Pada saat Kenny menghentikan mobil di halaman rumah, aku merasa "pulang" setelah melakukan perjalanan jauh yang panjang. Benar-benar pulang, bukan seperti penumpang pesawat yang hilang itu, karena mereka tidak pernah lagi pulang.
Rumah Kenny tidak berubah kecuali terlihat cerah oleh cat yang baru.
Aku berdiri di depan rumah sambil menikmati angin yang berembus lembut dan terkenang pada Fiona, Cindy, Amy, Leo, John, dan Mama.
Seekor burung liar berkicau di atas pohon mangga, suaranya begitu indah dan membuat aku berdiri menatapnya. Beberapa sisa air hujan menetes dari daun-daun dan menimpa kepala kami, setetes air menetes di ujung hidung Kenny. Aku ingin mengusapnya .
Kenny membuka bagasi untuk menurunkan koporku, namun aku mencegahnya. Kukatakan padanya bahwa aku akan menginap di hotel terdekat.
"Mengapa? Kamu tidak sudi lagi menginap di rumah ini?" dia menatapku dengan pandangan bertanya. Tangannya tetap memegang koporku sementara aku menggeleng. Senyumnya menghilang, dan matanya meredup, hatiku pun menciut.
Sulit untuk berterus terang, tetapi aku ingin dia memahami kegelisahanku.
"Aku ehhh aku …tidak ingin merepotkan dan tidak ingin ribut dengan istrimu." Kataku pelan, memberi alasan sambil menunduk dan memandang ke tanah di antara empat kaki kami, aku ragu apakah dia mendengar kata-kataku.
Bukan hanya itu, akan terlalu berat bagiku berada satu atap dengan Kenny dan Marina, aku pasti tidak sanggup melihat kebahagiaan mereka.
"Apa??? Ribut dengan istriku?" seru Kenny membuatku terkejut .
Dia menatap dengan pandangan menyelidik.
"Jadi kamu…" Matanya sangat menusuk tetapi dia tidak melanjutkan kalimatnya .
Dia mendekat dan memandang langsung sehingga membuatku mundur selangkah.
Aku menengadah pada Kenny yang berdiri jangkung di depanku, tetapi terasa jauh dari jangkauan, seperti selama ini, sosoknya hadir bagaikan bayang bayang tidak pernah nyata.
Kulihat mulutnya terbuka, berusaha mengatakan sesuatu namun tidak sepatah kata yang keluar, kami berpandangan saja dan aku benar-benar menjadi semakin gelisah.
Dia tampak ragu-ragu untuk berkata dan hanya mengembuskan nafas.
"Nanti saja! Ayo masuk. Bilang mama bahwa kamu merindukannya, supaya mama senang."
Dia berbalik melangkah menuju rumah, dengan meninggalkan koporku, bahkan membiarkan penutup bagasi terbuka.
Kenny abai pada perasaanku, dia yang meminta aku datang tetapi kini dia mengatakan aku yang merindukan mama dan datang atas kemauan sendiri.
Belum hilang kekhawatiran untuk bertemu Marina kini aku menghadapi Kenny yang cuek. Aku mengejar dan menarik lengannya dengan kuat.
"Ken… tunggu!"
kakiku terasa berat untuk melangkah dan ujung-ujung jariku terasa dingin. Kutatap dia dengan memohon. Apakah dia bisa membantuku melewati kegelisahan ini.
Raung mesin pesawat yang akan lepas landas untuk melanjutkan perjalanan terbawa angin hingga ke tempat kami, gemuruhnya bak detak jantung yang bergema di kepalaku.
Pertengkaran dengan Marina dulu terngiang kembali. Kata-katanya yang menyatakan bahwa kehadiranku hanya menimbulkan kekacauan bagi mereka sekarang pun membuatku ingin menangis.
Ibu benar, aku tidak siap menghadapi kenyataan.
Sekarang hari Minggu, meskipun tidak melihat secara langsung aku merasa ada beberapa orang tetangga di beranda rumah mereka atau di halaman, dan pasti mereka melihat ke tempat kami. Aku belum siap untuk bertegur sapa dengan mereka yang mungkin kukenal, sehingga berpura-pura sibuk tidak melihat ke tempat lain.
"Takut apa? Aku bersamamu," Kenny menarik lenganku dan setengah menyeret membawaku memasuki rumahnya, melewati pintu dengan bingkai kayu jati bercat hijau. Setidaknya meringankan rasa khawatirku. Biarlah bila istrinya marah, aku memerlukan dukungan Kenny, bukankah dia yang memintaku datang. Kueratkan tanganku padanya, lebih tepatnya aku mencengkeram lengannya.
"Tanganmu dingin sekali" katanya sambil menatapku.
Aku membuang nafas dan mencengkeram lengannya sambil melangkah. Bersama Ken kurasa aku tidak perlu menjelaskan apa pun jika Marina nanti keberatan akan kehadiranku.
Rumah terasa sejuk dan gelap, aroma rempah-rempah yang hangat memenuhi ruang, suatu aroma nostalgia. Aku menghirupnya dan membuatku merasa sedikit tenang.
Rumah ini membangkitkan perasaan bahagia sebab aku merasa "kembali", menemukan benda-benda yang sangat kuhafal, meja kursi tamu yang terlihat tua namun terawat, hiasan dinding ada lukisanku, ada foto-foto dan ada foto pernikahan Ken dan Marina. Aku melihat benda baru, satu lemari buku dan sebuah keyboard dengan penutup kain tenun. Di dinding samping letak alat musik itu aku melihat satu bingkai foto yang tergantung, fotoku bersama mama dan Fiona, kami memakai busana tradisional. Foto tersebut dibikin saat kami hendak pergi ke gereja untuk pemberkatan pernikahan Fiona, sehari setelah aku mengetahui Kenny mengkhianatiku. Meskipun bibirku tersenyum, terlihat mataku yang kosong dan bersedih. Aku tidak suka melihat foto tersebut.
Kami terus melangkah menuju kamar tidur ibunya, dan tanganku masih berada dalam genggamannya yang menghangatkan.
Kenny menyingkap tirai di pintu kamar dan terlihat perempuan yang kurus sedang terbaring tidur. Tubuhnya sangat kurus.
Mama tidur pulas, nafasnya teratur dan terlihat dadanya yang turun naik.
Dari sini sumber aroma rempah-rempah itu. Terlihat aneka minyak gosok berderet di atas meja di sebelah pembaringan menebarkan bau cengkih, sereh, mint dan kulit jeruk dan lain sebagainya. Aku menghirupnya pelan-pelan dan hatiku merasakan kerinduan dan kesedihan sekaligus.
Tubuhnya yang kurus itu menggangguku, karena selama ini aku membayangkan sosoknya yang tegap dengan otot lengan dan kaki yang kuat karena banyak bekerja. Sekarang dia hanya perempuan tua yang terlihat rapuh. Rambutnya yang putih tidak bersemir, tipis memperlihatkan kulit kepala yang pucat. Aku tidak mengira hanya dalam lima tahun Mama banyak berubah.
Kusentuh lengannya pelan dan kurasakan ikatan batin dengannya, entah bagaimana, seperti anak ayam yang mendekat ke bawah sayap induknya. Aku ingin sekali menyusup di sampingnya tetapi mama terlalu pulas untuk bisa terbangun dengan sentuhan lembut itu. Air mataku mengalir deras merasakan kerinduan tetapi aku tidak tega untuk membangunkannya sehingga memberi isyarat pada Kenny untuk keluar kamar.
Kami melangkah dengan perlahan. Kenny mengarahkanku duduk di depan meja makan. Meja tua yang juga membawa kenangan bagiku.
"Mama kurus sekali. Sebenarnya sakit apa?" kudengar suaraku yang parau. Aku mencoba mengeringkan air mata dengan kedua tanganku.
"Penyakit orang tua, radang sendi dan tulang keropos, darah tinggi. Kompleks juga sakitnya orang tua. Sempat stroke setelah kehilangan bapak." Kata Ken dengan suara pelan.
"Oh…ya bapak sudah berpulang, Fiona mengabariku waktu itu," kataku.
Aku terkenang pria tua dengan mata yang tersembunyi di bawah tulang dahi, bapak yang dulu banyak bercerita dan memperkenalkan sejarah Kota Baru padaku, lebih dari referensi yang kubaca. Terbayang senyumnya yang sejuk dan suaranya yang halus. Pria yang dengan caranya sendiri telah mengajarkan nilai-nilai kehidupan pada keluarganya. Tanpa bapak, tidak mungkin Kenny berhasil menjadi guru kebanggaan keluarga dan juga Fiona yang berwawasan luas.
Bapak tidak banyak bicara tetapi sering menemani mama ke pasar, membawakan keranjang belanjaan yang berat, membantu mama mencuci alat-alat masak, sehingga semua kuali terlihat bersih cemerlang! Pasutri yang bahagia, mama yang bahagia.
"Ah kamu masih cengeng…" Kenny menatapku.
Dia mengangsurkan kotak tisu padaku.
Aku menggeleng menolaknya.
"Bapak orang yang baik, berbahagialah di surga…" kataku sambil menyeka mata dan pipi yang basah dengan punggung tanganku.
Kenny meletakkan kotak tisu, merogoh saku celana dan mengeluarkan sapu tangan kemudian mengulurkannya padaku. Aku menatapnya terpana.
"Aku masih simpan sapu tanganmu," kataku namun segera menyesalinya karena ucapan itu tidak pantas untuk disampaikan. Aku memang cengeng, sehingga beberapakali Kenny dulu memberikan saputangan saat aku menangis di depannya.
"Fiona cerita apa tentang aku?" tanya Kenny mengenai adik perempuannya yang bersahabat denganku.
"Nothing" jawabku spontan sambil menggeleng, karena kami memang tidak pernah membicarakan Kenny.
Kami saling menatap seperti saling menyihir, aku tahu bahwa aku masih mencintainya tetapi aku juga marah atas pengkhianatannya. Aku tidak akan membiarkan cinta mengendalikan diriku, aku tidak mau jatuh untuk kedua kalinya.
***