Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 5 - Anakku telah pulang

Chapter 5 - Anakku telah pulang

Diam-diam aku mencari tanda-tanda keberadaan Marina dan anak-anak mereka. Aku bahkan tidak tahu berapa anak mereka. Namun di ruang itu tidak ada benda-benda milik anak, misalnya boneka, mobil-mobilan, pinsil warna, botol minum. Tidak ada jejak Marina dan anak-anak. Aneh! Rumah ini terasa senyap dan tua.

Tepat pada dinding di sebelah kiri aku melihat lagi foto pernikahan mereka. Aku menatap sekilas foto tersebut tetapi Kenny memperhatikan setiap gerak gerikku bahkan kemana aku memandang dia mengikutinya.

"Ada apa?" dia bertanya dan mata elangnya menatap tajam.

Aku menggeleng dan memberinya senyuman.

"kok rumahnya sepi sekali?" aku berusaha memancing jawaban mengenai Marina.

"Mana istrimu?" kataku terdengar sumbang dan aku membenci kalimat tanya ini, hatiku terasa tersayat untuk menyebut "istri" bagi perempuan lain. Seharusnya aku sendiri yang menjadi istri bagi Kenny.

Kenny menatapku lurus. Mungkin tidak seharusnya aku bertanya begitu.

"Tidak ada." Suaranya terdengar datar dan aku agak heran mendengar jawabannya, tadi pun sikapnya aneh ketika kukatakan aku tidak ingin ribut dengan istrinya.

Kenny beranjak dan mengambilkan segelas air minum.

"Kalau kurang ambil sendiri seperti biasa, kamu kan bukan orang asing di rumah ini."

"Terima kasih" aku menerima gelas darinya, lalu meneguk air untuk membasahi tenggorokanku. Aku bukan orang asing, tapi itu sudah lama dan kupikir aku sudah tidak terbiasa lagi dan merasa menjadi asing sekarang.

Dia terus menatap lurus sambil berdiri di depanku hingga membuatku jengah.

Aku belum mendapat jawaban yang jelas mengenai keberadaan istrinya dan ini membuatku terus gelisah.

Matanya menatap tanganku yang sedang memegang gelas, beberapa detik dia terdiam. Kenny melihat cincin pemberiannya yang masih kupakai. Cincin itu tidak pernah terlepas dari jariku.

Aku menjadi canggung karena mungkin dia terganggu melihat aku masih mengenakan cincin tersebut, meskipun aku tidak memprovokasinya dengan memakai cincin pertunangan kami. Aku benar-benar lupa untuk mencopotnya!

Kenny sudah melihatnya, tidak aka nada gunanya bagiku untuk melepasnya sekarang atau nanti.

"Jangan dipikirkan, aku suka cincin ini, sayang jika tidak dipakai." kataku berusaha tenang tanpa memandang padanya. Dari ekor mata aku merasakan Kenny mengangguk. Aku menengadah melihat wajahnya, mulutnya merapat beberapa detik. Ekspresi Kenny yang sudah kuhafal. Apa kira-kira yang dipikirkannya? gadis bodoh yang masih memakai cincin pertunangan meskipun sudah putus? Kurasa mukaku semakin merah karena jengah. Aku memang bodoh dan tidak berpikir.

"Bagaimana kamu selama ini?" dia bertanya sambil kedua tangannya merapikan rambutnya. Kenny ingin mencairkan kecanggunganku.

"beginilah" aku berusaha menjawab dengan tidak menjelaskan keadaanku.

Dia duduk bersandar di seberang meja dan matanya lekat menatap. Hanya beberapa detik aku membalas tatapannya yang mengirimkan getaran ke seluruh tubuh, lalu aku menunduk, merasakan getaran cinta. Aku paham orang bilang bahwa mata adalah jendela hati, sebab melalui mata kita bisa melihat dan memperlihatkan isi hati. Mata mengirimkan kejujuran, seterang bayangan di dalam cermin.

Berdua di rumah ini, mengembalikan semua rasa cinta yang selama ini sudah menutup meskipun aku tidak juga berhenti mencintainya. Masa-masa meratapi perpisahan itu telah lewat, namun sekarang semua terbuka kembali, perasaan ditinggalkan dan dikhianati membuat aku tidak percaya diri untuk menghadapinya. Pasti ada kekuranganku yang membuatnya meninggalkanku. Kekuranganku dibandingkan Marina!

Melalui tatapan mata aku tidak ingin Kenny melihat bahwa aku masih mencintainya, apalagi melihatku merana… no way… aku harus terlihat tegar, harus! Aku memberinya senyuman.

Sekuat apa pun aku berusaha membuka percakapan ringan untuk menutupi perasaanku yang sesungguhnya, tetapi mulutku terkunci di bawah tatapan Mata elang ini.

Aku menelungkup di atas meja dan memejamkan mata lalu aku mendengar dia bangkit, berjalan menjauh tidak lama kemudian terdengar lagu Nella Fantasia, langkah Kenny yang kembali duduk dan semua kembali sunyi, hanya suara Il Divo yang memenuhi ruangan.

…come le nuvole che volano pien' d'umanita in fondo all'anima…

Semua kenangan tentang kami kembali padaku, lagu yang dulu sering kami dengar bersama kini menjadi pemutar waktu.

Andai memang bisa kembali pada masa itu, tak akan kubiarkan perempuan itu merebut Ken dariku. Apakah aku punya cukup keberanian untuk melakukannya?

Aku menggelengkan kepala menyadari pikiranku yang melompat-lompat kacau.

Keheningan dipecahkan oleh suara batuk dari kamar mama. Aku bergegas menyeret kaki ke kamarnya.

"Mama…" seruku sambil menghambur dan memeluknya di atas pembaringan. Kucium wajah dan tangannya bertubi-tubi tanpa memberinya waktu untuk menyadari kehadiranku.

Kutatap matanya dan dua mata itu membalas menatap lekat.

"Tuan Allah… apakah ini mimpi lagi?" suara mama terdengar lemah dan ragu-ragu.

"Mama..." Aku memeluknya lebih erat dan merasakan tulang-tulang tubuhnya lantaran Mama sangat kurus.

Kenny datang mendekat.

Mata perempuan itu basah, dia menatap kami berganti-ganti.

"Tuan Allah mengabulkan doa mama, Laura pulang! anakku pulang" suaranya serak.

Perempuan tua itu menarik bajunya untuk mengusap air mata.

Disebutnya aku pulang.

Kami berpelukan dan bertangisan penuh haru di bawah tatapan Kenny yang melembut.

"Ah anakku, mama senang bisa melihatmu lagi sebelum aku mati, sudah lama kunantikan kamu."

"Mama jangan bicara begitu..." aku merasakan cinta pada kata-katanya sekaligus kesedihan.

Dia menggeleng dan air mukanya masih bersedih.

"Mama ingin melihat Laura langsung, maafkan kami ya nak… kami sudah melukaimu," katanya sambil mengusap wajahku.

Tangisku meledak mendengar permintaan maaf dari mama dan aku memeluknya lebih erat. Perpisahan itu menimbulkan luka bukan hanya pada diriku tetapi juga pada Fiona sahabatku dan sekarang aku tahu, mama juga mengalaminya. Aku menjadi paham alasan Kenny yang mendesakku untuk datang ke Kota Baru, sebelum ibunya meninggal. Mama ingin meminta maaf atas kesalahan anak laki-lakinya.

"Mama tidak punya salah, saya yang minta maaf karena tidak pernah ingat mengirim kabar atau menghubungi mama." Aku tidak ingin mama bersedih.

"Maafkan kami, maafkan Ken…" katanya.

Dari dulu Mama selalu begitu, dia terlalu memikirkan Kenny, memintakan maaf untuk dia, sementara Ken sendiri tidak pernah mengatakannya langsung. Dulu ketika aku bersselisih paham dengan Ken, mama juga yang meminta maaf.

Ah aku tidak mempermasalahkannya lagi. Bagiku semua sudah selesai.

Mama menyebut aku pulang bukan datang, suatu pilihan kata yang memberikan rasa berbeda dan membuatku merasa bukan orang asing lagi, berbeda dengan saat aku meninggalkan kota ini setelah pernikahan Fiona .

Aku semakin tersedu, dan terus melingkarkan tangan pada tubuhnya dan menciumi wajahnya, lehernya sedangkan tangan mama membelai punggungku.

"Anakku yang hilang sudah kembali, mama sangat rindu," ujarnya terbata-bata. Seperti biasa dia mendesis berdoa dan mengucap syukur.

"Sudah mama berbaring saja…" kataku saat merasa dia ingin bangkit dengan susah payah.

"Mama sekarang sudah tidak bisa apa-apa, kaki kanan sakit dan kaku juga tangan kanan ini," ujarnya dengan wajah mengernyit kesakitan. Aku merasakan kemanjaan dalam suaranya.

Tangannya ditegakkan dan diperlihatkan padaku. Dia pasti meratapi dirinya. Mama perempuan yang tegar, biasa bekerja di ladang, menanam, merawat tanaman dan memanennya dan terampil mengurus rumah. Tentu pedih baginya bila sekarang hanya bisa berbaring tanpa daya dan tanpa teman bicara.

Aku meraih tangan tersebut dan memijitnya. Jemarinya bengkok tidak terkendali dan keadaan itu pasti membuat dia tidak bisa memegang benda dengan jari-jari lagi.

"Mama jangan banyak pikiran, mama harus sehat dan nanti pesiar lagi ke ibukota," kataku. Dia tersenyum sangat manis, begitu pula matanya yang hitam.

Kenny menatapnya dengan lembut, ia mengusap kepala mama.

"Nah Laura sudah datang." Katanya dibalas anggukan kuat beberapa kali oleh mama.

Aku beringsut memberi ruang pada Kenny untuk berada di dekat ibunya sedangkan aku berada di dekat kaki dan memijit kaki perempuan itu sambil memperhatikan kemesraan ibu dan anak laki-lakinya.

"Laura… terima kasih anakku, terima kasih…" mama mengulang-ulang kata-kata itu dengan lemah.

Seperti teringat sesuatu tiba-tiba Kenny berbalik meninggalkan ruang dengan langkah lebar.

***