Chereads / Moonlight in Your Arms / Chapter 3 - semua kembali lagi

Chapter 3 - semua kembali lagi

Semua terjadi dengan cepat.

Tadi malam Kenny menelepon untuk memastikan bahwa aku benar-benar berangkat ke kotanya pada pagi ini. Bahkan pukul 3.30 dini hari dia mengirim pesan memintaku untuk memberi kabar saat transit di Pelabuhan Biru, dan aku mengirim teks pada hp Kenny sesaat sebelum masuk pesawat di Bandara Segara, tempat aku transit serta pindah pesawat.

Pesawat yang kutumpangi baru saja menembus gumpalan awan putih yang membuat lajunya sedikit berguncang-guncang ketika mulai menurunkan ketinggian untuk mendarat. Beberapa kali sudah aku mengalami peristiwa seperti ini, mendarat di Kota Baru yang senantiasa membuatku kagum pada alamnya. Telapak tanganku basah dan dingin, aku gelisah!

Bandara terlihat jauh lebih maju dari saat terakhir aku ke kota itu. Sisa air hujan menggenang tipis-tipis di beberapa permukaan aspal dan langit menyuguhkan panorama biru dengan awan-awan putih, kelabu, mirip lukisan Claude Monet. Kuhirup udara beraroma laut dan angin yang bertiup segar. Kota Baru terletak di tengah-tengah Pulau Bunga yang mempesona, menghadap teluk di Laut Dalam yang terlihat biru menyimpan banyak cerita hingga ke seberang cakrawala. Laut Jantan, orang-orang menyebut tempat ini. Gunung Puncak Datar menyambut kami. Gunung itu adalah tempatku mengadu di kala bersedih. Bentuknya yang menjulang kokoh seolah-olah memberi pesan bagi warga Kota Baru, "Jangan khawatir aku akan selalu menjagamu…" begitu rasanya terutama ketika kita berjalan memunggunginya. Aku merasa aman dan hatiku riang.

Dari jauh aku sudah melihat Kenny. Aku segera mengenalinya meskipun wajahnya tertutup oleh cambang dan jenggot. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya? satu-satunya pria yang kucintai.

Tubuhnya kurus, tetapi matanya tetap bersinar dan pandangannya setajam masa lalu. Mata elangku, dulu aku selalu menyebutnya seperti itu.

Kami bertukar senyum dan bertukar pandang, aku mengingat-ingat untuk tidak melupakan senti demi senti bagian wajahnya, atau bentuk rambut yang tumbuh di dahinya. Caranya menatap membuat aku merasa istimewa dan diperhatikan. Jantungku berdegub lebih cepat.

"Terima kasih sudah menjemput," aku mengulurkan tangan menyalaminya, berusaha terlihat riang.

"Kedinginan? Sebentar lagi udara panas Kota Baru akan menghangatkanmu." Katanya, masih menggenggam tanganku.

Aku berada di dalam ruang ber AC sejak dari mobil pukul empat pagi, di bandara dan di pesawat, tetapi tangan dan badanku juga menjadi dingin karena pertemuan ini. Aku tidak menjawab pertanyaannya melainkan merasakan kehangatan yang mengalir dari genggamannya.

"Capek? Pasti berangkat pagi pagi dari rumah ya?" Ia menyapa dengan hangat dan bibirnya tersenyum lebar, mengusir kegelisahanku.

Ken melepaskan genggamannya yang membuatku merasa kosong tiba-tiba. Dia mengambil alih koper kecil dari tanganku, sedangkan tangan kirinya meraih bahuku dan merapatkan tubuhku pada tubuhnya. Tapi aku mencoba mengingatkan diri sendiri. Kenny adalah suami orang lain, aku bukan pelakor!

Kami berjalan berdampingan dengan tangannya tetap melingkar di bahuku menuju ke tempat parkir dan sesekali dia bertegur sapa dengan mereka yang berpapasan dengan kami.

Perasaanku seperti diaduk-aduk, semua terasa kembali pada masa lalu.

"Tidak banyak yang berubah di sini… Laura juga tidak berubah meskipun rambutmu jadi pendek sekali," Kenny menjelaskan saat kendaraan yang dikemudikannya menyusuri jalan raya. Aku mencoba mengerti dengan menengok keluar jendela mobil, melihat kiri-kanan jalan dan arus lalu lintas yang lumayan padat. Tidak, sudah berubah, kau bukan lagi harapanku, batinku.

Kenny suka aku berambut panjang dan kemarin aku sengaja memangkas rambut sangat pendek karena aku tidak ingin membuatnya terkenang aku seperti masa lalu. Dia harus melihat Laura yang baru! yang tegar dan tidak lemah.

Lalu lintas lumayan padat sepeda motor berseliweran memadati jalan raya dan kini lebih banyak toko-toko baru juga hotel, di sepanjang jalan.

Seperti juga di kota-kota lain di negeri ini, kios yang menjual pulsa dan perlengkapan telepon selular mudah ditemukan.

"Kau lebih kurus dan tidak bercukur, tetapi tatapanmu masih sama," aku mengucapkannya dengan jujur. Dia mengirimkan lirikan dan senyum tipis.

Oh Tuhan!

Sosoknya, jari jemarinya, suaranya, tatapan matanya masih membuat hatiku berdebar-debar dan nafasku tertahan menyesak di dada. Semua itu pernah amat dekat bagai diriku sendiri, lalu setelah lama menjauh, kini seperti kembali padaku.

Lirikan matanya, senyumnya, sentuhannya, suaranya bahkan aroma tubuhnya, mengembalikan semua tentangnya ke dalam ingatanku.

Betapa aku ingin kembali ke masa-masa itu, memundurkan waktu dan menguncinya agar kebahagiaanku tetap di situ.

Damnd! I really love him.

Tanpa sadar aku pun menatapnya terus menerus.

Perjalanan waktu membuatku menerima keputusannya memilih perempuan lain sebagai suatu kenyataan yang harus kuhadapi.

Aku harus selalu ingat bahwa dia bukan Kenny Williams, kekasihku, melainkan suami dari perempuan lain.

Mobil berhenti di perempatan karena lampu merah. Gelombang itu datang kembali, semua yang pernah kualami di kota ini, kota tua yang romantis, tempat aku jatuh cinta padanya. Pemuda kampung ini. Kurasakan mataku menjadi hangat dan kucoba menahan agar air mataku tidak bergulir.

Kenny menengok padaku dengan tersenyum lebar, juga mata indah itu.

"Aku senang kamu datang!"

Aku mengangguk dan berusaha tersenyum, memikirkan alasan mengapa dia senang?

"Untuk mama!" kataku dengan suara tegas.

Sebenarnya kata kata ini untuk diri sendiri agar aku mengingat tujuanku datang bukan untuk bertemu dengan Kenny, tetapi menengok ibunya yang sakit.

"Untuk mama," Kenny mengulang kata-kataku.

Dia tertegun, pasti wajahku merah padam dan mata basah. Dia mengulurkan tangan untuk mengusap kepalaku seperti yang dulu sering dilakukan dan aku membiarkannya setitik airmataku bergulir.

Semua kembali, sentuhannya, senyumnya, tatapan matanya. Kenny-ku yang telah hilang, kini berada tepat di sampingku! Apakah aku masih bermimpi? Semuanya kembali!

Perasaanku tidak mampu membedakan kenyataan dan hal-hal semu. Tetapi aku merasa kosong ketika menyadari dia sudah menikah.

"Maaf, aku terbawa perasaan lama, aku cinta kota ini," kataku sambil menunduk.

"Tidak apa-apa, perasaan sering mempermainkan kita, kadang kita perlu melawan, tetapi kali ini sebaiknya kamu ikuti saja ya," suaranya yang ramah terdengar menenangkan. Mengapa dia bisa menjadi lembut begini?

Dia sudah berubah bukan lagi pria yang acuh, malah Kenny memberikan keramahtamahan yang terbuka.

Lampu berganti hijau dan Kenny melanjutkan mengemudi dengan wajah terlihat serius.

"Bagaimana kabarmu? Keluargamu?" tanyaku setelah berusaha mengendalikan diri.

Kubayangkan dia memiliki anak-anak seperti yang diinginkannya. Getir rasanya, karena kami pernah membahas keinginan tersebut.

Kini ada jarak di antara kami, ada seseorang yang sah secara hukum dan secara agama menjadi istrinya dan ibu dari anak-anaknya.

Kenny pasti mendengar pertanyaanku namun tidak menjawab melainkan hanya menatapku sekilas dan kusadari tatapan seperti itu tidak pernah membuatku berhenti mensyukurinya.

Aku melihat keluar jendela mobil, melihat lalu Lalang dan orang-orang, pemandangan yang bisa menghiburku. Ada toko bakery, salon kecantikan, toko busana, mini market, katedral, juga hotel baru.

Di kejauhan gunung-gunung yang mengepung kota masih terlihat angkuh, Gunung Pria, Gunung Runcing dan Gunung Meja. Kota ini dikurung gunung dan bertepi di teluk yang mengirimkan deburan ombak terus dan terus, seperti detak jantung yang tidak pernah berhenti. Awan putih melayang di bawah langit biru yang cerah, tidak pernah membuatku jemu mengkhayalkan bentuk-bentuknya yang berubah-ubah senantiasa.

Perasaanku datang bagai gelombang yang gemuruh dan deras memukul pantai, lagi dan lagi tiada henti…

Seperti cintaku yang terus menerus muncul tanpa dapat kuhentikan, tetapi aku harus memilih dengan bijak mana perasaan yang bisa kuungkapkan, mana yang harus kusimpan.

"Mama tinggal dengan siapa sekarang?" tanyaku mengganti topik percakapan.

"Denganku tentu saja."

Aku menjadi tidak tenang mendengar jawaban ini. Fiona adiknya pernah mengabari bahwa ayah mereka telah meninggal, mungkin tiga atau empat tahun yang lalu.

Sungguh naif aku tidak ingin bertemu dengan Marina, istri Kenny, tetapi Mama tinggal Bersama mereka.

***