Chereads / Mr. Lipstik's / Chapter 19 - Tidak Mengenali Diri Sendiri

Chapter 19 - Tidak Mengenali Diri Sendiri

"Tidak semua orang bisa mengenali dirinya sendiri dengan mudah karena mengenali diri sama dengan membutuhkan waktu bertahun-tahun sampai yakin akan diri sendiri."

________

Aku melihat lembaran yang barusan di bagikan oleh ketua kelas kepada ku. Lembaran yang wajib untuk di isi kemudian lembaran ini akan di bawah ke ruang konseling saat nama kami di panggil nanti. Kami akan di tanyai serta di berikan masukan oleh guru konseling tentang pendidikan lanjutan dan cita-cita kami nanti. Jujur saja aku sangat bingung karena aku tidak tau, apa bakat ku yang sebenarnya. Tolong jangan katakan bahwa bakat ku adalah memanah karena aku tak sehebat itu. Sungguh. Memanah hanya ku lakukan agar ada kerjaan dan membuat ibu bangga, itu saja. Tidak lebih dari itu.

Suara detak arloji pemberian ayah terdengar karena kelas yang mendadak sunyi karena guru kimia baru saja memasuki ruang kelas. Jika guru kimia meminta kami tetap berada dalam kelas hanya ada satu kemungkinan, yaitu ulangan harian dadakan. Hal yang ku benci adalah ulangan harian dadakan maka dari itu, aku selalu menghitung setiap pertemuan dengan para guru mapel agar bisa menebak kapan ulangan harian dadakan di adakan. Meski aku jarang masuk kelas, aku punya cctv yang dapat kutanyai, yaitu Derin.

"Hari ini kita ulangan harian sebagai penentu apa materi kemarin benar-benar masuk di otak kalian atau hanya angin lalu!" Guru kimia memberikan selembar kertas berisi soal ulangan harian pada kami dan beruntungnya aku sudah belajar semalam meski saat materi berlangsung kemarin, aku ada sesi latihan.

Kedua mata ku menatap kertas berisi sepuluh soal namun bisa-bisa otak ku akan meloncat keluar saat jam kimia berakhir. Ini semua soal tentang praktikum kemarin dan bagaimana aku bisa menjawabnya. Ah, ini tidak adil untuk ku dan para atlit sekolah lainya. Jadi, jangan ditanya bila nilai para atlit sekolah banyak yang jelek. Ternyata benar, kita tidak bisa menguasai banyak bidang secara bersamaan.

"Jika kalian kemarin serius belajar saat praktikum, kalian tidak akan kesulitan!" Lantas bagaimana dengan diriku yang tak ikut praktikum. Akan ku jawab apa soal-soal ini. Mengarang bebas tentu saja tidak bisa dilakukan untuk pelajaran ilmu pasti seperti ini.

Aku pun pasrah dan mengangkat tangan ku ke atas dan langsung mendapatkan perhatian dari guru kimia. "Bagaimana dengan para atlit yang tidak ikut praktikum kemarin?" tanya ku dengan sangat memberanikan diri.

Guru kimia menatap ku tajam kemudian mengintari pandangannya ke seluruh kelas. "Siapa saja atlit yang tidak ikut praktikum kemarin?" tanyanya dan beberapa teman sekelas yang juga seorang atlit pun angkat tangan.

"Lima anak!" ucap guru kimia dengan tampang yang sangat mencurigakan. "Kalo begitu, kalian berlima bisa membaca bab sebelas dan akan saya tanyai tentang beberapa hal dalam bab tersebut. Sebagai ganti nilai praktikum dan ulangan harian," guru kimia menjeda sejenak, "Sekarang baca bab sebelas di perpustakaan dan temui saya sepulang sekolah nanti di ruang guru!"

Rasanya ingin sekarat saat ini juga. Kenapa guru kimia yang masih muda ini begitu menyebalkan. Bayangkan, kami harus menghafal satu bab dan itu sangat sulit untuk di ingat dalam waktu sesingkat ini. Tanpa bantahan, kami berlima membawa buku kimia dan tas kami untuk pergi ke perpustakaan karena takut bila protes akan mendapatkan lebih banyak lagi tugas.

"Bukankah ini keterlaluan?" tanya Sevin, atlit bola voli pantai sekolah dan hubungan ku dengan dia cukup baik karena kami sama-sama atlit sekolah jadi senasib bila berada di dalam kelas.

"Hanya dua jam pelajaran dan ini sudah tersita beberapa menit. Bagaimana kita bisa mengingat semua yang kita baca!" keluh Nandia pesimistis dan tak seperti Nandia yang sangat optimistis saat berada di lapangan basket.

"Mau bagaimana lagi, para atlit sekolah memang selalu direndahkan tentang kepintaran dan kita hanya di cap pandai dalam satu bidang, olahraga saja!" Apa yang James katakan benar dan ya, kita memang selalu di anggap seperti itu.

"Jadi, kita lebih fokus pada diri kita yang menjadi atlit saja karena tidak semua orang pandai akan banyak hal." James atlit badminton yang sekaligus merangkap menjadi motivator hari ini.

"Setuju!" ucap ku dengan semangat begitu juga dengan Sevin dan Nandia sedangkan Jae-Hwo, dia diam saja.

Aku tau, Jae-Hwo juga setuju dalam diamnya itu. Dia hanya berisik saat dengan ku tapi dengan yang lain seoalah pita suaranya itu tengah di pinjam oleh penyanyi seriosa untuk konser tunggal. Sehingga dia hanya diam saja.

*.*.*.*

Pelajaran kimia telah berlalu namun belum berakhir karena sepulang sekolah nanti kami akan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari apa yang kami baca di perpustakaan tadi. Apakah kapasitas otak kita mencukupi atau tidak. Intinya begitu, kan. Yang terpenting aku sudah berusaha semampu ku jadi bila tak sanggup untuk menjawab ya sudah. 

Sekarang aku di hadapankan dengan guru konseling yang cantik dan ramah. Namanya Anne, sangat indah bukan. Sama indahnya dengan si pemilik nama. Mata ku mengitari ruangan konseling selagi bu Anne sibuk mengetikan sesuatu di komputer sembari melihat kertas ku yang hanya ku isi identitas ku saja.

Ruangan konseling ini terasa nyaman dengan aroma ruangan berbau mint dan penataan barang di sini juga rapi. Sepertinya, para guru bimbingan konseling di sini memang sengaja mendisain ruangan ini senyaman mungkin agar para murid merasa nyaman.

"Kenapa tidak di isi?" jari telunjuk bu Anne menunjuk ke arah pertanyaan tentang apa cita-citaku yang tak ku isi.

"Saya tidak tau!" jawabku jujur karena aku benar-benar dilema.

Bu Anne tersenyum manis dan sepertinya beliau paham dengan maksud ku. "Baik, ibu akan membantu kamu!"

Aku menatap bu Anne penuh ragu karena selama ini tak ada yang bisa membantu ku. Mereka yang berusaha membantu, ujungnya akan memintaku untuk melakukan apa yang mereka inginkan untuk diriku dengan dalih bahwa itu memanglah bakat ku. Aku hanya ingin seseorang membantu ku untuk mengenali diriku lebih baik lagi, menemukan sosok diriku yang sebenarnya dan apa bakat alamiah ku. Bukan mendorong ku untuk melakukan apa yang mereka inginkan untuk ku.

"Apa yang paling kamu sukai dan ingin kamu lakukan terus menerus karena itu membuat kamu bahagia?" tanya bu Anne dan aku pun mulai berpikir.

Kira-kira apa ada hal seperti itu yang kulakukan sampai saat ini. Sepertinya tidak ada dan memang tidak ada. "Tidak ada!" jawab ku dengan tampang bodoh.

"Um, bagaimana dengan panahan? Kamu atlit panahan sekolah dan kamu mampu menyumbang medali perak untuk sekolah. Apa kamu tidak senang saat mendapatkan kemenangan itu?"

Aku terdiam. Aku selalu menanyakan hal ini pada diriku dan aku tak merasa senang untuk diriku melainkan untuk orang lain. Untuk ibu. Aku merasa lega karena bisa membuat ibu bahagia hanya itu. "Entalah! Saya merasa lega dan bahagia saat mendapatkan kemenangan karena bisa membuat ibu merasa bangga. Itu saja!" Pada akhirnya aku mengatakannya pada bu Anne dan bu Anne nampak terkejut dengan kejujuran ku.

"Baiklah, itu hal yang sangat mulia!" Aku tau, bu Anne mengatakannya untuk menghibur ku.

"Apa ada hal lain yang kamu ingin lakukan atau bicarakan dengan orang tua kamu mengenai masa depan kamu?"

"Saya pernah bilang ingin melanjutkan ke fakultas pertanian dan menjadi seorang petani. Ayah pikir saya ingin menjadi PNS seperti beliau jadi ayah banyak memberikan soal-soal latihan ujian pegawai negri sipil."

"Itu hal yang bagus, Roosevelt! Ibu akan merekomendasikan beberapa kampus untuk kamu!" Bu Anne sangat antusias tapi aku tidak sama sekali.

"Tapi sekarang saya tidak ingin hal itu lagi!"

Baiklah, aku pandai membuat orang lain dengan secepat kilat merubah ekspresi. "Lalu ada hal lain yang kamu mau? Ibu yakin kamu pasti memiliki sesuatu yang ingin kamu raih!" Bu Anne masih terus berusaha menggali tentang apa yang akan ku lakukan setelah lulus sekolah menengah atas nanti.

"Saya belum tau!" Sebuah jawaban yang membuat bu Anne menghela napas pasrah akan diriku.

"Baiklah, ibu akan membicarakan ini dengan orang tua kamu agar mereka dapat membantu kamu dan kamu juga wajib menemui ibu di ruang konseling kapan pun untuk konsultasi atau bercerita mengenai masa depan kamu."

Membicarakan dengan orang tua bukanlah ide bagus melainkan ide paling buruk sepanjang masa karena akan menimbulkan perdebatan antara ibu-ayah-diriku dan kak Lovelace. Baiklah, siapkan mental kamu Roosevelt.

"Sekarang kamu boleh keluar dan carilah apa yang membuat kamu merasa hidup dan bahagia hingga membuat kamu tidak ingin berhenti untuk melakukannya!"

"Terima kasih!"

Aku pun keluar dari ruang konseling kemudian teman ku memasuki ruang konseling. Ya, kami bergiliran masuk ke ruang konseling. Saat di luar ruang konseling, aku di sambut oleh Jae-Hwo dan Derin. Mereka menatapku khawatir, mungkin wajah ku ini dapat mengatakan segalanya pada mereka sehingga mereka menatapku seperti itu.

"Bagiamana?" tanya Derin padaku dan aku tau bahwa Jae-Hwo akan mengatakan pertanyaan namun keduluan oleh Derin.

"Aku tak mengisi kolom cita-cita------" aku belum selesai bicara dan mereka berdua secara kompak berteriak terkejut hingga menjadi pusat perhatian dan teguran agar tak berisik.

"Kamu memang butuh di ruqyah!"

Sebenarnya, Jae-Hwo yang harus di ruqyah kenapa jadi aku. Sangat tidak masuk akal.

"Memangnya apa cita-cita kamu?" tanya Derin pada Jae-Hwo dengan sedikit ketus. Derin ini bestie banget dengan ku jadi dia ikut kesal saat Jae-Hwo bilang kalo aku harus di ruqyah.

Saat Jae-Hwo akan menjawab aku mendahuluinya, "Sales lipstik sangat cocok untuknya!"

"Seriously Jae-Hwo?" tanya Derin dengan menatap sinis Jae-Hwo.

"Why not!" jawab Jae-Hwo sembari tersenyum manis dan senyum manisnya itu seakan mengejek ku bahwa dia tak terpancing oleh kalimat ku.

Ish, menyebalkan!

To be continued.