"Selalu ingin terlibat dalam setiap rasa sakit yang dirasa, bukan berarti ingin ikut campur namun terdengar seperti satu tubuh yang ingin merasakan sakit pula."
________
Setelah membersihkan diri dan menjalankan sholat magrib, aku tiduran di atas kasur sejenak sambil menunggu waktu sholat isya tiba. Mata ku terpejam karena rasanya terlalu lelah untuk hari ini dan tak ada energi lagi untuk bergerak. Padahal, hari ini tak ada sesi latihan memanah tapi rasanya begitu remuk sampai hati ku merasa tak nyaman. Apa ini karena Jae-Hwo dan Axelle sehingga aku merasa seperti ini. Tak seharusnya mereka bertengkar karena aku dan kenapa Jae-Hwo peduli pada ku sampai dia memukul Axelle.
Entalah, aku merasa tak sanggup berpikir bila lelah seperti ini. Terlebih, hari ini aku sangatlah plin-plan.
Guncangan yang kurasakan membuat ku mengerang karena aku masih mengantuk dan merubah posisi dengan menghadap ke kanan sambil menarik selimut tapi terasa berat hingga aku membiarkan tubuh ku tak terselimuti. Tubuhku di guncankan lagi dan kali ini aku membuka mata lalu merubah posisi menjadi berbaring.
Mata ku melebar saat melihat Jae-Hwo yang bersendekap melihat ku dengan tatapan sebal. "Siapa yang mengizinkan kamu masuk?" bentak ku padanya karena aku benar-benar terkejut saat melihat Jae-Hwo berada di dalam kamar ku.
Aku pun beralih untuk duduk di atas kasur sambil mencari kuncir rambut ku yang tadi ku lepas dan lempar ke samping bantal. "Kenapa kamu masih ada di sini?" teriak ku setelah menemukan kuncir rambut berwarna hitam lalu mengikat rambut ku asal.
"Sholat isya lalu turun untuk makan malam!" ucap Jae-Hwo sembari melempar ku dengan atasan mukena yang tadi ku geletakkan di atas sajadah.
Kepala ku melihat ke arah jam digital yang berada di atas nakas dan sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam.
Sebelum punggung Jae-Hwo melewati pintu kamar ku, aku berucap padanya, "Terima kasih sudah peduli pada rasa sakit ku terhadap Axelle!"
Dia menoleh tepat saat berada di tengah kusen pintu. "Kamu gak perlu terima kasih karena sudah sepantasnya dia mendapatkan pukulan!" balasnya dan entah kenapa aku benci akan tatapan tulus dari matanya itu.
Aku mengigit bibir dalam ku pelan sembari mengembuskan napas berat. "Kamu jadi terluka karena berkelahi dengannya dan aku gak suka lihat kamu terluka karena itu rasanya sakit." Rasanya pasti sangat sakit saat mendapatkan pukulan, terlebih pukulan itu membekas pada sudut bibir Jae-Hwo. Bahkan aku masih bisa melihat luka itu serta bekas darah yang mengalir dari sudut bibirnya.
"Itu yang ku inginkan! Aku tidak mau kamu merasa sakit sendiri jadi aku akan menemani kamu untuk merasakan sakit juga. Meski, sakit secara batin jauh lebih menyesakkan daripada sakit secara fisik seperti ini." Dia menunjuk luka yang ada pada sudut bibirnya.
"Lain kali jangan melakukannya lagi karena aku bisa membalaskan rasa sakit hati ku sendiri." Tekan ku padanya agar dia tak ikut campur lagi karena ini bukanlah wilayahnya melainkan wilayah ku dengan Axelle serta kedua belah keluarga.
Dia menatap ku lekat dari jarak yang tak dekat. "Kamu pikir hanya kamu yang merasa sakit?" tanyanya padaku dan aku mengangguk. "Kamu salah! Aku juga merasa sakit hati padanya dan sakit itu membuat ku menghajarnya tadi sore."
Aku berdiri dan melangkah selangkah agar tak terlalu jauh dari tempatnya berdiri. "Jadi, apa yang kamu lakukan pada Axelle tadi untuk rasa sakit kamu? Padahal kamu tadi bilang jika memukulnya karena ingin merasakan rasa sakit yang sama seperti ku. Sebenarnya, yang benar yang mana?" tanyaku sedikit menggebu karena aku tak paham akan ucapannya yang menurutku memiliki keterangan ganda yang tak sama.
Dia mengembuskan napas dan menatap sayu. Apa-apaan itu, tatapan bisa berubah secepat ini. "Untuk keduanya!" jawabnya singkat lalu berbalik dan meninggalkan kamar ku dengan meraih gagang pintu untuk menutup pintu kamar ku.
"Jangan bertengkar lagi dengannya!" tegas ku padanya sambil melihat pintu yang akan tertutup sempurna namun terhenti.
"Aku tidak menjamin!" responnya kemudian melanjutkan menutup pintu dengan keras sehingga menimbulkan bunyi.
"Jae-Hwo sinting!" teriak ku kesal karena dia benar-benar menyebalkan.
*.*.*.*
Aku tak bisa melupakan apa yang terjadi kemarin malam saat makan malam. Keluarga ku benar-benar memuji Jae-Hwo kecuali aku dan Loretta yang diam saja. Diam ku bukan karena omongan Loretta saat di tangga, melainkan karena aku lelah untuk mengucapkan satu dua kata setelah perdebatan ku pada Jae-Hwo saat di kamar sebelum makan malam. Ingatan itu hadir di waktu yang tidak tepat karena sekarang aku sedang berada dalam gedung panahan.
"Simpan nomor ku! Aku sudah mengatakannya berulang kali dan tak kamu gubris!" omel Jae-Hwo dengan merampas ponsel ku yang berada dalam genggaman tangan ku. Benar-benar tidak sopan.
Kemarin saat akan memasuki kamar setelah adegan meledek kak Lovelace, ada panggilan masuk dari nomor tak di kenal dan ternyata itu panggilan dari Jae-Hwo. Sejak kemarin dia sudah memohon agar aku menyimpan nomornya namun tak ku lakukan dan sekarang dia melakukannya sendiri. Menyimpan nomornya pada kontak ponsel ku.
Teman Terbaik
Apa-apaan itu. Dia memberi nama kontaknya seperti itu. Terserah dia sajalah. "Aku membeli ponsel dan nomor baru setelah keluar dari bandara jadi kamu harus menyimpan nomor baru ku. Tapi tetap simpan nomor Korea ku." Katanya dengan dramatis dan kenapa dia bisa sedramatis ini padahal dia itu laki-laki. Apa ini karena dia kembaran So Young yang gila belajar dan ratu drama itu.
"Aku mencari nama ku di kontak kamu tapi gak ada! Nomor Korea ku kamu kasih nama apa?" tanyanya dan kenapa dia penasaran sekali sih.
"Menyebalkan!" jawab ku lalu berdiri.
"Apa aku terlalu bersemangat jadi datang lebih awal!" Aku berbicara sendiri dengan jalan di tempat.
Layar ponsel ku di hadapkan pada wajah ku oleh Jae-Hwo dan terpampang nama kontak Menyebalkan di sana. "Kamu benar-benar keterlaluan! Kenapa kamu memberi nama kontak ku seperti ini? Padahal aku memberi nama kontak kamu Terbaik!"
Astaga, masalah nama kontak saja dia seperti ini. "Yang penting KTP kamu tidak bernama Menyebalkan, okay!"
Dia merajuk dan mengembalikan ponsel ku pada tas lalu terduduk. "Kamu selalu menyepelekan perasaan orang lain!" gumamnya dan aku dapat mendengar itu.
Aku menghampiri Jae-Hwo lalu mengambil tas ku. "Aku meletakkan tas ke loker ruang ganti dulu dan kamu tunggu di sini. Setelah resmi di terima menjadi atlit panahan sekolah, kamu bisa meletakkan tas di loker ruang ganti putra."
Aku melangkah menjauh darinya yang masih merajuk. Emosi ku sedang stabil jadi aku tak marah padanya pagi ini. Terlebih hari ini aku sedang latihan memanah jadi aku harus menjaga kestabilan emosi ku. Aku tak boleh terpengaruh oleh siapa pun hari ini.
Setelah meletakkan tas pada ruang ganti, aku keluar dari ruang ganti dengan di sambut pemandangan Jae-Hwo yang di sambut hangat oleh pak Handoko serta beberapa teman yang lain. Melihat Jae-Hwo yang terlihat bahagia seperti ini membuat ku senang karena dia tak kesulitan untuk berkomunikasi di sini jadi bisa berinteraksi dengan baik pada orang lain. Mungkinkah Jae-Hwo memang di takdirkan untuk tinggal di sini karena auranya benar-benar bersahabat.
"Roosevelt, jangan melamun!" tegur Arthur yang berada di depan ku dan aku baru sadar.
"Aku tidak melamun!" sanggah ku karena aku memang tidak melamun.
"Kalo begitu, sudah berapa detik aku berdiri di sini?"
"Dua puluh detik!" jawab ku asal.
"Mungkin karena aku sendiri tidak tau!"
Kami pun tertawa dan tawa kami mengundang Jae-Hwo melihat ke arah kami dengan pandangan sebal. Waah, dia sangat pandai merubah ekspresi. Harusnya dia mendaftar menjadi aktor Korea saja daripada pulang ke Indonesia.
To be continued.