"Terkadang ada sebuah rahasia yang harus dijaga dan tak bersikap melewati batas."
__________
Setelah sesi perkenalan, pak Handoko meminta Jae-Hwo untuk menunjukkan kemampuannya. Cowok itu pun terlihat senang sekaligus tenang ketika berdiri sembari pandangannya fokus terkunci ke arah face board. Ini kali pertama aku melihat Jae-Hwo serius seperti ini. Seakan ia tengah bersiap untuk melesatkan anak panah itu pada jantung seseorang yang begitu ia benci. Sinar matanya terlihat mengelap dan anak panah itu melesat tepat pada angka sepuluh. Ia mengembuskan napas dan mengerakkan lengan kanannya sehingga menimbulkan bunyi krek.
Semua anggota panahan menyaksikan permain Jae-Hwo dan aku yakin mereka memberikan penilain di hati mereka untuk permainan Jae-Hwo ini. Terutama, dia. Atlit memanah laki-laki idola para dewan guru dan beberapa siswi. Namanya Arthur, dia begitu memperhatikan Jae-Hwo seakan mempelajari teknik permainan Jae-Hwo. Sangat sulit untuk mengimbangi permainan Arthur dan rasanya mustahil bisa mengikuti jejak Arthur menjadi pemain timnas.
Anak panah kedua berhasil mengenai angka sepuluh lagi dan aku tak terkejut akan kemampuan Jae-Hwo ini karena dia sudah terbiasa berlatih memanah selama sepuluh jam saat di sekolahnya dulu. Ya, So Young yang menceritakannya karena cowok itu tak pernah berkirim pesan tentang kehidupannya melainkan menanyakan tentang kehidupan ku. Seakan, hidup ku penting saja baginya.
"Satu anak panah lagi!" teriak pak Handoko semangat sembari bertepuk tangan dan kami pun ikut bertepuk tangan.
Jae-Hwo membuat pak Handoko tepuk tangan dengan keras setelah anak panah ke tiga mengenai angka sepuluh. Suara tepuk tangan ku dan juga yang lainya ikut menyusul, termasuk Arthur. Cowok itu tersenyum dan aku tak tau apa arti senyuman itu karena terlihat berbeda.
"Hebat, Song Jae-Hwo!" Pak Handoko menghampiri Jae-Hwo dengan menepuk-nepuk pundak Jae-Hwo bangga sedangkan Jae-Hwo tersenyum dan mengumkan ucapan terima kasih.
"Sejak kapan kamu mulai berlatih panahan?" tanya pak Handoko dan aku yakin teman yang lain juga penasaran.
"Sejak seminggu saya tinggal di Seoul!" jawabnya dan aku melihat sorot matanya seperti memancarkan sinar kesedihan. Kesedihan akan sesuatu yang selama ini ia pendam seorang diri.
Kenapa aku jadi suka menerka-nerka seperti ini.
"Saat itu usia kamu berapa tahun?" tanya pak Handoko padanya tapi mengapa aku malah tertarik untuk menjawabnya.
"Dua belas tahun!" jawab ku karena aku masih ingat akan perpisahan ku dengan Jae-Hwo dan So Young kala itu. Perpisahan yang membuat ku merasa sedih sekaligus lega. Rasanya sama seperti yang aku rasakan saat ini hanya saja bertambah dengan rasa kesal.
"Ah, kalian memang tetangga yang akur!"
Aku menatap pak Handoko dengan senyum aneh kemudian aku beralih melihat Jae-Hwo yang menatap ku senang. Aku rasa dia mulai percaya diri lagi sekarang akan keakraban kita sebagai tetangga padahal, kita tak terlalu akrab dan dekat karena kita punya batas akan pertemanan kita. Bukan pertemanan tapi pertentangan maksud ku.
"Berarti yang mengenal pahanan sejak usia di bawah sepuluh tahun adalah Roosevelt dan Arthur." Kata pak Handoko kemudian beliau melanjutkan perkataannya. "Hanya saja, Roosevelt memiliki semangat yang kurang dan kemampuannya melambat untuk tumbuh. Seharusnya, kamu---" Pak Handoko menunjuk ku. "Penuh semangat seperti Arthur agar bisa menemani Arthur di timnas. Kemampuan kamu itu bisa bertumbuh seperti yang lainnya. Bapak harap, kehadiran Jae-Hwo akan membantu kamu untuk bersemangat!"
Kini pak Handoko melihat Arthur. "Kamu jangan bangga terlalu cepat Arthur. Meski kamu pemain timnas dan jarang berlatih di sini lagi, jangan kamu kira saya tidak tau jika proges kamu menurun."
Bagi seorang atlit di marahi di hadapan atlit lain adalah hal biasa untuk melatih mental serta menumbuhkan kekuatan pada diri agar lebih berusaha dengan keras lagi. Meski begitu, hati terasa sakit tapi tak mengapa karena rasa sakit ini hanya sementara.
Terkadang, para atlit panahan membicarakan ku yang terlihat mendapatkan perhatian khusus dari pak Handoko serta, pak Handoko menaruh harapan lebih pada ku. Saat di turnamen panahan, pak Handoko seperti pelatih pribadi ku dan Arthur. Perlakuan khususnya itu sangat kentara dan menimbulkan pertanyaan di mata wali murid serta dewan guru. Namun pak Handoko dapat mengatasinya dengan alasan bahwa aku dan Arthur lebih kompeten di banding yang lainnya.
Padahal, setiap kami berlatih, pak Handoko selalu menilai permainan ku dan Arthur susah untuk tumbuh menjadi lebih baik. Jadi, aku dan Arthur harus berusaha sangat keras lagi.
*.*.*.*
Menurut ku, panahan adalah olahraga yang dapat menyembuhkan segala penyakit hati namun menumbuhkan kerisauan dalam otak dan membuat ku cemas akan segala kemungkinan. Seperti saat ini, aku melesatkan anak-anak panah menuju face board dan sudah dua puluh anak panah yang menancap namun tak ada satu pun yang mengenai angka sepuluh. Aku sadar, kemampuan ku memang menurun dan semangat ku mulai pudar karena ada hal lain yang menarik hati ku selain panahan. Aku ingin menari seperti ikan hias yang berenang dalam air tapi terlihat seperti menari-nari dalam air.
Konsentrasi ku pecah dan pak Handoko menghampiri ku lalu berdehem. "Fokus, fokus Roosevelt!"
Aku membuang napas berat lalu meminta maaf pada pak Handoko.
"Saya gak butuh permintaan maaf, saya hanya butuh kamu konsentrasi dan bersemangat!"
Aku mengangguk lalu berlatih lagi dan sebelum fokus pada face board, aku tak sengaja menoleh ke arah Arthur yang melihat ku. Dia tersenyum dan mengucapkan semangat untuk ku dan aku pun membalasnya dengan tersenyum.
Hubungan ku dengan Arthur sangat baik karena kami sudah mengenal akrab sejak pertama aku masuk dalam jajaran tim panahan sekolah. Sebelumnya, aku mengikuti ekstrakurikuler panahan sedangkan Arthur, dia langsung masuk tim pahanan sekolah karena seorang atlit panahan. Ketika para senior dan atlit lain tak menyukai ku karena mendapatkan perhatian lebih dari pak Handoko, Arthur yang berada di sisi ku sebagai teman. Namun aku kehilangan sosoknya saat dia menjadi pemain timnas dan jarang berada di sekolah karena tinggal di mes pelatihan timnas panahan.
"Roosevelt, break time dulu yuk!" ajak Arthur dan aku pun mengangguk.
Tenggorokan ku terasa sangat kering sampai air mineral yang ku minum dapat membuat suasana hati ku membaik.
Aku dan Arthur duduk di atas lantai dengan menselonjorkan kaki. Ini adalah kebiasaan kami saat break time sembari minum air mineral dan mengobrol.
"Bagaimana pelatihan di sana?" tanya ku terlebih dulu dan ini adalah pertanyaan tetap yang selalu ku tanyakan padanya.
"Seperti biasanya, penuh semangat dan target medali!" jawabnya selalu begitu.
Pertanyaan yang sama akan di jawab dengan jawaban yang sama pula.
"Sepertinya, Jae-Hwo akan ikut seleksi pemain timnas karena dia warga negara Indonesia."
Kenapa aku tak berpikiran sampai sejauh pemikiran Arthur barusan ya. Mungkin, kembalinya Jae-Hwo kemari karena ingin bergabung pada timnas panahan. Cukup menarik jika benar begitu karena kemampuan Jae-Hwo tak buruk. Tapi, kemarin Jae-Hwo bilang jika dia kembali kemari karena warisan.
"Entalah!" respon ku karena aku tak mungkin mengatakan apa yang aku pikirkan barusan pada Arthur.
"Aku menantikan kita berada di timnas bersama!" Arthur selalu mengatakannya dan aku tau, ini adalah caranya untuk menghibur ku.
Aku menatap Arthur. "Setiap kali kita mengobrol, kita selalu mengatakan kalimat yang sama seakan kosa kata kita hanya ini-ini saja!"
Arthur menoleh ke arah ku dan dia tertawa. "Apa karena kita atlit?" tanyanya di sela tawanya.
"Jangan menjadikan seorang atlit sebagai alasan!" Ini adalah kalimat yang pernah dikatakan oleh guru bahasa Indonesia kami saat kami telat mengumpulkan tugas bahasa Indonesia.
Kami beda kelas namun guru bahasa Indonesia kami sama dan tugas kami juga sama.
"Jae-Hwo, nama absensi kamu Jae-Hwo Tamawijaya bukan Song Jae-Hwo!"
Pandangan ku dan Arthur beralih ke pak Handoko yang memegang lembar data diri.
Mari aku jelaskan, nama asli dan sesuai dengan akte kelahiran Jae-Hwo adalah Jae-Hwo Tamawijaya sedangkan Song Jae-Hwo adalah nama keduanya dan dia lebih suka menggunakan nama Song daripada Tamawijaya karena sebuah alasan yang tak dapat ku ceritakan sekarang.
"Kamu cucu Brotoseno Tamawijaya?'' tanya pak Handoko dan ini akan membuat Jae-Hwo merasa de'javu.
Jae-Hwo mengangguk dan aku harap pak Handoko tak bertanya lebih akan alasan Jae-Hwo lebih menggunakan nama Song Jae-Hwo di banding Jae-Hwo Tamawijaya.
"Baiklah, di tes nanti kamu sebagai Song Jae-Hwo, sama seperti nama kamu saat mengikuti olimpiade di Seoul dulu!"
Aku bernapas lega karena pak Handoko tau batas dan tak menanyakan apa pun lagi. Tapi aku dapat melihat raut penasaran dari teman-teman tentang siapa itu Brotoseno Tamawijaya. Ah, kenapa aku jadi ikut deg-deg dan bisa makin tak fokus aku.
"Pak Handoko tau batas dengan Jae-Hwo tapi tidak dengan kita berdua!" keluh Arthur dan aku menaggapinya dengan tersenyum keki karena pak Handoko memang seperti itu.
"Kalian berdua, jangan malas-malasan!" teriak pak Handoko pada kami dan kami pun langsung sigap untuk berdiri dan kembali berlatih lagi.
To be continued.