"Aku tak percaya, api cintanya masih membara," mulut Richard dikatupkan dengan tegas. Aku mengankat bahu dan membuang nafas.
"Kakak sudah tahu Kenny menduda sejak lama, kenapa tidak dari dulu datang?" Kata Adriana. Kami berpandangan.
Aku mencoba memahami pertanyaannya yang membuatku tersinggung dan teringat percakapanku dengan Kenny siang tadi.
Sudah lama, berapa lama? Kenapa tidak datang lebih cepat untuk menemui si duda.
"Terus terang aku baru dengar siang tadi,kalau dia menduda "
Aku menunduk menghindari tatapan mata mereka.
"Ah…yang benar? Kukira sudah tahu lama!" Adriana mendesah.
"Kenapa dia meninggal?" aku bertanya kepada Adriana.
Suami istri itu bergantian menjelaskan situasinya. Pernikahan Kenny berlangsung singkat, sekitar setahun. Kira-kira enam bulan setelah pernikahan itu Marina terdiagnosa mengidap kanker otak.
"Semua terjadi begitu cepat, bisa jadi penyakit itu sudah ada saat dia menikah, tetapi dia menutupinya." kata Richard.
"Oh..."
Apakah Marina memanipulasi Kenny, pikirku.
"Kenny sangat baik. dia rawat Marina, semua dia urus sendiri, kurasa perempuan itu meninggal dengan bahagia," kata Adriana dengan suara yang terdengar penuh simpati.
Richard menepuk bahu istrinya.
"Kisah lama, biarlah berlalu tidak perlu kamu ceritakan begitu," katanya, menegur Adriana dengan halus.
"Eh ya… maaf ," kata Adriana dengan tersipu.
Aku menggeleng , membayangkan Kenny merawat Marina dengan penuh kasih sementara tadi dia memberikan perhatian juga untukku. Tetapi aku merasa Kenny menempatkanku sebagai orang kedua, setelah Marina. Dadaku terasa semakin sempit, menghimpit.
"Eh sebentar, boleh tahu… Apa yang membuatmu datang?" Richard mencondongkan tubuhnya, seperti ingin mendengar lebih jelas jawabanku. Aku memikirkan jawaban untuknya untuk sesaat.
"Untuk Mama!" kataku dengan penuh tekanan.
" Kenny memanfaatkan keadaan Mama, dia bilang waktu Mama tidak lama lagi dan Mama ingin bertemu denganku." Kataku melanjutkan.
Richard tertawa tergelak geli.
"Mama memang rindu padamu, dia sering bilang. Tapi sakitnya tidak mengancam jiwanya. Begini ya, cinta tidak baik ditahan-tahan dari dulu aku sudah bilang, jelas sekali kalian masih baku cinta, sebab kalau tidak pasti kamu tidak sudi datang," kata-kata Richard. Kalimatnya menjadi pukulan bagiku.
Benar, tidak mungkin aku datang bila cinta itu sudah lenyap. Kenny juga pasti menyadarinya. Kedatanganku bagaikan persetujuan baginya. Tidak ada gunanya aku marah siang tadi. Sungguh kekanak-kanakan.
Richard melanjutkan bahwa dia kerap mengingatkan Kenny untuk meminangku bahkan pada tahun pertama saat dia menduda. Menurutnya, ada orang-orang yang saling mencintai tetapi menahan diri sehingga justru saling menyakiti, seperti aku dan Kenny.
"Semua sudah berubah dan waktunya sudah lewat," kataku tanpa bersemangat, menanggapi Richard.
" Kenny mengundangmu untuk maksud tersebut. Kami semua ingin kalian menikah. percayalah." Kata Richard.
Percaya? apakah aku bisa mempercayai laki-laki yang pernah berkhianat? Aku tidak bisa percaya kepadanya lagi. Batinku berputar-putar menganalisa kata-kata Richard.
"Statusnya memang duda, mungkin berat bagimu ya? Tetapi apakah itu akan mengganggu kalian untuk mendapat kebahagiaan?" kata-kata Richard menyentak lagi.
Itu pula yang kupikirkan sejak siang tadi. Statusnya sebagai duda, apakah menggangguku? Apa kata orang bila aku menikahi duda? Apakah aku mementingkan pendapat orang lain dibandingkan kepentinganku sendiri?
"Aku belum memutuskan apa apa, Richard."
Aku menjawab dengan gamang, sebab situasi ini datang tiba-tiba dan tidak cukup jeda waktu bagiku untuk berpikir.
"Baiklah, aku sudah bisa membaca, mari kuantar pulang supaya kamu punya lebih banyak kesempatan berbicara dengannya."
"Tapi… benar aku datang untuk Mama! Aku tidak tahu dia menduda." Aku mencoba menjelaskan posisiku.
Kupikir aku harus bersikap lebih tegas untuk membuat orang-orang tidak salah mengerti.
"Laura, semakin menghindar seperti itu, semakin terlihat isi hatimu yang sesungguhnya," ujar Richard yang membuat mataku melebar.
Oh semoga lampu redup di ruangan ini bisa menyembunyikan wajahku yang pasti memerah. Tidak ada guna menanggapi kata-katanya.
"Ayo kami antar pulang," Richard bangkit berdiri diikuti Adriana dan aku yang berjalan dengan mulut terkunci.
Kami bermobil bertiga melewati jalan raya yang sudah lengang dan lampu-lampu jalanan yang bernyala dalam sepi.
"Sebenarnya tadi aku minta diantar ke hotel, tidak baik tinggal di situ bertiga. Tetangga akan bergunjing." Kataku.
"Mereka sudah kenal kamu." Kata Richard.
Kenal, tentu saja. Dulu kami bertunangan, sedangkan sekarang aku bukan siapa-siapa baginya. Dia seorang duda.
Ketika tiba di depan rumah, Richard menahanku dengan kata-katanya saat aku akan turun dari mobil.
"Menikah sudah, tunggu apa lagi, tak usa pikir omongan orang, yang menjalani kalian berdua."
Kata-kata Richard terasa kuat mendorongku pada satu sudut yang aku sendiri tidak berani membayangkannya. Bukankah aku ingin membalas dendam kepada Kenny yang sudah menyakitiku? Aku tidak boleh menikah dengannya... atau?
Saat itu Kenny membukakan pintu, dan berdiri bersandar di tiang teras memandang kami.
Aku menatap mata Richard tanpa bisa membalas kata-katanya.
"Laura, waktu terus berjalan dan kita sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan terbaik dalam hidup. Raihlah kebahagiaan kalian, jangan tinggi hati." Kata Richard dengan sungguh-sungguh.
Dia empat tahun lebih muda dari Kenny, tetapi sikapnya terlihat sangat dewasa. Richard dan Adriana sudah lebih dulu menikah dibanding Kenny. Mereka menikah setahun setelah pernikahan Fiona dan sekarang sudah memiliki dua anak. Yang bungsu belum genap setahun umurnya.
Adriana mengangguk sambil mengusap bahuku.
"Kami ingin kakak berdua menikah," katanya terdengar tulus. Aku percaya pada mereka berdua.
Kupeluk Adriana dan mengucap salam kepada mereka berdua.
"Bolehkah aku menginap di rumah kalian," kataku sebelum turun dari mobil.
Adriana menatapku lalu memandang suaminya.
"Boleh saja, aku senang," jawabnya dengan tawa yang melebar.
"Tidak, Laura tetap di sini." Kata Richard dengan tegas.
"Richard, tidak baik jika aku di sini, para tetangga nanti …"
Mama sakit dan menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar sementara Kenny seorang laki-laki dan aku perempuan. Tidak ada orang lain.
"Mereka sudah kenal kamu, tidak masalah." Dia mengulangi kalimatnya yang tadi.
"Orang akan bergosip tentang kami."
"Apa kubilang Laura, nikah saja!" katanya.
Dia tidak menjawabku, tiada guna berdebat dengannya. Tentu saja Richard membela kakak laki-lakinya.
Aku melompat turun dari mobil dan mengucap terimakasih lalu melambaikan tangan pada mereka.
Di belakangku terdengar suara Richar berteriak, kepada Kenny yang berdiri di ambang pintu.
"Maaf kami tidak turun."
Suara mesin mobil menderu saat Richard memundurkan mobil meninggalkan halaman.
Kenny tersenyum menyambutku dan tangannya menyentuh bahuku, mendorongnya lembut sambil kami berjalan memasuki rumah.
"Bagaimana?" sapa Kenny ketika kami di dalam rumah. Suaranya terdengar sabar dan ramah. Aku berusaha memberinya senyuman dan mencoba melupakan ketegangan sore tadi.
"Baik," kataku sambil berjalan membelakanginya. Tubuh Kenny yang jangkung dan berjalan tepat di belakangku membuat aku merasakan embusan nafasnya di puncak kepalaku.
"Besok kita jalan pukul sepuluh, aku ngajar dulu…" katanya mengingatkan rencana pergi ke kampung.
"Oke. Terima kasih sudah menunggu," kataku sambil menghentikan langkah dan berbalik menghadap padanya.
"Masih marah?" Mata elang itu menyelidik, dan ujung bibirmya naik membentuk senyum kecil. Ah aku merasa menjadi tolol menghadapi kepribadiannya yang terlalu kuat, membuat kemarahanku tadi siang memperlihatkan sikap kekanak-kanakan.
Aku hanya bisa menggeleng lemah dan tidak pasti akan perasaanku.
Dia menatapku kemudian mengatakan ingin mengajakku berbicara.
Pikiranku belum jernih dan tidak siap untuk berbincang dengannya membuat mulutku terkunci. Hanya mataku yang menatap wajah Kenny yang terlihat segar dan santai.
"Tapi kalau kamu mengantuk, besok saja tidak apa-apa, aku bisa menunggu," katanya tanpa menunggu jawabanku.
Aku mengangguk.
" Aku ingin mandi, badanku berbau asap rokok dan berkeringat. Tolong tungguin di sini, aku takut," kataku sambil melihat ke kamar mandi yang terletak di halaman bekakang, tertutup rumpun pisang.
"Aku di sini," ujarnya memastikan.
Pada saat mandi aku mendengar kembali suara musik, rupanya selain membaca kini Kenny suka bermain musik.
***