanak-kanak yang sedang bermain dengan riang. Anak-anak yang menikmati kebahagiaan umur mereka.
Sebentar lagi mereka beranjak dewasa dan menghadapi persoalan hidup yang lebih rumit hingga tiba masa tua dan tidak berdaya. Siklus hidup manusia, sama saja di mana-mana, di negara manapun, di keluarga siapa pun, yang kaya juga yang miskin. Kelahiran, pertumbuhan, masa dewasa, berkembangbiak dan masa tua lalu mati.
"Siapa yang mengurus Nenek?" tanyaku teringat kata-kata perempuan tua itu, "aku senang menyaksikan kalian bersama-sama lagi."
"Kak Siska" jawab Yuliana.
Hampir pukul 14 ketika kami berpamitan meninggalkan kampung. Seperti biasa orang-orang memberi oleh-oleh hasil bumi berupa buah-buahan, alpukat, kedondong, pisang dan kelapa.
"Jangan banyak-banyak, siapa yang akan makan," kata Sam ketika melihat kerabatnya memuat buah-buahan ke mobil.
Di ujung kampung, ketika hendak masuk ke mobil aku memandang ke rumah-rumah yang berderet-deret dengan atap yang beragam ketinggiannya.
Rumah-rumah itu bagaikan buku-buku yang tertutup.
Kita baru mengetahui isi rumah setelah masuk dan berbicara dengan penghuninya. Ada bermacam-macam kisah yang luar biasa atau yang biasa-biasa saja dari rumah-rumah tersebut.
Kampung kembali senyap saat semua penghuninya masuk ke bawah atap rumahnya.
Kadang-kadang sekarang ada turis yang berkunjung melongok rumah-rumah, bercakap-cakap dan membeli tenun ikat yang dibuat oleh para perempuan.
Aku mengembuskan nafas mengingat berbagai kisah di setiap rumah itu, lebih banyak kisah sedih yang kudengar ketimbang kisah bahagia. Air mataku mengalir mengingat mereka yang pernah kukenal, juga mereka yang telah meninggal dunia dalam lima tahun terakhir.
Mereka pernah mengisi hidupku, menjadi bagian dari hidupku.
"Ayo!" Kenny menepuk bahuku dan memberi isyarat agar aku masuk ke mobil . Dia melambai ke arah kerabatnya yang melepas kepergian kami. Mobil melaju meninggalkan debu putih yang seperti tirai menutup desa itu. Kami terdiam beberapa saat, hanya terdengar suara mesin mobil dan sesekali Kenny membunyikan klakson saat jalan menikung atau menanjak.
"Emosional?" dia bertanya tanpa menengok padaku.
"Somehow… Aku memikikan Leo dan Rosy. Kasihan Bibi Emy ya?"
Kenny bilang pernah berniat merawat Rosy, namun melihat kondisi mama yang sakit, tentu tidak mungkin untuk mengambil anak gadis itu. Aku mengangguk membenarkan tetapi juga tidak mampu memberikan komentar. Hanya ada rasa sedih ketika mengingat gadis kecil yang kuru situ.
"Semua akan menemukan jalan, jangan terlalu memikirkannya, jangan bersedih," kata Kenny.
Sudah beberapa kali dia mengatakan "Jangan bersedih", apakah mungkin wajahku terlihat selalu bersedih?
Di kota aku jauh dari persoalan orang lain seperti ini atau aku tidak terlalu memikirkan persoalan orang lain terutama bila tidak mampu membantu.
Tujuh tahun sejak pertama kali aku mengunjungi desa tersebut, keadaan mereka tidak banyak berubah. Kampung yang sepi dihuni perempuan tua perempuan dengan Balika, laki-laki tua, membuat keadaanya terlihat tua dan kuno. Orang muda merantau ke kota besar untuk bersekolah atau bekerja, banyak juga yang menjadi buruh migran ke negara-negara lain.
Aku menikmati pemandangan di kiri jalan, melihat langit biru, pepohonan, bebungaan dan alang-alang. Pulau ini masih memikatku. Ada perasaan yang sulit untuk kujelaskan, ketika aku merasa diriku menjadi bagian dari alam seperti ini. Di kota kami tinggal di rumah besar, berkendara di jalan beraspal dan masuk Gedung-gedung perkantoran, pertokoan atau tempat-tempat dengan bangunan buatan. Ada sebagian kecil pohon dan tanaman yang diatur dan dirawat dengan rapi. Di sini masih banyak tetumbuhan liar yang bebas merdeka membentuk semak-semak, atau pohon yang tumbuh dari bebijian yang luruh dari pohon induknya, berjejalan mencari sinar matahari. Hijau dan segar.
Di kampung tadi aku sempat berdiri di atas tanah dengan telanjang kaki, untuk merasakan energi dari tahan yang menjalar hangat naik ke betis dan terus mengalir di dalam tubuh hingga ke ubun-ubun. Aku tidak bisa menceritakan pengalaman perasaan tersebut kepada Kenny Williams karena dia pasti akan menganggap aku mengada-ada.
Kupejamkan mata untuk menikmati alam dan membayangkan suasana desa, membayangkan wajah-wajah orang orang yang menyambutku dengan hangat.
"Datang lagi ya Laura kami senang mendapat kunjunganmu," kata Siska sebelum kami meninggalkan rumahnya.
Aku merasa diterima. Apakah aku akan pergi seterusnya, atau akan datang lagi bahkan tinggal? Aku belum sanggup memikirkannya, tetapi wajah wajah mereka terbayang, senyum, pelukan, langit biru dan suara tawa menggema di kepala. Aku mencintai tempat ini!
Tiba-tiba Kenny mengerem mobil dengan kencang dan terasa roda mobil bergeser ke kiri. Tubuhku tak pelak meluncur dan menghantam dashboard meskipun aku memakai sabuk pengaman.
Mobil berhenti. Aku menahan rasa nyeri di dada sebelah atas.
"Maaf La…, sakit?"
Aku memegang dada yang terasa nyeri, dan berdebar-debar sambil menahan air mata.
"Mari kulihat apa ada cidera?" kata Kenny.
"Jangan," ujarku. Bagaimana mungkin dia melihat, rasa sakit tepat di atas payudara.
"Sakit?"
aku mengangguk.
"Coba kamu lihat, berdarah tidak?" katanya dengan cemas. Aku mengikuti permintaannya, dan melihat dadaku memar biru kemerahan serta nyeri tetapi tidak ada lecet atau pun luka terbuka.
"Aman"
"Sungguh?"
"Un."
Kenny menghidupkan mesin mobil.
"Ngantuk? Istirahat saja sebentar," kataku.
"Tidak, maaf… Aku tidak melihat jalan tiba-tiba ada motor di depan."
Ia tersipu dan aku memandangnya. Apakah dia memikirkan aku? Apakah aku senang menjadi pusat perhatiannya?
"Oh..." bukankah aku ingin menggodanya dan ingin mencampakkannya ketika dia sudah terpikat lagi.
"Nanti bila ada sakit serius kamu harus bilang dan kita ke dokter."
"Ya, mari jalan." Aku tesenyum dan meliriknya.
"Jadi tadi malam sebenarnya mau bicara apa?" aku membuka percakapan.
"Kamu sudah tidur sebelum aku bicara."
"Aku…" Teringat peristiwa semalam, mimpiku dan dia yang menggendongku ke kamar.
Hey Laura, kamu harus bisa mengendalikan perasaan dan harus kuat menjalankan rencana untuk membalas sakit hatimu. Seperti ada yang berbisik di kepalaku. Aku memandang wajah Kenny dari samping. Wajah yang sangat kuingat. Kutekan perasaanku.
Pohon pohon nyiur melambaikan dedaunannya ditiup angin dalam gerak gemulai di bawah langit biru yang jernih dengan awan-awan putih yang bergerak mengambang. Pemandangan yang memikat dan membuatku merasa semakin menyukai tempat ini.
Sudah lama aku menjalani hidup tanpa meletakkan harapan untuk berkeluarga. Benar-benar tidak pernah membayangkan untuk mencintai laki-laki lain, aku tidak ingin tempat Kenny di hatiku digantikan oleh orang lain. Apakah dia mengerti? Kenny harus mengalami sakit hati seperti yang kurasakan baru dia akan mengerti.
Kami melanjutkan perjalanan dengan diam sampai Kenny berhenti di depan pemakaman umum.
"Mengapa di sini? Siapa yang harus diziarahi?" aku bertanya bingung.
Mata Kenny menatap lurus.
"Apa keberatan untuk berziarah di makam Marina?"
"Marina?"
"Ya, Marina."
Kenny mengujiku? Berziarah ke makam perempuan yang merebut Kenny dariku. Jadi memang dia mencintai Marina dan mengabaikan perasaanku.
"Ayo." Kataku tanpa berpikir lebih lanjut. Dia tidak mencintaiku, kenapa aku masih berharap? Laura yang tolol!
***