Mama minta dibantu duduk bersandar pada tumpukan bantal dan kami berbincang-bincang tentang kesehatannya, mendengar keluhan-keluhannya dan akhirnya dia menanyakan kabar ibuku.
Hatiku agak lega melihat mama cukup kuat dan sehat, kecuali kemampuan gerak yang menjadi terbatas. Kupikir Kenny agak melebih-lebihkan saat menelpon dengan mengatakan khawatir waktu mama tidak lama lagi. Mama cukup sehat, menurutku.
Ada beberapa waktu kami berdua di kamar, sambil memijit tangan dan kakinya, aku mendengarkan mama menceritakan saat-saat terakhir bapak meninggal akibat sakit setelah terjatuh dari tangga.
"Dia sebenarnya sehat, tapi entah kenapa hari itu dia terjatuh dari tangga ketika akan mengambil buku di atas lemari."
Bapak mendapat cedera di tulang punggung dan hampir lumpuh selama tiga tahun.
"Di mana makam bapak?"
"Ada di kampung."
"Besok saya berziarah," kataku, mengikuti kebiasaan setempat untuk menziarahi kuburan dan berdoa bagi mereka yang sudah mengembara di alam abadi.
"Ehh baik sudah. Kapan kamu pulang?" mata mama bersinar penuh harap.
"Hari Rabu. Sekarang Minggu jadi tiga hari lagi" tanganku memberi isyarat tiga jari.
"Secepat itu? Kukira tinggal lebih lama seperti dulu," sorot matanya terlihat kecewa.
"Saya ada kerja mama, tidak bisa lama-lama…" aku memberinya senyum untuk mengurangi kekecewaannya.
"Ohhh … apa kamu menikah? Punya anak?" pertanyaan yang mudah kuduga pasti akan disampaikan, akhirnya terucap juga.
kini matanya menatapku menyelidik dan untuk sesaat aku diam membalas tatapannya. Leherku terasa kaku saat aku menggelengkan kepala.
"Tidak."
Mengapa aku merasa berat menjawab pertanyaannya?
Malu pada kegagalan hidup sebagai perawan tua? Aku sudah lama tidak peduli lagi ketika orang bertanya tentang statusku atau menyebutku sebagai perawan tua. Faktanya memang begitu. Konsepku tentang hidup sudah berubah, berhenti membayangkan sebuah kehidupan keluarga, setelah putus dengan Kenny. Aku tidak pernah mengharapkan suatu pernikahan lagi.
Baru saja aku menyadarinya, tepat ketika kini harus menghadapi Kenny. Dia adalah alasan untuk konsep hidupku tersebut. Tidak ada tempat buat pria yang lain di hatiku.
Aku menjadi tidak percaya diri untuk membangun hubungan baru, selain itu hatiku sudah terisi penuh oleh cinta untuk Kenny. Dia adalah matahari yang jauh tetapi memberiku sinar dan kehangatan.
Mama meremas tanganku, menarik dan menciumnya.
Aku membalas memeluknya lagi. Dia mengusap airmata dengan ujung blusnya. Aku pun menahan air mata.
"Setiap hari mama berdoa ingin kamu datang…" Mama menggantung kalimatnya.
"Terima kasih mama untuk cintanya…doa mama terkabul," kataku penuh syukur. Aku tidak menyesal datang untuk menemuinya.
"Kamu adalah anakku juga…" katanya dengan sorot mata yang penuh cinta. Aku menatapnya penuh makna. Kuusap punggungnya.
"Mama yang sehat ya… saya sedih melihat mama sakit." Aku berusaha tersenyum padanya dan tidak ikut larut dalam kesedihan masa lalu.
"Sekarang sudah sehat, mau duduk." Dia memberi isyarat agar aku membantu mendudukkannya.
"Mama tidak makan sirih lagi ya?" kataku melihat bibirnya yang pucat sementara dalam ingatanku mama selalu mengunyah buah sirih dan pinang.
"Sudah lama berhenti, Kenny melarang," katanya.
"Tapi dia sendiri masih merokok," ujarku.
Mama tersenyum lebar meskipun matanya masih basah oleh airmata. Aku duduk di lantai dan meminta mama menjuntaikan kakinya agar memudahkanku untuk memijat.
Mama terlihat menikmati pijatanku. Sesekali dia mendesis mungkin kesakitan. Mama terus memandangku dengan sinar mata yang mesra. Kupeluk kakinya.
"Aku sayang mama."
"Ah anakku… anakku…kalau saja…" perempuan itu terisak dan tidak melanjutkan kalimatnya. Aku tahu maksud kata-katanya.
Matanya yang masih tajam menatapku penuh makna dan aku hanya bisa memberinya senyuman getir.
Kurasakan tangan-tangan kami saling membelai memberi rasa tentram yang mengalir hangat. Kucium punggung tangannya yang semakin keriput.
Tanpa kami sadari Kenny sudah berada di kamar untuk mengajak kami ke ruang makan.
"mari makan?!" ajaknya dengan suara berat. Matanya tidak berhenti menatap dan lagi lagi membuatku menghindarinya.
Kenny memapah mama menuju ruang tengah.
Di meja tersaji sup ikan dengan rasa pedas asam dan sambal tomat potong. Aroma bawang merah, cabe, kemangi dan air jeruk memenuhi ruang, juga kuah asam yang membuat mataku membelalak senang. Masih ada beberapa hidangan lain, ikan goreng dan sayur.
"Ah sedapnya… aromanya membuatku lapar. Siapa yang masak?"
Dia tidak menjawab, melainkan mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk.
"Kamu suap mama ya…" Kenny memberikan piring makan mama dan aku mematuhi permintaannya yang disampaikan tanpa kata "tolong".
"Setelah mama selesai baru kita makan." katanya.
Kenny duduk memperhatikan ibunya yang menikmati makanan sesuap demi sesuap.
Dia berkata bahwa mungkin mama bosan sehingga semakin hari semakin sedikit makannya.
Di mana Marina pada saat seperti ini? Mengapa tadi Kenny menjawab istrinya tidak ada?
Ketika akhirnya kami pun makan, seperti kebiasaannya Kenny makan dengan cepat, menunduk memandang piringnya, berkeringat lalu dia meninggalkan meja untuk merokok di luar. Jadi mengapa tadi perlu menunggu aku? Lagi-lagi sikapnya yang percaya diri dan superior membuatku kurang nyaman.
Pada saat kembali dia menenteng koporku dan memasukkannya ke kamar yang dulu pernah kutinggali.
"Kamu lebih aman tidur di sini," katanya ketika keluar dari kamar tersebut.
"Tidak Ken, aku lebih suka menginap di hotel, please nanti antarkan aku ke hotel terdekat," aku berusaha bertahan.
"Bagaimana kamu bisa menemani mama kalau menginap di hotel. Tidur di sini, kamar sudah kusiapkan," katanya dengan percaya diri sambil berkacak pinggang di depanku. Tubuhnya menjulang dan dan... aroma tubuhnya membangkitkan kenangan saat aku berada di dalam pelukannya. Nafasku semakin tersumbat rasanya.
Kenny tipe orang yang tidak banyak bicara. Sebagai anak sulung dengan seorang adik perempuan, sikapnya menjadi dominan. Aku adalah sahabat Fiona, adiknya. Kami berteman ketika Fiona bersekolah di ibukota. Kemudian aku mengikuti Fiona pulang ke kampungnya di Pulau Bunga ketika kami menyusun skripsi Bersama-sama. Keluarga Fiona meminta aku untuk tinggal bersama mereka. Dari situ kemudian kami menjadi akrab hingga aku pun berpacaran dengan Kenny.
Aku ingat ibu semula tidak setuju aku berpacaran dengan Kenny karena Ibu menduga ini hanya cinta sesaat, kami saling tertarik karena setiap hari bertemu.
"Kamu gadis kota, sejak lahir tinggal di ibukota, apa yang akan kamu lakukan bila menikah dengan pemuda dari pulau terpencil? apa kamu bisa tinggal di tempat itu?" sanggah ibu ketika itu. Kami yang dimabuk asmara, mengabaikan semuanya.
Benar juga, setelah lulus kuliah aku mendapat beasiswa untuk S2 di negara tetangga. Peluang yang tidak mungkin kusia-siakan.
Kenny yang bekerja sebagai guru matematika di kotanya, ingin segera menikahiku, tetapi kukatakan agar dia sabar menunggu hingga aku menyelesaikan study.
"Kamu sudah sekolah sedemikian tinggi, lalu apa yang akan kamu kerjakan di pulau terpencil itu?" kata Nugroho, kerabat jauh ibu yang bekerja Bersama kami.
"Hmm entahlah…" jawabku kepada Nugroho.
Rupanya aku terbawa lamunan, dan tersadar ketika Mama meminta kembali ke kamarnya.
"Kamu juga perlu istirahat sedikit, nanti akan banyak orang yang datang, bisa-bisa sampai tengah malam, mereka ingin menyambutmu," kata Kenny.
Sebenarnya aku tidak mengantuk dan tidak lelah meski pun pagi ini aku harus bangun pukul tiga untuk menuju bandara. Tetapi aku merasa perlu waktu untuk sendirian dan berpikir.
"Baiklah." Kataku lalu meninggalkannya masuk ke kamar.
Aku dulu menghuni kamar ini selama enam bulan.
Tempat tidurnya baru, lebih luas, meja rias yang sama dan cermin memantulkan bayangan diriku.
Aku meneliti bentuk tubuhku dan berpikir apakah aku masih menarik, pipiku merona dan aku mencoba tersenyum, mencari gaya senyum yang nanti akan kuberikan pada Kenny. Ah mengapa pula aku ini.
Malu oleh tingkahku sendiri yang bagaikan anak remaja, padahal sekarang aku berumur 28, maka aku meninggalkan cermin.
Jendela kayu rangkap dua dengan model tirai menggantung di tengah, masih dipertahankan. Aku tersenyum memandang keluar jendela, pada langit biru jernih dengan awan yang berarak. Celah jendela itu menjadi penghubung kamar ini dengan dunia luar. Terlihat kupu-kupu putih terbang berpasangan. Suasana hatiku terasa baik dan tempat ini memberi kehangatan di hati.
Udara hangat dari luar terbawa angin masuk membuat kamar selalu terasa segar sedangkan dinding dan atapnya membuat ruang lebih sejuk dari suhu di luar.
Aku merebahkan tubuh di Kasur bersprei biru muda yang menebar harum pewangi cucian, menatap langit-langit putih polos dan ilusi wajah laki-laki itu berganti-ganti saat dia tersenyum, menganga, mengangkat alis aku merasa terperangkap oleh pesona Kenny, mantan tunanganku yang sekarang menjadi suami perempuan lain.
Kupejamkan mata untuk mengusir rasa sakit di dada yang tiba-tiba muncul kembali.
***