Kenny memainkan Thy Word saat aku selesai mandi. Ketika dia melihatku berjalan masuk dia berhenti dan matanya menatapku lembut.
"Itu minuman hangat, minumlah sebelum tidur," dia menunjuk mug di atas meja kecil de dekat sofa.
Coklat panas!
Aku mengangguk dan masuk ke kamar sebentar hanya untuk mengambil hp.
Coklat tersebut masih terlalu panas sehingga aku harus duduk di sofa dan menunggunya agak dingin untuk meminumnya. Kenny melanjutkan memainkan musik.
Sebentar kemudian aku mulai meminum coklat panas tersebut. Dada dan perutku terasa hangat, aku bersandar dan memejamkan mata, menikmati kenyamanan ini. Suara musik membuai dan tubuhku terasa segar.
Pikiranku melayang-layang, syair lagu membawaku kea lam khayali, seakan aku berjalan bergandeng tangan dengan Kenny di suatu padang rumput yang luas dengan gunung-gunung berwarna kelabu di garis cakrawala. Kami berjalan dengan wajah riang, langkah ringan menembus bunga-bunga ilalang berwarna putih yang diayun angin. Kupu-kupu kuning berpasang-pasangan terbang di sekitar. Kurasakan harum dedaunan dan kayu basah. Tangannya yang hangat memberi rasa aman dan menghapus semua kerumitan hidup. Ada suara-suara memanggil di kejauhan, dalam irama lagu yang lembut, bening dan merdu. Awan Panjang bergelombang dalam warna emas memantulkan cahaya matahari dan membuat permukaan bukit berkilau.
Di manakah tempat ini? Aku tidak ingin pergi.
Kuhentikan langkah dan aku berbaring di atas rerumputan memandang langit terang di atas. Tubuhku terasa sangat nyaman seperti terbenam dalam Kasur yang lembut dan sejuk. Nyanyian itu berhenti meninggalkan keheningan yang jernih. Kulihat sosoknya berjalan mendekat dan matanya yang menatap tajam, dia tersenyum dan menepuk pipiku. Tetapi sesaat kemudian dia berpaling, tanpa kata-kata membalikkan badan dan berjalan menjauh.
"Ken…" seruku.
Pria itu meneruskan langkahnya dengan cepat dan berjalan semakin jauh.
"Ken… Ken… kemana?" aku berteriak tetapi suaraku terlalu lemah untuk bisa didengarnya. Dia menghilang dengan cepat.
"Ken... Ken.. jangan pergi..."
Aku merasa pipiku hangat oleh air mata. Dia meninggalkanku.
Dadaku terasa sesak dan aku bergelung di atas rerumputan, sampai kurasakan ada yang menyentuh lenganku. Kubuka mataku langsung menatap sepasang mata Kenny tepat di berada di depanku.
Dia kembali, aku menangis bahagia. Telapak tangannya yang hangat menggenggam pipiku. Aku berada dalam pelukannya.
"Ken, jangan pergi… jangan tinggalkan aku," kataku memohon.
"Tidurlah, aku di sini." terdengar suaranya yang lembut di telingaku. Aku mengangguk lalu membalikkan badan untuk memeluknya, menenggelamkan wajahku di atas dada dan mendengar debar jantungnya. Alam terasa sunyi kecuali detak jantung dan suara nafas kami.
Aku yakin dia tidak meninggalkanku, kali ini.
Pada saat terbangun aku merasa asing dan perlu mengumpulkan ingatan untuk menyadari bahwa aku memang tidak berada di kamarku sendiri.
Seketika aku duduk dan teringat janji untuk pergi ke kampung menziarahi makam bapak.
Kubuka jendela dan melihat mobil Kenny meninggalkan halaman denghan debu mengepul. Hampir pukul tujuh. Kami berjanji pukul 10, Kenny pergi mengajar. Aku bernafas lega.
Di ruang tengah Mama duduk menonton televisi. Aku menyalaminya.
"Sebentar Ken kembali, kalian akan ke kampung to?" kata perempuan itu dengan senyum di bibirnya.
Aku mengangguk.
"Saya mandi dulu Ma."
Aku meninggalkannya menuju kamar mandi.
Di kamar mandi aku teringat bahwa tadi malam aku minum coklat panas sambil duduk di sofa menunggu Kenny yang bermain musik, tetapi pagi ini aku terbangun di kamar. Aku tidak tahu bagaimana aku berjalan ke kamar untuk tidur. Yang kuingat, tadi malam mimpi buruk itu datang berulang, setelah sekian lama aku tidak mengalaminya. Mungkin pertemuan kembali dengan Kenny membuatku mendapat mimpi buruk lagi.
Mama memintaku makan sarapan dan menunjuk makanan di atas meja.
"Makanlah selagi hangat, Ken sudah menyiapkan untukmu."
Mataku menatap hidangan di atas meja, nasi putih, telur dadar yang tebal dengan warna keemasan, sambal tomat berbentuk hati dan irisan timun. Di dekat piring tersebut terdapat secangkir teh yang masih mengepulkan uap panas, sungguh menggoda.
Kenny yang menyiapkan untuku?
Wow, dulu tidak pernah melihat dia memasak.
"Mama sudah makan?" tanyaku menutupi kegugupan.
Dia mengangguk, matanya masih menonton berita televisi, selain berita dalam negeri, berita pesawat hilang masih menjadi liputan utama.
Meski hanya nasi hangat dan telur dadar, makananku terasa istimewa karena Kenny menyiapkannya untukku. Iseng amat dia memnuat gambar hati dengan saus tomat. But 't's so weet... pikirku. Tetapi aku segera merasa cemburu teringat kata-kata Adriana bahwa Kenny mengurus istrinya dengan baik. Nasi dan telur dadar itu jadi sulit kutelan.
Selesai makan dan membereskan meja makan dan mencuci piring kotor, aku duduk di dekat mama sambil menunggu Kenny. Aku memijit bahu mama.
"Nanti kamu lelah…" dia menarik tanganku dan menggenggamnya, kami duduk berdampingan dan saling merangkul.
"Aku berharap Mama sehat kembali secepatnya…"
Dia menengok dan menatapku langsung.
"Apakah kalian akan menikah? aku hanya menunggu Kenny, aku ingin kalian bahagia, memberi Mama cucu." Matanya yang lebar bersinar lembut dan bibir mama tersenyum.
Tenggorokanku terasa tersumbat, sulit untuk menemukan jawaban yang tepat karena tidak ingin membuat Mama kecewa atau bersedih.
"Ah mama jangan banyak berpikir," kataku sambil meremas bahunya.
"Mungkin kamu tidak mau, dia sekarang duda." Mama bergumam.
"Mama tidak usah berpikir yang bukan-bukan," kataku dengan kalimat yang tidak memberikan kepastian akan sikapku.
Semua orang mengatakan demikian, artinya status duda memang menjadi ganjalan.
Aku belum mengabari ibu akan keadaan ini tetapi tadi aku baru mengirim pesan kepada Fiona dan adikku Karina, mengabari mereka bahwa saat ini aku berada di Kota Baru.
Setelah menikah Fiona tinggal di Denpasar mengikuti suaminya yang bekerja sebagai seorang dokter. Mereka sudah memiliki dua anak.
Kenny datang 10 menit menjelang pukul sepuluh. Aku tersenyum melihat jam dinding dengan angka 09.50, teringat posisi jarum jam di toko-toko.
"Sudah siap?" dia melepas kacamata dan menatapku. Aku mengangguk. Kedua mata itu tetap mempesona tetapi yang membuatku gugup adalah cara memandangnya yang lembut dan tanpa berkedip.
Kami berangkat setelah mama masuk ke kamar. Seorang tetangga akan datang mengurus mama siang ini, seperti yang biasa dilakukan.
Kami mulai menyusuri jalanan kota menuju ke timur.
Pikiranku masih pada situasi tadi malam.
"Ken, tadi malam aku…"
"Sepertinya kamu bermimpi buruk?" dia memotong kalimatku.
"Ehhh mungkin, tapi maksudku, aku tertidur di sofa?"
Dia mengangguk. Aku ingin melanjutkan apakah dia memelukku seperti yang kuingat samar-samar, antara kenyataan dan mimpi, juga bagaimana aku pindah ke kamar, tetapi mulutku terkunci.
"Mimpi apa Laura, kamu menangis."
"Lupa…" aku berbohong.
Dia mengusap kepalaku, mengacak-acaknya.
"Jangan terlalu banyak pikiran."
Aku mengangguk.
"Apakah kamu membangunkanku untuk pindah ke kamar?" kataku sambil melihatnya.
Kenny sedang mengemudi dan dia menatap lurus ke depan.
"Kamu tidak bangun, jadi aku membawamu masuk ke kamar."
"Maaf…"
"Tidak apa-apa, aku masih kuat menggendongmu," Kenny tertawa lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi . Mungkin di antara waktu itu Kenny memang memelukku dan aku memeluknya.
"Kamu mengigau."
"Apa yang kukatakan?"
Samar samar aku teringat mendengar degub jantungnya dan merasakan pelukannya.
Dia menggeleng.
"Bergumam saja, apa kamu tidak ingat mimpimu? Kamu juga menangis."
Aku menunduk.
Aku gelisah karena aku tahu bahwa cinta kami masih tumbuh dan ada harapan untuk masa depan seperti yang pernah kami inginkan, tetapi seperti kata Richard, kami mempunyai rintangan untuk bertindak jujur, untuk saling memberi dan menerima cinta. Mengapa begitu rumit?
Perasaan cinta dan kemarahan tarik-menarik. Aku tidak ingin menikah dengannya karena tidak ingin dianggap remeh oleh Kenny dan orang-orang di sekitarnya. Aku merasa sangat murahan bila sekarang bersedia menerima dia. Aku juga sulit membangun kepercayaan terhadapnya apalagi memaafkannya.
Terlihat pesan masuk di hp-ku.
"Laura harus ada yang mulai, jangan sama-sama tinggi hati, raihlah kebahagiaan kalian." Pesan dari Richard membuatku tertegun.
Kami tidak bersedia rendah hati? Siapa yang harus memulai kalau begitu? Richard jelas memintaku. Apakah kami menginginkannya, akankah ini dapat membuat kami bahagia atau hanya sebuah fantasi?
"Maaf, aku belum bisa berpikir jernih." Tulisku kemudian menjawab pesan tersebut.
"Tanya apa maunya Ken, ini saat yang tepat!"Richard membalas dengan cepat.
Bertanya pada Kenny, no way! Aku bertriak di dalam hati.
Aku tidak membalas pesan Richard.
Mobil melaju membuat pepohonan terlihat seperti bergerak berlawanan arah, sedangkan kabel-kabel listrik dan kabel telepon yang membentang di antara tiang-tiang di pinggir jalan, berayun ayun berirama. Di kejauhan bukit-bukit yang ditumbuhi pohon kelapa terlihat hijau dengan berdimensi, kalau aku masuk ke sana, bumi bisa menelanku, pikirku. Apakah ada dunia baru, dunia yang lain di balik pepohonan itu?
***