Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 12 - You are constantly in my mind

Chapter 12 - You are constantly in my mind

Rasa sakit itu tidak juga mau pergi dan aku tidak bisa percaya diri bahwa dia mencintaiku. Kalau Kenny mencintaiku dengan sungguh-sungguh, tentu dia tidak meninggalkanku. Bagi Kenny bisa saja keberadaanku hanya diperlukannya sebagai perempuan yang akan memberikan status baru lagi sebagai pria beristri, bukan duda sedangkan bagiku orang akan melihat aku sebagai istri, bukan perawan tua. Umurku 27 tahun, di ibukota dan di kota-kota mancanegara usiaku masih disebut muda, 20-an. Banyak orang seusiaku yang saat ini tidak peduli dengan status sebagai istri.

Tidak penting-penting amat untuk menikah, punya suami dan punya keturunan.

Menikah bukan keharusan bagiku. Aku sudah mengubur dalam-dalam konsep berumah tangga sejak aku gagal menikah. Bagiku pernikahan hanya layak dilakukan oleh dua orang yang saling menyayangi, saling membutuhkan dan saling mengisi. Kenny sudah membuatku kecewa karena meninggalkanku, artinya dia tidak mencintaiku!

Tiba-tiba aku membayangkan bila kami menikah dan melanjutkan keinginan yang dulu pernah kami impikan. Pria ini, yang matanya selalu menyihirku, menawarkan misteri yang ingin kuungkap. Ada seberkas cahaya di depan, aku dapat mengambilnya untuk menerangi langkahku.

Aku merasakan air mataku mengalir dan mendengar Kenny memanggil namaku.

"Laura …"

Kurasakan tangannya menarik bahuku sehingga aku membalikkan badan menghadap padanya sambil mengusap mataku yang basah.

Kenny mengernyitkan dahinya.

"Mengapa menangis lagi, apakah aku membuatmu tersinggung?"

"Tidd... tidak," kataku sambil menunduk.

"Ayo tersenyumlah kalau begitu, kamu cantik, kalau tersenyum."

"Tak perlu puji-pujian," kataku sengit.

Kenny malah melebarkan senyum dengan bibir dan matanya. Dia terlihat tampan mempesona.

"Jadi harus bagaimana? Tidak mungkin aku bilang kamu jelek!"

Tangannya mengusap kepalaku, mengacak-acak kepalaku membuat tubuhku bergetar.

"You are constantly on my mind ." tiba-tiba dia berkata sesuatu yang menurutku aneh.

Dia berbisik dekat di telinga, bahkan aku merasakan nafasnya yang hangat .

Aku menunduk dan melihatnya dengan sudut mata.

"Judul lagu?" kataku mencoba mengabaikan rayuannya.

Aku tidak boleh jatuh dalam bujuk rayunya.

Kata-kata dan suaranya membuatku merasa melayang.

Cinta itu masih ada dan gelombangnya dahsyat, ini ombak yang harus kuambil.

Tetapi aku selalu ingat bahwa dia telah meninggalkanku aku tidak bisa mempercayai kata-katanya.

Kenny tidak menjawab, dia berkonsentrasi mengemudi di jalan raya yang berlubang-lubang dan mencari celah-celah untuk melajukan mobil dengan lebih baik.

"Kamu tidak percaya padaku kan?" katanya ketika jalanan yang kami lalui sudah mulus lagi.

Memang aku tidak percaya kepadanya.

" Sudah lama ada yang ingin kukatakan kepadamu, hanya aku belum tahu bagaimana harus memulainya." Kenny terlihat bersungguh-sungguh. Aku terdiam.

"Aku ragu apakah ini penting, tetapi jika kamu mendengarnya, mungkin kamu bisa lebih memahamiku." kata Kenny lagi.

"Memahami kenapa kamu berkhianat?" tanyaku.

Kenny menahan nafasnya, lalu tangan kirinya mengusap-usap kepalanya sendiri. Dia tidak melanjutkan percakapan dan aku juga tidak bertanya. Kami membisu sepanjang perjalanan selanjutnya.

Kendaraan mulai memasuki kampung dan tiba-tiba aku gamang akan menghadapi banyak pertanyaan mengenai kehadiranku .

Beberapa orang melongok dari pintu ketika mendengar deru mesin mobil dan Kenny membunyikan klakson untuk menyapa mereka yang disambut teriakan teriakan suka cita. Rumah-rumah yang tampak sepi dan kosong, kini mengeluarkan isinya, seperti buku pop-up yang terbuka.

Hatiku riang melihat bukit-bukit dengan pohon kelapa dan pohon kapuk, pohon sukun dan banyak lainnya yang selalu mempesonaku. Aku tidak memikirkan kata-kata Kenny lagi.

"Oh how I love this place…" kataku setengah berbisik.

"Berbahagialah kalian memiliki kampung yang indah, pepohonan, langit biru, awan putih," aku terus berbicara sambil memandang keluar.

Mobil berhenti di ujung jalan tempat Kenny bisa memarkirnya dan dia turun lalu berjalan memutar membuka pintu untukku yang masih duduk terpaku.

"Ini kampungmu juga." katanya membuat aku menyeringai.

"Musim buah apa sekarang?"

"Alpukat baru mulai."

"Asyik, bisa makan alpukat?"

"Ehm."

Aku turun dari mobil dan menghirup udara segar sementara terlihat anak-anak berlari mendekat.

"Jika banyak pertanyaan tentang kita, aku harus bagaimana?" aku merasa gamang. Seisi kampung mengenalku, bekas tunangan Kenny.

"Ikuti saja kata hatimu." Kenny mencolek hidungku.

"Ken... jaga tanganmu." kataku. Dia nyengir.

Baru saja kami berjalan beberapa langkah aku sudah melihat Yuliana setengah berlari menghampiri kami.

Tangannya terentang ingin segera memelukku dan tubuhnya yang tidak lagi sekurus dulu, bergerak lincah membelakangi sinar matahari, rambutnya berkilau dalam gerak berirama.

"Laura…" serunya sambil segera merangkulku.

Dia menerima telepon dari Adriana yang memberitahunya rencana kedatangan kami. Kami bertukar salam dan menanyakan kabar. Aku memberinya oleh-oleh dan dia mengatakan akan mengundang kami makan siang di rumahnya. Yuliana adalah ibu Adriana.

Sementara itu kami sambil berjalan dan mendekati rumah Emy, sepupu Kenny. Dia punya anak laki-laki bernama Leo yang beberapa tahun terakhir ini menjadi lumpuh karena kecelakaan lalu lintas.

Kenny mengajakku singgah di rumah Emy untuk menjenguk Leo yang dulu sering datang ke rumah mama.

Pria muda itu lumpuh total akibat terpental dari motor ketika kecelakaan terjadi. Sebuah mobil yang kehilangan kendali karena rem blong, menabraknya. Leo mengalami kemalangan bertubi-tubi, sebab setelah dia lumpuh, istrinya menghilang, meninggalkan putri semata wayang mereka yang masih berumur setahun Gadis kecil itu sekarang sudah berumur tiga tahun.

Aku terpana melihat Leo yang menjadi kurus lunglai. Dulu badannya tegap. Dia juga tidak mengenali orang-orang dan ingatannya hilang.

Beberapa orang berjalan bersama mendekati rumah Emy. Mereka meninggalkan tenunan yang sedang dikerjakan. Hujan pelukan dan ciuman kuterima, bahkan Desy yang terlihat agak kurus, menyeka air mata dengan punggung tangannya.

"Anakku… Kami senang kamu masih ingat pada kami dan mau datang berkunjung." Kata Desy kubalas dengan anggukan dan kami berjalan sambil berangkulan.

Dia adalah adik perempuan dari bapak yang sejak dulu bersemangat melihat hubungan Kenny denganku.

"Saya tunggu kalian di rumah," kata Desy kemudian dia bergegas meninggalkan kami.

"Sampai nanti." kataku.

Aku mendekat ke Leo yang terlihat masih menunduk dan seperti tidak terusik oleh keributan yang kami timbulkan.

"Leo, apa kabar? Ini aku!" kusentuh lengannya dan menatap matanya. Dia diam menatap kosong ke bawah. Mungkin tidak mendengarku.

Baru saja aku hendak memperhatikan wajahnya lebih dekat saat kudengar Emy berkata sambil menangis.

"Dia tidak mendengar, tidak pernah lagi menatap mata orang lain apalagi bicara dan jalan. Dia hanya seonggok tubuh…" kata-katanya terdengar keji.

Dulu Leo cukup akrab denganku, dia sering mengantarku ke beberapa tempat saat aku mengumpulkan bahan-bahan untuk menulis skripsi. Seingatku dia pengendara motor yang cekatan. Bagaimana dia bisa terlibat kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kerusakan separah ini.

Kupeluk pria muda itu sambil menangis dan menyebut namanya berkali-kali. Dia tidak bereaksi sama sekali. Aku nyaris tidak peduli menjadi pusat perhatian dan orang-orang mulai mengerumuni kami.

Ada seorang gadis kecil berdiri di ambang pintu dan kini berjalan mendekat. Matanya yang lebar dengan bulu mata lentik menatapku tajam. Dia semakin dekat dan menarik tanganku.

Setelah beberapa saat aku baru sadar bahwa gadis kecil itu menghalauku. Dia pun menangis.

"Rosy, anaknya Leo," kata Kenny.

Lalu dia menggendong dan menenangkan gadis itu.

"Itu Mama Laura, dia juga sayang bapak seperti Rosy ya…" kata Kenny kepadanya. Pertamakali aku disebut mama, sedikit janggal rasanya.

Tiba-tiba terdengar Emy berseru "Tuan Allah, lihat Leo menangis!"

Beberapa orang mendekat termasuk Kenny. Kami melihat dari mata dengan tatapan kosong itu setitik air mata menggelincir pelan di pipinya yang tirus.

Kenny menurunkan gadis kecil tadi dan kini mengguncang bahu Leo.

"Kamu mendengar kami? Bisa mengerti? Kedipkan matamu jika kau mendengarku," katanya.

Kami semua memperhatikan mata Leo dengan tanpa berkedip.

Tidak ada tanda-tanda dia akan mengedipkan mata, tetapi setetes lagi air matanya terjatuh.

Emy membelai kepala anaknya dan mengucap syukur.

Sudah lebih dari dua tahun Leo menderita seperti ini dan menurut mereka, air mata tadi merupakan satu-satunya tanda interaksinya dengan dunia luar.

"Aku optimis dia bisa sembuh setelah melihat ini," kata Kenny.

Emy mengurus anak dan cucunya seorang diri, pada usianya yang sudah tidak terlalu muda untuk merawat bayi.

Kini aku paham mengapa Rosy terlihat kurang terurus dan amat kurus.

***