"Hidup normal adalah rutinitas yang membosankan."
_________
Hari ini tak ada jadwal latihan memanah jadi aku bisa duduk di bangku mulai pagi sampai sore hari. Bila dirasa memang membosankan tapi aku menikmatinya karena jarang sekali aku bisa merasakan hidup normal yang membosankan ini. Bila di pikir-pikir, hidup normal itu membosankan dan yang seru adalah saat hidup sedikit tak mentaati aturan. Terdengar seperti anak bandel tapi sebenarnya aku anak yang lurus-lurus saja namun banyak menilai jika aku penuh dengan tindakan tak terduga. Ya, suka-suka mereka sajalah. Aku tak mau ambil pusing dengan pendapat orang lain tentang diriku.
Jika kalian penasaran dengan Jae-Hwo, dia sekarang sedang sibuk berkomat-kamit menghafalkan rumus matematika jadi aku tak perlu khawatir akan sifat jailnya itu. Jam peralihan seperti ini, jika tak digunakan untuk menyalin pekerjaan rumah ya untuk bergosip. Sayangnya aku sedang malas untuk bergosip karena tidak ada yang menarik tentang gosip hari ini.
"Roosevelt, membosankan bukan berada di dalam kelas!" Aku menoleh ke arah teman cowok yang terkenal arogan di sekolah ini. Dia sering sekali mengajak ku untuk berinteraksi sosial tiap kali aku berada di dalam kelas mau pun luar kelas. Sangat sok akrab seperti kita ini best friends forever till the end.
Aku mengembuskan napas. "Ya, apalagi melihat wajah mu seperti ini. Sangat membosankan!" Semua yang berada di dalam kelas yang tadi ribut tiba-tiba terdiam.
Tidak, mereka tak terdiam karena perkataan ku barusan tapi karena Jae-Hwo baru saja bersin. Semua melihat Jae-Hwo termasuk aku. Tak ada yang aneh sih akan suara bersin Jae-Hwo hanya saja suara bersinarnya seperti suara anak kucing. Anehnya suara bersin itu pelan tapi dapat membuat telinga seluruh kelas tertuju padanya.
"Apa dia anak kucing?" goda Belva pada Jae-Hwo dan sontak saja, Belva mendapatkan tatapan tajam dari penggemar dadakan Jae-Hwo.
"Dia bukan anak kucing karena dia takut kucing!" sangah ku dan aku menyesal telah mengatakannya karena Jae-Hwo yang tadi fokus menghafal rumus kini berdiri dari duduknya dengan menatap ku tajam.
Tentu saja aku tidak takut dengan tatapan itu. Jujur saja, tatapan mata ku jauh lebih menyeramkan daripada tatapan mata Jae-Hwo. Bahkan, lawan saja pernah takut saat aku tak sengaja menatap matanya dan akhirnya permainan lawan tersebut kalah karena takut akan tatapan mata ku
"Roosevelt!" teriak kak Juno dari balik pintu kelas dan sepertinya yang bernama Roosevelt tidak hanya aku melainkan seluruh manusia yang berada di dalam kelas ini.
Kak Juno tersenyum saat aku melihatnya. "Baca pesan ku!" Kemudian dia pergi setelah aku mengangguk.
"Apa kamu memiliki hubungan istimewa dengan dia?" tanya teman sekelas yang arogan. Oh ya, namanya Arsel bukan parcel atau pun pascal.
"Oh oh, apa Roos sudah move on dari Axelle?" goda Darin dan ingin rasanya ku tonjok dia karena membawa nama Axelle meski tak salah juga sih pertanyaannya tapi tetap saja hati ku ngilu.
"Berhenti bergosip, guru matematika sebentar lagi masuk ke kelas!" kata Jae-Hwo yang entah sejak kapan dia keluar kelas karena posisinya sekarang berada di depan pintu kelas.
Saat dia melewati ku, dia melirik ku sejenak kemudian melanjutkan jalannya dan duduk di belakang ku, tukar posisi dengan Agnes. Aku curiga, dia sepertinya mendengar apa yang Derin tanyakan tadi atau dia sudah mendengar apa yang Arsel tanyakan pada ku sehingga dia terlihat begitu kesal. Tapi, kenapa dia kesal. Kan aku gak punya urusan apa pun sama dia. Apa karena dia takut aku mengalami hal yang sama seperti yang telah Axelle lakukan pada ku. Atau, dia kesal karena tak tau apa pun tentang kehidupan ku karena aku tak pernah cerita padanya. Ya, sepertinya dugaan terakhir yang benar.
Hampir saja aku lupa akan apa yang kak Juno suruh tadi. Aku pun mengambil ponsel ku dan membuka WhatsApp untuk melihat chat dari kak Juno. Bibir ku tersenyum karena kak Juno menyuruh ku untuk melihat ekstrakulikuler basket nanti sore karena ada yang mau dia titipkan untuk kak Lovelace. Ah, kak Juno adalah adik dari kekasih kak Lovelace jadi ya kami cukup akrab.
Hampir saja jantung ku copot saat tangan mulus Jae-Hwo merebut ponsel ku lalu mematikanya dan mengantongi ponsel ku. "Apa sudah gila?" omel ku padanya.
"Hey, Jae-Hwo jangan kasar pada Roosevelt!" teriak Arsel dan cowok itu berdiri dari duduknya namun deheman dari guru matematika yang baru saja masuk menghentikan pergerakan Arsel.
*.*.*.*
Pukul tiga sore kelas berakhir. Aku bergegas untuk menuju lapangan basket karena akan menemui kak Juno. Sebelum itu, aku menagkap sosok Jae-Hwo yang bergegas keluar kelas setelah mengembalikan ponsel ku kembali tanpa bicara sepatah pun sambil setengah berlari. Tak mengapa karena ini lebih baik daripada aku berdebat dengannya.
Saat berjalan menuju gedung basket, aku bertemu dengan kakak kelas cewek yang minta nomor ponsel Jae-Hwo dan aku pun mengatakan bahwa Jae-Hwo lebih suka bila meminta nomor ponselnya secara langsung tidak melalui perantara. Lagian, aku juga tak punya nomor ponsel Jae-Hwo karena dia tak pernah memberikan nomor ponselnya begitu pula dengan diriku.
"Kak Juno!" teriak ku pada kak Juno yang akan memasuki gedung basket dengan menenteng tas olahraga berwana biru tua. Sama persis dengan tas olahraga milik ku karena hadiah dari kakaknya kak Juno selaku kekasih kak Lovelace. Alasannya agar kami menjadi akrab.
"Tunggu sebentar!" ucap kak Juno ketika aku sudah berada di depannya. Dia merogoh tas olahraganya untuk mengambil sesuatu. "Ibu nitip ini buat kak Lovelace dan biar lebih cepat sampai nitip kamu aja karena kak Lovelace dan kak Gama sama-sama sibuk kerja minggu ini jadi susah ketemu." Kak Juno memberikan paper bag kecil pada ku dan aku menerimanya lalu memasukkannya ke dalam tas ransel ku.
"Nitip terima kasih buat ibu kamu!" ucap ku pada kak Juno dan dia hanya mengangguk.
"Okay, aku ekstra dulu kalo gitu!"
Aku pun mengangguk kemudian berbalik arah untuk berjalan menuju lorong yang mengarah pada pintu keluar gedung sekolah.
Kaki ku tak jadi melangkah keluar gedung sekolah, malah pergi menuju perpustakaan karena aku ingat bila ada tugas biologi. Aku butuh referensi buku untuk untuk menyelesaikan tugas tersebut.
Perpustakaan sekolah akan tutup pada pukul lima sore karena sepulang sekolah masih ada beberapa murid yang mengunjungi perpustakaan. Termasuk diri ku saat ini. Aku mencari buku biologi yang bisa ku jadikan sebagai referensi untuk mengerjakan tugas. Setelah mendapatkan satu buku biologi, aku duduk di salah satu bangku yang khusus untuk satu orang. Aku mau sendirian tanpa gangguan dari orang lain.
Setengah jam aku mengerjakan tugas biologi dan tak terasa hampir pukul lima sore. Beruntungnya tugas sudah selesai sehingga aku tak perlu susah payah begadang untuk mengerjakan tugas. Aku membereskan buku dan peralatan tulis milik ku kemudian mengembalikan buku pada rak sebelumnya.
Baru saja keluar dari perpustakaan, ponsel ku bergetar dan ada panggilan masuk dari Loretta. Aku mengakat panggilan dari Loretta dan alangkah terkejutnya aku saat mendengar kabar bahwa Jae-Hwo dan Axelle berkelahi di taman dekat tempat kursus tata rias Loretta.
Aku bergegas berlari setelah menutup ponsel dan memasukkan ponsel pada kantok rok sekolah.
Mereka berdua teman ku dan aku tak akan membiarkan mereka berkelahi karena itu akan menyakiti tubuh mereka. Terlebih, Loretta bilang jika Jae-Hwo menyebut-nyebut nama ku dan aku yakin jika ini karena aku. Ya, Jae-Hwo melakukan ini untuk menghukum kejahatan Axelle karena telah menyakiti diri ku.
To be continued.