Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 8 - Dia sudah di surga, maukah memaafkan?

Chapter 8 - Dia sudah di surga, maukah memaafkan?

Dekapannya memberi rasa hangat yang mengalir. Aku ingin mengingkari bahwa Kenny bukan lagi kekasihku, bahwa di antara kami tidak ada hubungan lagi.

"Maafkan aku Laura?" Pandangannya menusuk ke mataku.

"Mau kah memaafkan aku?"

Namun itu adalah pertanyaan yang kejam.

Bagaimana aku harus menjawabnya.

"Mau" atau "bisa" tentu berbeda maknanya. Aku bisa memaafkannya, namun soal mau atau tidak sangat bergantung. Kalau boleh memilih aku tentu tidak menginginkan perpisahan itu dan aku merasa sangat tersakiti oleh pengkhianatannya. Tetapi cinta yang sangat dalam terhadapnya membuat aku bisa memaafkannya.

Rasa itu datang lagi, ngilu di dada dan kepala berdenyut-denyut.

Sunyi mencekam hanya terdengar detak jam dinding. Bibirku seperti berperekat dan tenggorokan kering.

"Aku ingin melihatmu bahagia La, sungguh aku memikirmu setiap hari."

Kata-katanya semakin melukaiku. Memikirkanku setiap hari sementara dia hidup bersama istrinya, apa maksudnya?

Dia menatapku dan bibirnya terkatup, wajahnya mengeras. Mimik wajah Kenny yang amat kuhafal. Sesaat kemudian dia mengembuskan nafas dan berkata dengan pelan.

"Kupikir kamu bisa melupakannya dan mendapat kebahagiaan dari orang lain," Katanya.

Wajahnya menghadap lurus di depanku dan aku merasa seperti terkena tusukan di dada. Bagai balon berisi air yang ditusuk jarum dan air menyembur dari lubang kecil lalu merobeknya serta menumpahkan semua isinya. Apakah Kenny tidak menyadari cintaku padanya? Bagaimana bisa aku menemukan orang lain setelah hatiku terisi cinta hanya untuk dirinya.

Aku tidak bisa menanggapi kata-katanya karena itu akan menyakiti kami.

"Aku salah Laura, maukah kamu memaafkanku?" Dia mengulangi permintaannya.

Belum pernah kudengar Kenny seperti ini. Biasanya dia adalah sosok yang sangat yakin akan dirinya dan tidak pernah meminta maaf padaku.

Sekarang perutku serasa diaduk-aduk dan mual. Dia ini seorang guru harusnya paham betul perbedaan makna kata mau dan bisa.

Perasaanku tertekan justru karena aku kini aku kembali menjadi Laura yang dulu mengharapkan cinta dari Kenny. Aku harus mengakui bahwa cinta itu tidak pernah hilang, tetapi kesempatan memberikannya yang hilang.

Pertemuan ini membangkitkan kembali rasa cinta padanya yang tidak mungkin bisa kuberikan.

Aku mencoba menekan perasaan itu dan berhenti mengharapkan dia, seperti yang satu jam lalu sempat kurasakan. Kuhirup udara dalam-dalam lalu mengembuskannya sekaligus membuang rasa nyeri di dada. Aku ingin kosong seperti tadi.

Aku tidak punya hak untuk mencaci makinya atas kesalahan yang baru diakuinya. Kami sama sekali orang lain.

Rasanya aku seperti melesat tinggi lalu terhempas jatuh berkali-kali dan tenagaku kini terkuras, tubuhku melemah, lunglai.

Aku tidak mau menjadi perusak rumah tangga, meskipun aku masih merasakan cintanya yang kulihat bagai api, membara di matanya.

"Aku bisa memaafkan dan sudah lama kulakukan, bukan karena mau," kataku jujur dengan tekanan pada kata bisa dan mau.

Kutentang matanya dan Kenny menggigit bibir menekan perasaannya juga. Mestinya dia baru menyadari perbedaan bisa dan mau yang kuungkapkan. Dia mengangguk beberapa kali, masih dengan menggigit bibir bawahnya.

Aku sudah menumpahkan perasaanku dan menjadi lega, aku menyayangi Kenny dan tidak ingin dia merasa tertekan.

Aku menunduk diam dan berusaha menguasai diri serta tidak ingin dikasihani. Ruangan terasa sunyi dan aku mendengar hanya suara roda-roda mobil yang berjalan di atas aspal basah, dan suara kanak-kanak bernyanyi di kejauhan.

"Maaf ya, tidak seharusnya seperti ini," kataku mencoba bersikap kuat, teringat kata-kata bijak Mahatma Gandhi, orang yang lemah tidak akan pernah memaafkan, pemaafan hanya pada mereka yang kuat.

Apakah aku kuat atau lemah? Apakah aku ingin dilihat kuat, atau aku tulus memaafkannya?

Kenny memandangku dengan mulut terbuka dan matanya mengatakan sesuatu yang sulit untuk kupahami namun aku menangkap dia gugup.

"Mari melanjutkan hidup masing-masing, kurasa kita semua baik-baik saja. Terima kasih aku sudah mendapat kesempatan melepas himpitan, terima kasih juga sudah bisa mengerti."

Aku memang merasa lega setelah menangis tadi, meskipun tidak juga mendapat jawaban, mengapa dia meninggalkanku? apa kesalahanku?

"Laura…"

Kenny memelukku lagi dan aku melekat dalam dekapannya.

Ah mengapa dekapannya menimbulkan perasaan nyaman seperti ini, mendengar degub jantungnya, tarikan nafasnya dan tangannya yang mengusap punggungku, aku ingin menikmatinya selama-lamanya.

"Kadang memang hidup tidak adil ya? Kita tidak bisa memperoleh semua keinginan, tapi aku sangat percaya Tuhan sudah memberi yang terbaik. Ya aku baik-baik saja sekarang." Kataku berusaha tenang.

Aku menengadah memandangnya langsung, tetapi tubuhku masih di dalam pelukannya.

Kami bertatapan dengan membisu, aku menggigit bibir untuk menahan tangis dan mengerjabkan mata agar airmata tidak mengalir. Sulit bagiku menebak ekspresi Kenny, tetapi matanya memancarkan kata-kata yang tidak berwujud. Aku tahu dia memberi pesan.

" kupikir selama ini kamu sudah tahu…"

Kenny menggantung kalimatnya, suaranya tercekat.

Aku menatapnya sambil menanti kelanjutannya.

"Apa?"

"Dia sudah di surga. Maafkan dia juga, kalau bisa, bukan karena mau."

Dagunya mengarah ke foto pernikahannya. Kenny sudah menggunakan kata-kataku.

Aku memikirkan makna kalimatnya dan untuk sesaat ruangan terasa lebih senyap. Dia sudah di surga. Marina maksudnya? Tadi dia bilang istrinya tidak ada.

Tangan Kenny terlihat gemetar aku pun menjadi gugup menanggapinya.

Haruskah aku memaafkannya?

Nafas yang berat kuembus perlahan-lahan.

Marina sudah mencuri masa lalu dan masa depanku. Sesuatu yang tidak tergantikan. Kejutan ini membuat otot-ototku terasa berkedut, kaget, sedih, senang, bingung. Tidak terbayang sama sekali bahwa aku menghadapi situasi ini, bertemu lagi dengan Kenny yang menduda.

Aku melepaskan diri dari dekapan Kenny.

"Semoga dia mendapat hidup damai di surga," kataku tanpa menyinggung pemaafan.

Aku tidak perlu berpura-pura menjadi orang baik dan pemaaf.

Bibirku gemetar menahan emosi dan aku tidak berani menatap Kenny.

Aku teringat, dulu meninggalkan Kota Baru dengan hati hancur, malu, terusir oleh mereka berdua. Kembali ke Ibukota dan menghadapi pertanyaan banyak orang, mengapa aku tidak jadi menikah?

Marina mengalahkanku, yang disebutnya sebagai si pengacau.Mengapa dia menuduhku sebagai pengacau? pernyataannya yang aneh sudah lama menjadi misteri bagiku.

Aku memasuki lubang gelap dalam hidupku dan kujalani hidup yang sunyi dalam pelarian jauh dari orang yang kusayangi.

"Maaf kalau kamu baru tahu." Suara Kenny terdengar bagai pukulan gong yang menggaung.

Agak ganjil Fiona tidak pernah menyinggung masalah ini.

Haruskah aku memberi maaf dan kenapa Kenny memintaku memberikan maaf untuk istrinya itu. Mereka adalah satu, aku teringat pemakaian kata "kita" yang dulu diucapkan Kenny pada saat menegur Marina. Aku adalah orang luar bukan bagian dari "kita".

Bagaimana pun posisi Marina masih di atasku, Kenny pasti lebih mencintainya.

Kutatap matanya sekilas dengan tanda tanya, mencari tahu akan apa yang sekarang dikehendakinya…

Kami duduk terlalu dekat, dan aku merasa bahwa tidak seharusnya membiarkan diriku berpelukan, menangis di dadanya. Perasaan malu dan tidak patut membuat aku marah pada diri sendiri. Semua tadi terjadi sebelum aku tahu statusnya dan tiba tiba saja aku merasa ingin diperhatikan dan disentuh.

Kalau aku sudah tahu sebelumnya, apakah Kenny berpikir aku juga akan datang sebab ada yang kuharapkan darinya dengan statusnya sebagai seorang duda?

Ampun Gusti!

Aku merasa terhempas menahan rasa malu dan rendah. Aku ingin masuk ke bumi!

Aku tidak sanggup megendalikan diriku sendiri, merasa dianggap remeh.

Kenny mengulurkan tangan untuk menarikku lagi ke dalam pelukannya, tetapi aku menepis tangannya.

Aku sudah sadar akan kedudukan kami.

"Aku mau mandi, " kataku sambil berdiri meninggalkannya dengan menahan marah, kecewa, dan tersakiti.

***