Chereads / Mr. Lipstik's / Chapter 11 - Jae-Hwo Seperti Manusia Purba

Chapter 11 - Jae-Hwo Seperti Manusia Purba

"Sejak awal rasa suka itu sudah ditunjukkan, hanya saja hati terlalu tertutup rasa tak suka hingga tak menyadarinya."

________

"Apa sih yang sedang kamu lakukan?"

Jae-Hwo mengintip layar ponsel ku. Kemudian ia bertanya lagi, "Bagaimana cara mengoperasikan ini?" pertanyaan yang ambigu. Bagaimana bisa dia tak dapat mengoperasikan ponsel sedangkan ponsel miliknya lebih bagus daripada ponsel ku.

"Teman-teman dan So Young suka sekali melakukan hal seperti ini!" Sungguh, aku tak mengerti dengan apa yang dia maksud.

"Apa sih yang kamu omongin ini?" tanyaku sembari meletakkan ponsel di atas paha ku dan beralih melihat Jae-Hwo.

Bila di pandang dari dekat seperti ini, kulit wajah Jae-Hwo terlihat halus dan bersih. Tak ada komedo di sela-sela hidungnya dan bibirnya itu selalu terlihat lembab dengan lipstik merah yang tak pernah ketinggalan. Tolong jangan bandingkan dengan wajah ku karena sangat jauh berbeda dengannya. Astaga, apa yang aku perhatikan ini. Aku mengerjapkan kedua mata ku lalu berlih mengambil ponsel ku lagi dan bermain Instagram.

"Ini!" tunjuk Jae-Hwo pada layar ponsel ku. "Kenapa banyak yang membuat konten seperti ini dan kenapa banyak orang yang membuang waktu untuk melihatnya!" sambungnya lagi dan kali ini aku baru tau apa yang ia maksud. Seharusnya dia mengatakannya lebih jelas seperti ini sedari tadi agar aku tak bingung. Kenapa aku merasa komunikasi Jae-Hwo agak berbeda, apa mungkin ini dampak dari kebanyakan belajar dan jarang bermain tapi So Young tidak.

Aku jadi penasaran. "Jae-Hwo, apa selama ini kamu tinggal di gua manusia purba megalitikum dan tak tinggal di Seoul?" tanyaku padanya dan reaksinya membuatku tersenyum tanpa sadar.

Dia menyipitkan kedua matanya yang memang sudah sipit menjadi segaris. Tatapannya tak menyebalkan seperti biasanya karena bibirnya cemberut imut. Kenapa dia selalu imut sejak dulu, aku jadi iri. "Aku tadi sudah bilang, banyak orang yang menghabiskan waktu untuk melakukan hal seperti ini. Sedangkan aku, aku tak tau cara menggunakan media sosial!" jelasnya dan wajahnya di tekuk menjadi semakin cemberut.

Aku menggelengkan kepala pelan. "Sudah ku duga, kamu memang tinggal di kota maju namun ketinggalan jaman!" Aku menepuk-nepuk pundaknya yang terasa keras akan otot yang terbentuk. Tanpa sadar, aku tak lagi menepuk, melainkan meremas pundaknya untuk merasakan memegang otot pundaknya yang keras. Dia menatap ku dengan tatapan yang tak bisa ku artikan karena hari ini dia begitu ambigu. Sangat ambigu bahkan mungkin manusia megalitikum tak seambigu ini.

"Hum," Dia berdehem dan aku sadar lalu menjauhkan tangan ku dari pundak berototnya. Untuk mengalihkan suasana, aku kembali fokus pada ponsel ku. "Ajari aku membuat akun sosial media!" pintanya dan aku sangat yakin jika dia tidak sedang sandiwara.

"Kemana saja selama ini kamu? Saat para anak muda berlomba untuk membuat konten dan terlihat keren di sosial media, kamu pergi kemana? Gua?" tanyaku padanya dan merebut ponselnya yang sedari tadi di genggaman oleh tangan kirinya.

Dia menunjuk dirinya sendiri, "Aku? Aku bermain gim di kafe internet saat sedang stress karena terlalu lama belajar!"

Sepertinya aku salah menilainya. Dia tidak ketinggalan jaman melainkan manusia purba yang bermain gim untuk menghilangkan stress. Jika seperti ini, dia tergolong manusia purba yang sedikit lebih maju, berarti bukan megalitikum melainkan neolitikum. Atau apa, ya. Memangnya ada manusia purba neolitikum. Sepertinya aku harus menbaca artikel di internet nanti.

Kenapa aku jadi menyamakan dia seperti manusia purba. Ah, jika seperti ini, aku yang sedang mengalami stress karena baru saja di khianati oleh si brengsek Axelle itu.

Aku mengembuskan napas. "Baiklah, mari aku ajari untuk membuat sosial media agar kamu bisa pamer di sana atau berlagak sok keren seperti yang lainnya!"

Dia menggeleng. "Aku tidak mau pamer betapa tampannya aku dan kerenya diriku karena itu tak ada gunanya!" Kenapa dia terdengar percaya diri sekali saat mengatakan bahwa dia tampan dan keren.

"Kamu bisa terkenal dan bila mempunyai banyak pengikut di sosial media, kamu bisa menjadi selebritas sosial media dan itu bisa mendatangkan uang."

"Aku sudah punya banyak warisan!"

Ingin rasanya aku menggigit Jae-Hwo karena kalimatnya membuat ku gemas gregetan. "Baiklah, terserah dan jangan mengikuti ku di media sosial!"

Dia menatap ku keberatan. "Tidak! Aku akan mengikuti kamu di media sosial!"

Aku meletakkan ponselnya di atas sofa lalu bersendekap. "Aku tak akan membantu mu membuat akun sosial media!"

"Aku traktir selama seminggu saat di sekolah jika kamu membantu ku!" Sungguh tawaran yang sangat menarik. Jika seperti ini aku bisa menghemat uang saku dan memasukkannya ke dalam rekening tabungan untuk biaya masa depan ku nanti.

Aku tersenyum lebar dan kembali mengambil ponsel Jae-Hwo. "Apa pun?" tanya ku karena aku ingin puas memalak Jae-Hwo sebagai balasan atas sikap jahilnya selama ini.

Dia mengangguk, "Ya, apa pun yang kamu minta. Selama itu makanan dan minuman. Tidak untuk selain itu!"

"Okay!" Betapa semangatnya aku saat di traktir makanan selama satu minggu.

Malam hari yang melelahkan setelah latihan panahan, aku membuka kursus untuk Jae-Hwo, kursus mengajarinya cara bermain Instagram. Dia terlihat sangat-sangat dan sangat tidak semangat dan hanya mengangguk sesekali. Mulut ku rasanya berbusa menjelaskan fitur ini fitur itu tapi responya sangat datar. Bila seperti ini, rasanya aku percuma mengajarinya karena dia tak tertarik sama sekali. Jika tak tertarik maka kenapa dia ingin di buatkan akun dan minta diajari. Tapi tak mengapa, yang penting aku bisa mendapatkan traktiran selama satu minggu.

Dengan jarak sedekat ini, aku dapat merasakan embusan napasnya yang teratur serta aroma tubuhnya yang menggelitik hidung ku. Aroma parfum yang berbeda dengan aroma parfum pasaran lainnya. Biasanya saat mencium aroma parfum seseorang, hidung ku sangat sensitif dan akan pusing tapi tidak dengan parfum Jae-Hwo. Aromanya begitu menenagkan dan tak membuat pusing. Rasanya hidung ku ini begitu pilih-pilih. Bahkan, Axelle pun sering ku protes agar tak dekat-dekat dengan ku saat menggunakan parfum karena aromanya membuat ku pusing.

"Coba sekarang kamu buat story!" suruh ku pada Jae-Hwo dan ia mengambil ponselnya dari tangan ku lalu memotret asal dinding ruang tamu ku dan mengirimnya di Instagram story.

"Pakai lagu jauh lebih bagus!" ucap ku dengan beranjak dari sofa karena sudah saatnya untuk makan malam.

Ya, makan malam kami telat karena ibu lupa memasak dan terlebih mengundang Jae-Hwo untuk makan malam bersama karena asisten rumah Jae-Hwo tak di tugaskan untuk memasak, hanya untuk bersih-bersih rumah lalu pulang.

Sungguh aneh bukan hubungan kami. Tadi aku yang begitu kesal dan tak menyukai Jae-Hwo kini menjadi baik hati pada Jae-Hwo tapi ya seperti inilah hubungan kami sejak dulu. Tidak jelas.

"Kita tunggu kak Lovelace dulu, sepertinya dia masih kejebak macet!" Biasanya kami makan duluan tanpa menunggu kak Lovelace namun karena hari ini makan malam penyambutan Jae-Hwo jadi harus menunggu kak Lovelace.

Setelah ibu memberi tau ku makan malam di tunda, aku kembali ke ruang tamu namun langkah ku terhenti saat mendengar teriakan Loretta yang berlari sambil menuruni anak tangga. Teriakan Loretta yang disertai dengan nada takut dan aroma akan menangis membuat ibu, ayah dan Jae-Hwo berdiri di samping ku dan melihat Loretta yang berjalan ke arah kami dengan memegangi bulu mata kanannya.

"Bulu mata palsu ini tidak bisa lepas, huaaaaaaaa!" tangis Loretta di hadapan kami.

Reaksi kami hanya melongo akan bulu mata Loretta yang memang terlihat sangat lebat seperti sapu lantai.

"Huaaaaaaaaa bantuin lepasin, hiks!"

Jujur, aku tak tau harus membantunya bagaimana. Sedangkan ibu dan ayah berubah menjadi panik bahkan ayah berlari untuk mengambil kunci mobil dan ibu berkata, "Kita ke rumah sakit sekarang!" Mungkin solusi yang baik.

"Biar aku bantu lepasin dan gak usah ke rumah sakit!" ucap Jae-Hwo berjalan menghampiri Loretta kemudian ia merunduk untuk menatap bulu mata palsu Loretta dari dekat.

"Memangnya kamu bisa?" tanyaku tak yakin.

Dia menoleh sekilas dengan tatapan mata mengerikan kemudian kembali fokus pada bulu mata palsu Loretta dan mengajak Loretta untuk kembali ke kamarnya. Aku, ayah dan ibu mengikuti mereka karena penasaran, bagaimana caranya melepaskan bulu mata palsu tersebut.

To be continued.