"Terkadang sebuah pukulan dapat melegakan hati hanya saja itu tidaklah baik."
_________
"Jae-Hwo!"
Aku meneriakkan nama Jae-Hwo tatkala melihat pemuda itu duduk di samping Loretta. Teriakan ku tak hanya membuat Jae-Hwo menoleh, melainkan Loretta dan dia ikut menoleh. Haruskah aku menyebut namanya. Baiklah, namanya tak salah, yang salah adalah pemilik nama itu. Aku akan menyebut namanya lagi meski rasanya sakit untuk menyebutnya.
Jae-Hwo berdiri begitu juga dengan Loretta yang tadi duduk di antara Jae-Hwo dan Axelle. Aku melihat bekas darah di sudut kiri bibir Jae-Hwo. Kulit di sekitarnya juga masih memerah. Aku yakin bila Loretta yang membantu Jae-Hwo membersikan luka itu karena adik ku itu selalu membawa kotak P3K mini setiap dia pergi kemana pun.
Aku beralih melihat Axelle dan aku berharap dia mendapatkan luka lebih parah dari Jae-Hwo. Ini kali pertama aku berharap dia terluka karena selama ini aku selalu mengingatkannya agar tak terluka sedikit pun karena calon atlit basket nasional tak boleh terluka. Melihat rahang kiri Axelle yang membiru serta dahi yang sedikit benjol berwarna merah membuat ku ngilu. Aku tak tega sebenarnya tapi aku tak boleh termakan oleh keadaan.
"Untuk apa kalian berkelahi seperti ini?" tanya ku pada Jae-Hwo dan Axelle dengan menatap mereka secara bergantian.
"Kamu!"
"Membela diri!"
Jawab mereka secara bersamaan dan aku mengangguk paham namun dalam hati aku tersenyum memuji tindakan Jae-Hwo. Setidaknya ada gunanya juga pemuda blesteran Korea-Indonesia ini kembali ke sini. Aku akan mengucapkan terima kasih nanti setelah kami pulang agar Axelle tak tau. Bukanya aku takut Axelle tersinggung, hanya saja ini masalah ku dengan Axelle dan Jae-Hwo tak perlu ikut campur jadi aku tak akan membiarkan Axelle tau bila aku memuji Jae-Hwo karena telah menghajar Axelle hari ini.
"Jae-Hwo, pulang bersama ku dan Loretta, kamu pergi ke tempat kursus agar bisa melepaskan bulu mata dan tak membuat kak Jae-Hwo yang melepaskannya!"
"Apa Jae-Hwo tak menyakiti bulu mata kamu saat melepaskan bulu mata palsu itu?" tanya Axelle dan sontak membuat kami bertiga menatap Axelle.
Loretta menggeleng polos dan menjawab, "Kak Jae-Hwo seorang ahli jadi aman!" Nada suaranya memang sangat menyebalkan dan terkesan mengejek namun seperti itulah gaya Loretta sejak dia baru pertama bisa berbicara.
Jae-Hwo mengapit lengan ku dan Loretta secara tiba-tiba dan membuat ku terkejut. Dia berjalan ke arah pulang dan kami pun meninggalkan Axelle yang aku sendiri tak tau, apa dia tetap berada di sana atau sudah berlalu pulang karena aku engan untuk menoleh ke arahnya. Jika ada jalan yang lurus di depan, kenapa harus kembali menoleh pada jalan rusak di belakang.
"Tunggu, Loretta harus kursus!" ucap ku dengan sedikit memberontak dari apitan lengan Jae-Hwo tapi apalah daya ku yang tak memiliki otot sekekar Jae-Hwo.
"Saat melihat ada kucing bertengkar, aku langsung meminta izin untuk tidak hadir kursus!" Dengan entengnya Loretta mengatakan kata 'kucing bertengkar' hingga membuat Jae-Hwo berdehem tidak terima bila disebut kucing.
"Memang kucing kan! Saat kalian bertengkar aku menyiram kalian dengan air dari botol dan langsung berhenti. Kucing kan kalo bertengkar dan di siram air langsung berhenti bertengkar."
Tawa ku keluar saat Loretta mengatakannya tanpa rasa sopan santun sama sekali. Tawa yang tak berangsur lama karena Jae-Hwo mengapit lengan ku dengan erat dan membuat ku berteriak kesakitan. Dia memang raja tega dan bukan hanya sekedar raja jail lagi bila seperti ini. Beruntungnya tak berlangsung lama, jika berlangsung lama akan ku pastikan datang ke rumah sakit untuk melakukan foto Rontgen.
*.*.*.*
Saat sampai di rumah aku dan Loretta langsung di sambut omelan ibu. Aku yang pulang setelah maghrib sedangkan Loretta yang tak pergi ke tempat kursus tata rias. Setelah aku bercerita pada ibu tentang alasan kenapa aku pulang terlambat dan Loretta tak pergi ke tempat kursus, ibu minta maaf pada kami. Dan aku melihat raut terkejut di wajah Loretta saat melirik sekilas wajah adik ku ini.
"Jae-Hwo memang anak yang baik!" puji ibu pada Jae-Hwo kemudian berjalan memasuki dapur lagi.
"Kamu tadi langsung tau kalo mereka bertengkar dari orang lain atau bagimana?" tanyaku pada Loretta.
"Aku emang lagi lewat taman dan lihat kak Jae-Hwo yang berjalan terburu-buru terus aku ikutin ehhh ternyata langsung nonjok muka kak Axelle. Jadilah baku hantam dan aku siram pakek air dari botol terus mereka berhenti baku hantam. Akhirnya aku suruh mereka duduk dan aku di tengah biar gak baku hantam lagi terus aku telpon kakak." Cerita Loretta dari depan pintu kamarnya dan aku hanya bisa mengangguk.
Haruskah aku mengucapkan terima kasih pada Jae-Hwo dan memujinya seperti apa yang aku ucap dalam hati saat berada di taman tadi.
Aku melihat ibu keluar dari dapur dengan buru-buru sembari berucap, "Ibu akan ke rumah Jae-Hwo untuk mengajaknya makan malam sekaligus mengucapkan terima kasih padanya."
Jika kalian berpikir bahwa aku, kak Lovelace dan ibu memiliki sifat yang sama, maka kalian benar. Kami bertiga memang sedikit pendendam sekaligus susah untuk memaafkan orang yang telah membuat hati kami sakit dan remuk. Sangat berbeda dengan ayah dan Loretta yang pemaaf.
Saat aku menaiki tangga ketiga, Loretta memanggil ku sehingga aku berhenti dan melongok ke bawah. "Kakak senang ya kak Jae-Hwo melakukan hal tadi?"
Aku mengangguk sambil tersenyum namun aku melihat raut kekecewaan dari sorot mata Loretta. "Jujur, aku gak suka sama apa yang dilakukan kak Jae-Hwo tadi karena itu kekerasan meski aku sempat merasa tersanjung dengan apa yang kak Jae-Hwo lakukan tadi." Entah kenapa, Loretta yang masih sekolah menengah pertama ini terdengar bijak tapi aku tak setuju akan apa yang ia katakan ini.
"Roosevelt, Loretta!" teriak kak Lovelace yang tumben sekali pulang jam segini karena biasanya baru pulang menjelang makan malam atau pun lewat makan malam.
"Tadi kakak dengar cerita dari ibu saat baru sampai. Daebak, daebak, daebak memang Jae-Hwo!" Nah, ini aku baru setuju karena apa yang kak Lovelace katakan sama dengan apa yang aku rasakan.
Loretta pergi ke kamarnya dan aku yakin jika dia takut kalah debat dengan kami berdua. Biarlah, adik ku itu memang masih kecil dan tak tau bagaimana rasanya di selingkuhi itu seperti apa dan cukup hanya aku saja yang merasa seperti ini. Tidak untuk saudari-saudari ku.
Kak Lovelace menaiki tangga dan dia merangkul pundak ku kemudian kami berdua berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, letak kamar kami. Kami tertawa riang seakan apa yang ada di dalam hati kami tersalurkan hari ini melalui Jae-Hwo.
Ponsel ku bergetar dan aku mengambil ponsel ku dan ada panggilan masuk dari nomor tak di kenal. Karena sedang marak penipuan dengan cara di hipnotis melalui panggilan telpon maka aku engan mengakatnya dan langsung menolak panggilannya.
"Kenapa gak di angkat?" tanya kak Lovelace ketika kita sudah berada di lantai dua.
"Nomor gak di kenal! Takutnya nanti aku di hipnotis dan ngasih pin rekening ke penipu." jawab ku sembari membunyikan lengan ku setelah kak Lovelace tak merangkul ku.
Kak Lovelace tertawa mendengarnya, "Memang rekening kamu ada isinya?"
"Ada, jika kakak mentransfer sejumlah uang ke rekening ku!" Aku cekikikan saat mengatakannya dan langsung berlari menuju kamar sebelum di lempar keset oleh kak Lovelace.
Memasuki kamar lalu menguncinya agar kak Lovelace tak dapat membuka pintu kamar dan melempar keset ke arah ku. Aku mengerakkan lengan ku yang tadi di apit oleh Jae-Hwo, rasanya sakit. Ah, dia memang keterlaluan. Apa aku cabut saja pujian untuknya. Tidak, tidak, dia sudah baik hati jadi aku akan memakluminya untuk kali ini.
Ponsel ku kembali bergetar dan kali ini panggilan dari Axelle dan aku dilema.
To be continued.