Di atas meja terdapat nampan kecil berisi gelas kosong dengan penutup dan satu botol air minum. Aku meraih dan melihat sekilas buku tentang cerita rakyat Pulau Bunga yang terletak di dekat nampan itu.
Aku yakin bahwa Kenny mempersiapkan buku itu untuk kubaca-baca. Tidak jadi tidur aku iseng membuka laci meja dan terkejut melihat isinya.
Barang-barang milikku!
Ada buku catatan, beberapa alat tulis, gunting kertas bahkan satu lipstick yang kadaluwarsa dan sekotak anting serta penjepit rambut di dalamnya. Aku lupa barang-barang tersebut sampai saat melihatnya lagi sekarang. Mereka membiarkannya di situ, tidak memberikannya pada orang lain atau membuangnya. Kubuka buku catatan dan tersenyum terharu mengingat beberapa nama dan alamat kenalanku, Maya, Hardy yang pernah membuat Kenny cemburu, Dr. Val, Letti juga jadwal pertemuan dengan sejumlah narasumber dan puisi-puisi yang kutulis, bahkan beberapa catatanku tentang Kenny. Ah… dia pasti membacanya!
" Kami membahas tentang kemiskinan di desa-desa dan anak-anak yang tidak bisa sekolah. Aku bangga mendengar Kenny sangat antusias mengajar. Guru menjadi agen perubahan, apabila kata-kata bijaknya didengar oleh murid-murid, pastilah di antara mereka akan termotivasi untuk memiliki hidup lebih baik. Semoga dia akan terus menjadi guru dan teladan bagi murid-muridnya. Oh aku menyukai tatapan matanya yang tajam dan energik." Begitu catatanku tentang dia.
Di balik sikapnya yang tampak tidak peduli, sebenarnya Kenny penuh perhatian dan kerap melakukan hal-hal kecil yang menyenangkan.
Tanpa terasa aku memegang cincin pertunangan kami. Cincin dengan mutiara kecil di tengah bentuk dua hati.
"Ini hati kita dan mutiaranya menjadi lambang cinta suci yang memberi energi bagi kita."
Di tengah sikapnya yang tak peduli, ada sisi lembut Kenny yang kadang ditunjukkannya, walau seringkali dengan caranya yang keras dan angkuh.
Dulu Kenny menjelaskan makna dari bentuk cincin yang diberikannya kepadaku sebelum aku pergi ke Belanda. Energi cinta, sungguh luar biasa, karena aku terus menerus merasakan daya magis cinta itu, memakai cincin ini membuatku merasa kuat, seolah Kenny menjagaku senantiasa.
Sekotak benda dari masa lalu, terhampar di depanku.
Kini ketika waktu telah berlalu tanpa aku menyadarinya, cintaku tetap sama pada kekasih yang sudah menjadi suami orang lain. Membayangkan wajah dan tatapan matanya, senyum dengan deretan gigi yang putih itu membuatku merasa bahagia.
Kenny baik-baik saja meskipun menjadi kurus.
Aku telah melewati semuanya. Aku juga harus baik-baik saja.
Perasaanku terasa ringan dan hatiku kosong. Aku ingin terlihat riang dan tanpa beban!
Angin semilir yang bertiup dari jendela membawa udara yang segar dan kuhirup pelan-pelan sambil memejamkan mata.
Tadi pagi ketika berangkat aku masih bingung, gelisah dan berandai-andai. Sekarang aku mampu menegakkan kepala tanpa harus sombong. Aku bisa tetap menyimpan cinta untuk Kenny tanpa menuntut balas cintanya.
Impianku untuk hidup bersamanya telah terbang, namun cinta padanya terus mengalir dan aku bisa mengatasi rasa sedihnya. Tuhan terima kasih atas karunia-Mu yang agung ini.
Sayup-sayup terdengar pintu diketuk dan seseorang berseru "permisi" beberapa kali. Mungkin semua tertidur sehingga tidak ada yang menyambutnya. Aku pun keluar kamar dan menuju pintu depan. Seorang gadis kecil berdiri di depan pintu membawa piring di atas nampan tertutup daun pisang.
"Ya nak?"
"Mama bilang kasih ini untuk tante," katanya sambil menyorongkan nampan. Matanya yang bundar bersih menatap berkilau. Cantik sekali wajah mungil ini.
"Sepertinya tidak ada orang, saya akan terima nanti saya sampaikan pada bapak Kenny ya," kataku sambil menerima nampan.
Dia masih menatapku sambil meremas jari-jari dan berkata lagi.
"Mama bilang ini untuk tante…"
"Ya… untuk tante di sini?" aku menunjuk ke dalam rumah. Gadis itu menggeleng, telunjuknya mengarah ke wajahku.
"Bukan…!" katanya.
"Oh… saya? siapa mamamu?"
"Mama. Mama Anita."
"Baiklah saya terima. Bilang ke mama Anita ya, terima kasih."
Dia berlari meninggalkanku. Pasti gadis itu bingung seperti aku.
Aku mengintip isinya pisang goreng yang masih panas dengan aroma harum yang menggoda. Kuletakkan sepiring pisang goreng itu di atas meja.
Saat hendak kembali ke kamar langkahku terhenti di depan foto pernikahan Kenny. Baru beberapa saat yang lalu aku merasa lega dan ikhlas, namun foto tersebut membuatku berkata di dalam hati "seandainya aku yang ada di samping Ken!"
Aku cemburu!!!
Wajah kedua pengantin tertawa riang. Senyum mereka, senyum yang lepas dan bahagia. Suatu daya yang kuat menahanku untuk berdiri dan mamandang wajah itu. Tanganku tergerak menyentuh gambar wajah Kenny yang terlihat bersih, segar dan berseri-seri.
Ada perasaan cinta yang hangat mengalir dari ujung-ujung jariku yang menelusuri gambar hidungnya, bibirnya, pipinya, rambutnya. Seakan foto itu hidup, aku membelainya dan menatap matanya yang seperti menyimpan hangat matahari dan memberi rasa tentram. Mungkin cinta itu lah magnitnya. Ingatan saat kami masih bersama-sama sebagai sepasang kekasih seperti baru terjadi.
"Semoga kau bahagia Ken…."
Aku berucap dalam hati, sambil meletakkan tangan kiri ke dada, sedangkan tangan kanan masih menempel di gambar wajahnya, aku merasa mendapat kekuatan dari situ. Mataku hangat oleh airmata lagi. Baru setengah hari aku sudah menangis berkali-kali. Di dalam kepalaku berdengung lagu itu lagi.
The winner takes it all …
The looser standing small…
Kubuka mata dengan airmata yang penuh menggenang. Pandanganku kabur menatap bingkai foto tersebut.
Aku harus membuat diriku kuat kembali, dan membiarkan luka-luka itu tetap menutup dengan tidak meratap seperti ini. Aku perlu memilih perasaan yang datang bagai ombak ini dan menyembunyikan airmata dari orang-orang terutama dari hadapan ibu.
Tiba-tiba aku menyadari ada bayang-bayang di sebelah kiri. Kenny berdiri terpaku di situ.
Kami saling menatap dengan membisu. Rasanya aku ingin berlari sekencang-kencangnya tetapi yang terjadi hanya langkah terhuyung untuk meninggalkannya.
Ombak sudah menghempas ke pantai menelan deburannya yang gemuruh, aku tidak bisa mengembalikannya.
Kenny menarik bahuku dan mendekapku dari belakang, tubuhku terasa beku.
"La, apakah ada yang bisa kulakukan untukmu?" dia berkata dengan nada rendah sambil membalik tubuhku menghadap padanya, mengangkat kepalaku dengan kedua tangannya, sementara telunjuknya mengusap air mataku.
Mengapa baru sekarang dia bertanya? Pertanyaan yang seharusnya dilakukan lima tahun yang lalu. Mengapa baru sekarang?
Aku mengulang pertanyaan itu di dalam kepala.
Apakah aku akan mengatakan isi hatiku yang kecewa dan marah, apakah ada manfaatnya sekarang? Apa yang bisa dilakukannya untukku?
Aku tidak menjawab melainkan menangis, menumpahkan semua rasa yang kupendam. Kenny menepuk-nepuk punggungku, mencoba membuatku tenang, tetapi bukannya mereda tangisku makin tidak terkendali, air mataku menuju muaranya. Ada dorongan kuat dari rongga perut yang mengalir naik dan mampat di saluran nafasku, lalu bagaikan sumbat botol yang terdorong lepas, tangisku meledak, aku menjatuhkan diri padanya, memeluknya erat-erat dan menangis lepas.
Mengapa kau lakukan padaku? Pertanyaan yang tidak pernah terucap dan tidak pernah terjawab. Mengapa Ken? mengapa? Aku ingin mendengar jawabannya meskipun tidak berani menanyakannya.
Sekarang baru kusadari arti kehilangan yang selama ini kuingkari. Dinding itu runtuh! Aku tidak menginginkan perpisahan itu, tidak pernah menginginkannya.
Kenny menggendong tubuhku yang gemetar dan tanpa daya dan membawaku ke sofa, dia mengusap wajahku yang penuh air mata, liur dan ingus dengan sapu tangannya. Tubuhku basah berkeringat, lunglai, bagai kain teronggok di sofa.
***