"Perasaan yang kering layaknya bunga pemberiannya tak akan pernah kembali segar bila berharap pada orang yang sama."
_________
"Apa kamu senang?"
"Ya!"
Aku memikirkan percakapan singkat dengan Axelle kemarin malam setelah perkelahiannya dengan Jae-Hwo. Awalnya aku ragu untuk mengangkat panggilan itu namun setelah panggilan kedua, aku mengangkatnya dan dia langsung menanyakan pertanyaan itu padaku. Jelas saja aku jujur dengan perasaan ku yang senang karena Jae-Hwo memukulnya tanpa kuminta. Setelah menjawab singkat, aku mematikan sambungan meski samar aku mendengar Axelle akan mengatakan sesuatu. Aku sempat menunggunya untuk menelpon lagi namun dia tak menelpon jadi, yasudah.
Perasaan ku untuk Axelle setelah dia berkhianat, rasanya telah kering saat itu juga. Seperti bunga-bunga sepatu yang pernah ia berikan padaku dulu. Hati ku enggan mencari tau, apa alasan Axelle selingkuh karena tidak ada pembenaran alasan soal perselingkuhan. Selama ini aku engan untuk menembak-nebak juga karena aku takut, takut akan tebakan ku sendiri. Mungkin aku terlalu pengecut untuk mengetahui segala alasan Axelle selingkuh karena bila aku tau, maka aku akan menjadi rendah diri dan kehilangan kepercayaan diri. Jadi, biarkanlah seperti ini.
"Apa yang menggangu kamu?"
Hampir saja aku melemparkan sushi pemberian Arthur sembarang arah saat suara Jae-Hwo mengagetkanku.
"Kamu!" jawab ku ketus kemudian memakan sushi yang ukurannya sepanjang ibu jari ku dan selebar tiga jari ku bila di satukan.
"Apa kamu melamunkan ku?" tanyanya dengan nada percaya diri yang membuat ku ingin memuntahkan sushi namun sayang bila ku muntahkan karena rasanya enak.
Aku melahap sushi lagi kemudian mengunyahnya sembari merasakan betapa enaknya makanan asal Jepang ini. Arthur tak pernah salah bila memberikan sedekah makanan karena makanan yang Arthur berikan rasanya tak pernah menodai mulut dan juga perut ku, justru memanjakannya. Saking asiknya sampai suapan ketiga aku masih mengabaikan Jae-Hwo karena aku takut bila sushi ini di ambil oleh Jae-Hwo karena Arthur hanya memberiku tiga sushi sedangkan yang lainnya, ia berikan kepada pak Rahmat tukang kebun sekolah. Ya, Arthur dan pak Rahmat memang dekat karena ayah pak Rahmat dulu pernah bekerja pada keluarga kakek Arthur.
"Aku sarankan agar kamu menulis nomor ponsel kamu di mading sekolah agar para cewek di sekolah tak mengejarku hanya untuk minta nomor ponsel kamu." Selagi ingat, aku mengatakan ide ajaib ku barusan dan sekaligus mengalihkan pembicaraan.
"Jadi karena masalah itu kamu sampai melamun?" tanyanya dan tepat sasaran.
Aku mengangguk kemudian menyendok bekal makan siang ku yang di bawakan oleh ibu dan kali ini masakan kak Lovelace. Dia sengaja masak sarapan untuk keperluan konten reels bersama Loretta. Uh, dua saudari ku itu memang sangat aktif di Instagram dan memiliki banyak pengikut sedangkan aku, tidak. Sesekali saat bosan aku akan bermain Instagram dan hanya penikmat konten bukan kreator seperti kedua saudariku. Berbicara tentang konten, kenapa aku tak menyuruh Jae-Hwo untuk bergabung dengan kedua saudariku saja sebagai kreator.
"Jae-Hwo, aku punya ide bagus agar para cewek tak meminta nomor ponsel mu!" Aku melambaikan tangan pada Jae-Hwo agar dia mendekat ke arah ku dan untungnya dia menurut.
"Jadilah kreator media sosial seperti kak Lovelace dan Loretta. Jika kamu aktif membuat konten di Instagram, maka para cewek akan fokus pada konten yang kamu buat di Instagram dan bilang saja jika mereka bisa mengirim pesan di Instagram dan kamu akan membalas secara acak!" Aku mengatakannya dengan sangat serius pada Jae-Hwo sembari menatap wajah Jae-Hwo meyakinkan.
Pletak,
"Auw ...." keluh ku saat aku merasakan seseorang menyentil dahi ku dan bukan Jae-Hwo tersangkanya melainkan Arthur.
Jae-Hwo menatap Arthur tak terima karena cowok itu menyentil dahi ku.
"Dia pernah menyarankan cara itu pada ku dan apa yang terjadi, para cewek semakin mengila dan terus melakukan spam di Instagram." Cerita Arthur pada Jae-Hwo dan ya, Arthur adalah korban kedua yang aku berikan tips barusan setelah Axelle. Dan mereka menurut saja.
"Karena tips itu kamu punya banyak penggemar dan mendapatkan endorsment, kan?" Sok terusik sekali padahal dia mendapatkan keuntungan dari tips ku itu.
Lihatlah, Arthur membeku dan aku yakin dia tengah merangkai kata namun pada akhirnya tak terucapkan. "Fine, it's work for my income and thank you my good friends!" Aku bilang juga apa, dia tak bisa membantah dan mengucapkan terima kasih.
"So, bagaimana Jae-Hwo?" Kini aku menatap Jae-Hwo yang terlihat sangat datar bak tembok kantor kepala sekolah.
"Wajah kalian itu mendatangkan rezeki dan aset bangsa!" kata ku pada mereka berdua kemudian aku menunjuk Jae-Hwo yang duduk di samping ku. "Jangan sia-siakan ide dari ku karena bukti nyata dari ide ku barusan memberikan testimoni."
Aku membereskan kotak makan serta botol Tupperware ke dalam paper bag karena jam istirahat sebentar lagi akan usai.
Aku menepuk bahu Jae-Hwo kemudian berdiri dan menepuk bahu Arthur. "Sampai bertemu di gedung panahan para aset bangsa!" Aku pun berjalan seolah tengah melayang sembari menenteng paper bag dan sampah bekas wadah sushi.
"Apa dia sudah gila sejak kecil?" tanya Arthur pada Jae-Hwo.
"Aku dapat mendengarnya!" teriak ku lalu cekikikan.
*.*.*.*
Meregangkan otot-otot yang lelah setelah latihan adalah hal yang melegakan, terlebih bila sampai menimbulkan bunyi kretek. Ah, rasanya capek yang bergelayut di otot hilang sejenak. Yang paling meresahkan adalah otot leher karena terasa sangat kaku setelah latihan memanah. Ingin rasanya membeli sesuatu yang dapat melegakan leher.
Membasuh muka di wastafel ruang ganti menjadi kebiasaan ku setiap usai latihan. Tak hanya itu, aku juga membasuh kedua ketek ku agar tak terlalu bau. Apa yang aku lakukan ini selalu menyita perhatian para teman perempuan yang berada di ruang ganti. "Jangan mencoba untuk merekam ku dalam keadaan seperti ini karena itu termasuk tindakan pornografi dan kejahatan elektronik!" Aku selalu mengatakan ini pada mereka karena aku tak percaya saja pada mereka. Teringat akan mereka yang tak menyukai ku karena pak Handoko.
Awas saja bila mereka merekam ku dan menyebarkan vidio tersebut, atau pun memoternya maka aku tak akan pernah tinggal diam sembari menangis. Aku akan menemukan pelakunya dan menjambak rambut pelakunya sampai rontok lalu menuntutnya. Aku tidak main-main untuk ini.
"Jangan memotret!" tegur ku saat aku melihat mereka asik memotert sesuatu dan aku langsung saja berburuk sangka.
"Geer banget jadi orang! Kita foto sendiri kali!" sewot adik kelas yang tidak tau sopan santun.
Awal mula adik kelas tim panahan tak suka padaku karena para senior dan juga teman seangkatan. Mereka adik kelas ikut-ikutan tak menyukai ku. Padahal, aku sudah berulang kali introspeksi diri tentang apa kesalahan ku. Ternyata, kesalahan ada di mereka karena terlalu iri padaku yang di anak emaskan oleh pak Handoko.
"Oh!" respon ku lalu mengambil tas olahraga ku setelah selesai mengenakan kaos oblong lalu melengos meninggalkan ruang ganti.
"Menyebalkan! Mereka pikir, semua ini kemauan ku! Tentu saja tidak!" Aku mendumel sendiri setelah membanting pintu ruang ganti dan suara umpatan dari dalam ruang ganti terdengar.
Arthur dan Jae-Hwo menghampiri ku dan mereka berdua terlihat akur. Senang melihatnya dan semoga saja mereka dapat berteman dengan baik, sebaik pertemanan ku dengan Arthur.
"Butuh tumpangan untuk pulang?" tawar Arthur pada ku dan Jae-Hwo.
"Boncengan tiga?" tanyaku.
"Why not!" jawab Arthur dengan mengidikan bahunya.
"Sinting!" umpatku dan mendapatkan respon tawa dari Arthur dan Jae-Hwo.
Bisa-bisanya kita boncengan bertiga, membayangkannya saja membuat ku ingin memukul kepalaku karena terlalu mengelikan.
To be continued.