Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 13 - A lost memories

Chapter 13 - A lost memories

Kecelakaan itu menyebabkan tulang belakang Leo cedera dan berakibat kelumpuhan pada bagian panggul ke bawah. Pada awalnya Leo masih mempunyai kesadaran, tetapi depresi yang berat pelan-pelan membuat dia seperti kehilangan gairah dan kepercayaan diri yang lama-lama membuatnya seperti hidup dalam alam berbeda. Menurut penjelasan dokter, pada saat kecelakaan kepala Leo terbentur dan itu menyebabkan gangguan pada otak yang terjadi berangsur dan dipercepat oleh kondisi mentalnya. Itu sebabnya dia tidak bisa berinteraksi.

"Kalau makan bagaimna?" tanyaku.

"Suap yang lembek-lembek dan cair. Sebenarnya bisa mengunyah tetapi sering malas kadang juga tidak mau menelan. Sering saya sengaja tengadahkan dia dan pijit ujung hidungnya sambil meminumkan bubur cair," ujar Emy.

Betapa repotnya dia harus mengurus semua itu. Setiap pagi seseorang akan menolong Emy untuk membaringkan Leo di beranda rumah seperti ini agar dia mendapat sinar matahari.

Kami masih membahas air mata Leo yang disebut mereka sebagai keajaiban yang muncul Bersama kedatanganku. Kadang orang-orang kampung ini masih percaya pada hal-hal di luar nalar.

Mendadak Kenny memandangku dan mengendus-endus.

"Apa pernah dengar bahwa memori seseorang bisa kembali ketika dia mencium sesuatu yang bisa membuatnya teringat pada seseorang atau suatu tempat, suatu benda?" ia bertanya dan masih mengendus.

"Apa sih?" Kataku sambil mundur.

"Bau parfummu Laura! Ini sama dengan yang dulu biasa kamu pakai bukan?" seru Kenny.

Aku mengangguk karena memang tidak pernah berganti merek parfum. Kami saling menatap dan aku mendekati Leo, sengaja mendekatkan tubuh dekat sekali ke wajahnya. Kami melihat dia menggoyangkan kepala sangat lemah, nyaris tidak terlihat.

"Puji Tuhan! Peluk dia, bicara apa saja, atau menyanyi, berdoa!" Kenny memohon.

Aku memilih berdoa sambil mengusap punggung Leo.

Emy mengawasi semua yang kami lakukan sambil air matanya bercucuran.

Kenny mulai memijit tangan Leo. Pelan-pelan bahu Leo bergerak berirama mengikuti alunan doaku. Kami semua menangis dan tertawa penuh haru. Sekitar 10 menit kami melakukannya dan Leo jatuh tertidur. Kenny mengangkat Leo ke dalam kamar bersama seorang laki-laki yang belum kukenal.

Aku berjanji akan memberikan sisa parfumku kepada Emy agar dia memakainya setiap hari mungkin bisa mengembalikan ingatan Leo.

Desa terlihat hanya berisi perempuan tua dan anak-anak. Kaum pria masih ke ladang, dan orang muda menjadi pekrja migran ke luar negeri.

"Ada yang salah, tanahmu ini memerlukan tangan-tangan orang muda untuk mengolahnya, paling tidak menyongsong euphoria global, pariwisata. Kenapa anak muda malah keluar?" kataku pada Kenny.

Dia menatapku dengan mata berkilat, tetapi tidak berbicara apa pun.

Kampung ini menyimpan keindahan, letaknya yang tinggi di bukit dengan pemandangan ke arah laut di selatan menimbulkan rasa damai.

Aku melepas sepatu untuk merasakan tanah yang mengalirkan daya baru ke dalam tubuhku. Ketenangan desa ini membuaiku dan mengalirkan rasa nyaman di hati tetapi terasa seperti hidup dua abad yang silam, berbeda dengan kehidupan di kota tempatku tumbuh dan besar.

Beberapa saat kemudian kami menuju rumah Siska untuk minum kopi dan menikmati sukun kukus.

"Entah bagaimana, aku merasa pasti akan bertemu denganmu kembali. Sayangnya terlalu lama kamu tidak datang," kata Siska sambil mengalungkan selendang tenun warna biru indigo ke leherku.

" Tidak perlu repot repot…" kataku terkejut.

Aku meraba tekstur selendang yang terbuat dari helai-helai benang yang dirapatkan membujur dan melintang dengan pola gambar bintang dan mawar dalam warna biru dan putih.

"Lihatlah, kamu gagah sekali, bukan begitu Ken? cantiknya keluar dari dalam." Dia bertanya dan Kenny memicingkan mata memandangku.

"Terima kasih untuk selendangnya." kataku

Pujiannya membuat aku tersipu-sipu, apalagi Kenny terus memandang tanpa berkedip.

Siska menatap kami berganti-ganti dan tangannya mengelus dada, lalu bergegas masuk ke kamar dengan langkah yang menimbulkan bunyi berderit dari gesekan kayu lantai rumah. Kami saling bertatap pandang. Mata Kenny memancarkan cinta yang hangat membuatku menunduk dengan perasaan yang bercampur aduk.

Ketika Siska keluar lagi, di tangannya ada selendang biru lain yang menjuntai melambai-lambai mengikuti gerak langkahnya.

Dia mengalungkan selendang itu ke leher Kenny serta merapikannya.

"Cocok sekali… Cuma ini yang bisa kuberikan, kuharap kalian suka dan merawatnya, ini kutenun sendiri, jangan dipisahkan lagi, Tuan Allah, kuharap kalian juga tidak akan berpisah lagi," katanya dan sesaat kulihat air mata mengambang di matanya.

Aku tercekat dan memandang Kenny yang saat itu menunduk.

"Terima kasih tante, saya suka," kataku sambil memeluknya, dan ikut terisak.

Siska membalas dengan pelukan yang erat.

"Ken… jangan biarkan dia pergi," katanya sambil tetap memelukku.

Kenny membisu tetapi dia mendekat dan melingkarkan tangan ke bahuku.

Selendang dan tangan-tangan yang tertaut menyatukan kami, mirip benang-benang yang diikat menjadi selembar kain, menemukan wujud baru yang menyatu.

Lompatan lompatan perasaan membuatku merasa berayun-ayun dalam mimpi Panjang.

"Yuk ke makam," kata Kenny sesaat kemudian sambil menggandengku turun ke halaman diikuti oleh Siska.

Kami membakar lilin di makam bapaknya, dan beberapa kerabat yang lain juga membaca doa bagi arwah mereka. Nyala lilin berjajar di pusara makam-makam mereka menentang cahaya siang dan sinarnya menari saat angin dari arah laut berembus lembut.

Orang-orang di kampung membuat kubur di halaman rumah sehingga keluarga dapat senantiasa merasakan kehadiran mereka yang telah meninggal. Beberapa makam dibangun dengan indah dan dirawat dengan baik.

Siska juga menceritakan tentang warga kampung, siapa menikah dengan siapa, anak siapa saja yang lahir juga mereka yang meninggal selama lima tahun terakhir.

"Jenguklah Nenek, dia terbaring sakit," ujar Siska, tentang Kenny yang tinggal di kampung..

"Mari," ajak Ken sambil mengulurkan tangan untuk menggandengku menuju ke rumah Neneknya di sebelah rumah Siska.

Kami memasuki bangunan mungil dan gelap dan mendengar suara perempuan itu menyapa.

"Siapa?"

"Ken."

"Naiklah !" balasnya dengan suara lirih. Kami mendekati perempuan tua bertubuh mungil yang kini terlihat semakin mengecil itu.

"Siapa ini?" katanya sambil meraba lenganku. Sepertinya dia sudah tidak bisa melihat dengan baik.

"Laura," kataku mendekatinya.

"Oh ya… aku ingat kamu nak, mendekatlah," katanya.

Aku lebih merapat dan tangan kami saling menggenggam. Aku rasa dia sudah tidak seperkasa dulu. Ruangan terasa sunyi, damai, bahkan tarikan nafasnya yang berat bisa kudengar dengan jelas. Kenny mengusap kepala Neneknya, kurasa dia sedang berdoa . Saat Kenny kecil, neneknya menggendongnya, menciumi pipi dan mengusap kepalanya, kini Kenny dewasa melakukannya pada perempuan lansia itu. Demikianlah lingkaran hidup.

"Sudah waktunya, semua sudah benar. Aku bahagia bisa menyaksikan kalian bersama-sama lagi." Nenek itu tersenyum, dan dengan lemah menggenggam tanganku sambil menatapku dalam keremangan, lalu memejamkan matanya.

Isi rumahnya nyaris kosong, terlihat tungku dengan sedikit abu yang sepertinya sudah lama tidak dipakai, demikian pula periuk-periuk yang dulu dipakainya untuk memasak, terlihat menelungkup berdebu.

Lama kami menanti tetapi dia terus menutup matanya. Kenny menyentuh tangannya dan memanggil neneknya. Perempuan tua itu tidak menyahut. Dia tertidur. Baru kami akan beranjak, terdengar suaranya.

"Hmmm…" jawabnya tetapi tetap tidak membuka mata.

Kenny memberi isyarat agar kami meninggalkannya.

Setiba di luar rumah itu aku menghirup udara bebas yang hangat dan memenuhi paru-paru dengan oksigen baru.

"Ken menurutmu apakah nenek memiliki indera ke enam? Dia pernah meramal aku …" aku tidak melanjutkan kalimatku. Nenek itu dulu berkata bahwa aku akan memiliki banyak anak dengan Kenny. Kalau kukatakan ini rasanya seperti aku ingin minta dinikahi oleh Kenny.

Untungnya Kenny tidak menanggapi kata-kataku sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu dan kami menuju rumah Yuliana dengan membisu.

Aku menatap langit biru yang luas tiada batas, perasaanku hanyut dalam dimensi yang aku sendiri tidak mampu mengenalinya. Perasaan indah berada di dekat Kenny dan ketakutanku untuk bersamanya berputar bagai angin yang menghempas di atas air laut membawa gelombang yang tiada pernah putus, datang dan hilang.