Di bawah pancuran kubiarkan air mengucur ke kepala turun bersama air mata yang tidak juga berhenti mengalir. Dadaku sakit karena menahan keinginan untuk berteriak...
Aku merasa benci pada diri sendiri karena ceroboh menerima undangannya untuk datang. Apa maksudnya mengundangku? Mama memang sakit tetapi sakitnya tidak mengancam jiwa. Apakah Kenny berpikir bahwa jika aku tahu bahwa dia menduda lalu aku bersedia kembali kepadanya?
Huh… Laura kamu berpikir terlalu jauh!!! Aku memaki diri sendiri.
Ketika keluar dari kamar mandi aku melihat Kenny masih duduk di tempat yang sama, kami bertatapan sekilas.
"Laura… kemarilah!" suaranya terdengar memohon.
Tapi aku berjalan cepat masuk ke kamar sambil masih menangis sebab tidak ada yang bisa kulakukan dalam kebingungan seperti ini.
Aku memang cengeng… dari dulu cengeng, tetapi aku ingin menjadi tegar dan aku ingin Kenny tidak merendahkan diriku lagi.
Kenny pasti sadar bahwa ketika aku memenuhi undangannya untuk datang, pasti bukan hanya untuk menengok mama. Aku ingin melihat semua, bagaimana Kenny menjalani kehidupannya, selain itu ingin melihat kekuatan diriku sendiri. Aku selalau berpendapat bahwa cinta akan membuatku menjadi kuat.
Menurutku ini adalah kesombongan dari seorang perempuan yang tersakiti.
Status Kenny sekarang seharusnya membuatku lega, karena dia tidak punya istri, tidak punya ikatan, namun ternyata aku justru merasa tersinggung karena dia mamanfaatkan kelemahanku untuk datang kembali.
Dari dalam kamar aku mendengar Kenny bermain musik sebagai cara berbicara padaku, menyatakan bahwa dia berada di balik dinding, menungguku. Kurasa aku terlalu tinggi hati untuk menemuinya. Aku kesal karena dia tidak memberitahukan statusnya sebelum aku datang.
Sampai tadi pun aku tahu bahwa Kenny mencintai Marina. Dia memintakan maaf padaku. Ini artinya Kenny dan Marina menyadari bahwa mereka telah bersalah dan menyakitiku.
Apa yang seharusnya kulakukan? Aku harus memaafkan? sungguh berat untuk memberikan maaf dengan tulus. Jika hanya kata-kata di bibir mungkin bisa kulakukan.
Aku bukan Laura yang lemah. Aku harus membalas sakit hati yang telah kualami selama lima tahun. Bagaimana aku harus membalasnya?
Uhmm aku harus membuat Kenny merana seperti yang telah kurasakan. Aku akan menggoda sampai dia takluk kepadaku, lalu aku akan meninggalkannya!
Kenny harus merasakan apa yang kurasakan, sakit karena ditinggalkan, merasa tidak berguna, terhina…
Tetapi apakah dia masih tertarik kepadaku? Let's find out.
Aku terlelap setelah membuat keputusan.
Matahari sudah condong ke barat dan langit remang-remang ketika aku terbangun. Keluar dari kamar aku tidak menemukan Kenny. Aku menuju ke kamar mama. Perempuan itu sedang melamun menatap langit-angit.
"Selamat sore Mama, Kenny kemana?"
"Laura… dia ke gereja, tadi mau ajak kamu tetapi kamu masih tidur." Kata Mama.
"Hmm… Mama mau minum teh hangat? Saya akan bikinkan," kataku. Dia mengangguk dengan tersenyum. Aku segera menuju dapur untuk membuat teh hangat.
"Mari duduk di depan Ma, ada pisang goreng dari tetangga." Kataku. Mama setuju dan aku memapahnya keluar.
"Dari siapa?"
"Umm seorang anak mengirim, katanya dari Mama Anita."
"Kau tidak kenal? Itu Kartika yang dulu sering main kemari. Anaknya dua sekarang," kata Mama.
"Ohh jadi Mama Anita itu Kartika, nanti saya temui dia." aku teringat pada perempuan itu.
Kami menikmati minuman hangat dan pisang goreng sambil Mama menceritakan tentang para tetangga yang kukenal.
Mama memicingkan mata mengamati wajahku.
"Kamu tadi menangis, apa Kenny yang membuatmu menangis?"
Aku tidak menjawab melainkan menatap mama lekat-lekat.
"Anak itu tidak tahu berterima kasih. Jauh-jauh kamu datang tapi dia bikin kamu bersedih." Mama mengomel.
Aku tertawa setengah hati dan meraih tangan Mama.
"Tidak apa-apa." Jawabku lalu mengalihkan percakapan tentang pohon pisang, buah alpukat dan buah manga yang banyak tumbuh di halaman.
Tidak lama kemudian terdengar deru mobil memasuki halaman.
Kenny pulang dengan membawa makanan untuk makan malam kami.
Mama sudah tidak pernah memasak, sehingga Kenny membeli makanan dari luar, khususnya untuk makan malam.
Aku menuju dapur untuk membantu Kenny mengatur piring-piring dan menata meja makan.
Mata kami bertatapan.
"Cantik," ujarnya tiba-tiba membuatku terhenti. Kami bertatapan beberapa detik, matanya mengisapku. Tulang-tulang dan ototku serasa lembek.
Mengapa dia memberi pujian? Aku belum mulai menjalankan strategi untuk membuat Kenny terpikat kepadaku tetapi justru dia yang mulai menggoda. Apakah aku salah strategi?
"Aku tidak perlu pujianmu." Kataku sambil berjalan keluar dari dapur dan langkah Kenny terdengar di belakangku.
Aku meletakkan piring-piring, Kenny membawa tempat nasi dan meletakkannya di tengah meja.
"Mama, apa salah bila kubilang Laura cantik?" seru Kenny tiba-tiba.
"Dari dulu dia cantik, kenapa baru sekarang kamu membuka mata?" seru mama kepadanya.
Wajahku pasti merah mendengar percakapan mereka apalagi kedua pasang mata ibu dan anak laki-lakinya itu sekarang tertuju kepadaku.
"Kamu pimpin doa makan." Kataku sambil duduk di sebelah mama.
Kenny menahan senyum melihatku.
"Apa yang lucu?"
"Kalau marah makin cantik." Dia menangkup kedua tangan dan menyangga dagunya yang berewokan di atas tangannya.
"Hentikan omong kosong itu, setelah makan antarkan saya ke hotel." kataku dengan tatapan tajam kepadanya.
"Laura…" wajahnya menjadi serius dan wajahnya terlihat kecewa.
"Nak, kenapa ke hotel… di sini saja." Kata Mama.
"Maaf, tetapi aku tidak ingin jadi bahan gossip para tetangga," kataku. Kemana kuletakkan mukaku kalau mereka tahu aku menginap di rumah seorang duda.
"Sejak kapan kamu memikirkan hal-hal kecil seperti ini, La?" Kenny bertanya dengan mata elangnya yang menatap tajam.
"Mari sudah kita makan, Laura, suap mama," kata Mama kepadaku.
Aku mengambil makanan untuknya lalu Kenny memimpin doa makan. Untuk sementara aku tidak membahas lagi permintaan pindah ke hotel karena akan mengganggu suasana. Tetapi Kenny harus tahu bahwa aku tidak nyaman berada di rumah ini setelah mengetahui statusnya.
Belum selesai kami makan terdengar ada kendaraan yang memasuki halaman.
Tanpa menengok keluar Kenny berkata bahwa Richard yang datang.Richard adalah adik laki-laki Kenny yang sudah lebih dulu menikah ketika kami bertunangan waktu itu. Dia seorang pemuda periang dan ramah.
"Hello Laura, senang sekali kamu bisa datang lagi." Seru Richard dengan suara lantang saat dia melangkah masuk. Adriana istrinya berjalan di belakangnya dan melambai ceria.
"Kalian sedang makan? Kami akan undang untuk makan malam di kafe," kata Adriana sambil duduk di sebelahku. Kami berpelukan dan bercium pipi.
"Apa kabar Dri?"
" Baik. Yuk, jangan banyak makan di sini, aku siapkan masakan kesukaanmu… ikan panggang," kata Adriana.
"Laura makin cantik," kata Richard.
Kenny mengangguk.
"Tapi dia marah kalau dibilang cantik. Mungkin dia lebih suka dibilang jelek." Kata Kenny. Aku membelalak kepadanya. Laki-laki yang dulu tak acuh sekarang kenapa jadi banyak bicara.
"Harus sering memuji sampai dia terbiasa." kata Richard.
Richard memeluk mama dan menciumnya.
"Ma. Mau ikut ke kafe?" ajaknya tetapi mama menggelengkan kepala.
"Pergilah dengan mereka, aku menemani mama," kata Kenny, kembali pada kepribadiannya yang tenang.
"Kok Laura tidak berubah ya, awet ayu, awet muda." Richard menggoda dan menyebut rambutku yang pendek membuatku terlihat semakin muda. Mereka dulu mengagumi rambutku yang panjang.
"Seperti artis," kata Adriana.
"Omong kosong!" jawabku jengah dan wajahku terasa hangat.
Malam itu juga Richard dan Adriana menjamuku di kafe milik meraka serta mengundang beberapa kerabat, maka suasana canggung menjadi lebur. Ada Lexy dengan Sandrina, istrinya yang cantik, juga Tina dan beberapa orang muda yang kurang kuingat.
Waktu berputar mundur seperti saat aku bersama mereka untuk makan-makan, bercanda dan bernyanyi bersama-sama. Suasana yang membuat urat-uratku terasa lebih lemas, tubuh berkeringat. Tetapi pikiranku sesekali tertuju pada Kenny yang tinggal di rumah dan aku masih marah pada sikapnya yang menyepelekanku.
Melihat aku menguap satu-dua kali, Richard mengisyaratkan untuk mengakhiri pesta kecil tersebut.
Ketika tamu-tamu sudah pulang dan aku pun bersiap untuk diantarnya, Richard membersihkan satu meja dan mengundangku untuk duduk bertiga dengan Adriana .
"Aku akan bicara hal penting," katanya setelah kami duduk berhadap-hadapan.
"Haaa kamu membuat ini terlihat sangat genting,"ujarku sambil duduk di kursi yang ditunjuknya.
Wajahnya terlihat serius, Richard menatapku lurus-lurus.
"Memang sangat penting, soal kakakku dan kamu," jawabnya membuatku berdebar debar dan menghentikan senyum.
Richard memberi jeda, kami bertiga terdiam dan hanya saling memandang.
"Harus berani ambil keputusan dan bersegera, waktunya sudah terlalu lama disia-siakan," kata Richard dengan teratur.
"Kau bicara apa?"
"Soal cinta di antara kalian." Matanya menantang dan terlihat penuh kemenangan menunggu jawabanku.
"Semua sudah selesai dan berakhir bertahun tahun lalu. Kita semua tahu itu." Jawabku sambil mengarahkan pandangan ke luar, ke langit hitam dan gelap yang mengirim angin dingin ke tempat ini.
***