Chereads / Mr. Lipstik's / Chapter 10 - Berjarak Sepuluh Kaki

Chapter 10 - Berjarak Sepuluh Kaki

"Terkadang perubahan sikap yang tak menentu dapat membuat orang lain merasa tersinggung dan menimbulkan kesalahpahaman."

________

Rasanya badan ku pegal semua karena latihan hari ini sangat berat. Kami berlari naik-turun tangga menuju lantai tiga sekolah. Tak cukup di situ, kaki dan tangan kami juga di beri pemberat. Kami juga tak boleh berisik karena bisa mengganggu pelajaran yang sedang berlangsung di kelas. Ah, memanah sangat melelahkan dan aku ingin berhenti memanah dan menjadi murid biasa yang duduk di bangku sambil mendengarkan materi yang guru jelaskan.

"Oh, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyaku pada Jae-Hwo yang berdiri di depan pintu ruang olahraga memanah sembari membawa satu kotak susu putih.

Ia menyodorkan kotak susu itu padaku. "Menunggu kamu untuk pulang bersama!" jawabanya dan aku hanya mengangguk lalu menerima kotak susu pemberiannya.

Kami pun berjalan bersisian melewati lorong sekolah yang sudah sepi karena ini sudah pukul lima sore. Bayangkan betapa remuknya tubuh ku, berlatih sejak pukul delapan pagi sampai pukul setengah lima sore. Sudah seperti pegawai kantor saja jam berlatih ku.

"Bagaimana cara bergabung dengan tim memanah sekolah?" tanyanya padaku dan aku baru ingat jika dia pandai memanah dan pernah mengikuti lomba menanah dan mendapatkan juara. Sepertinya, bakatnya akan sangat di kagumi sekolah jika dia tergabung dalam tim memanah.

Meski aku tak suka berada dekat dengannya, tapi aku tak mau menghalangi bakat seseorang untuk berkembang jadi aku mengeluarkan ponsel ku dan mengirimkan pesan kepada pak Handoko, pelatih memanah sekolah. Aku mengirimkannya pesan bahwa akan ada anggota baru yang mau mendaftar serta mengirimkan link vidio Jae-Hwo saat mendapatkan medali dalam olimpiade antar sekolah di Seoul dulu.

"Aku baru saja mengirimkan pesan kepada pelatih dan tunggu saja, kamu akan ikut bergabung dengan tim!" Aku tersenyum saat memberitahunya dan entah kenapa aku terlihat manis sekali padanya.

"Sungguh?" tanyanya antusias saat kami berada di depan gerbang sekolah yang sudah sepi dan hanya ada kami berdua.

Aku mengangguk.

Dia tersenyum lebar dan aku benci lipstik yang menempel tipis-tipis di bibirnya itu. Tanpa memberi aba-aba, dia langsung mengandeng tanganku dan mengajakku berjalan bersama sambil bergandengan tangan. Kenapa tingkahnya seperti anak TK sih dan sikapnya yang seperti ini mengingatkanku tentang masa kami saat kecil dulu. Dia selalu mengandeng tanganku dan So Young saat pulang dari sekolah TK. Aku jadi berharap bahwa So Young juga berada di sini agar kami bertiga bisa seperti dulu.

Tanpa sadar, aku tersenyum mengingat masa kecil dulu dan tanpa sadar juga, kenapa aku mau bergandengan tangan dengan Jae-Hwo yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Kami bukan anak kecil lagi dan aku melepaskan gandengan tangan Jae-Hwo dari tanganku. Dia terkejut dan menghentikan langkahnya, begitu pula dengan diriku.

Dia menatapku kecewa. "Kenapa di lepas?" tanyanya dengan tatapan kecewa. Riak mukanya tak seceria tadi.

"Kita bukan anak kecil lagi!" jawabku dan berjalan mendahuluinya.

Sial, dia menarik tas ranselku dan membuatku terpaksa berhenti berjalan. "Bisakah kamu bersikap dewasa tidak kekanakan seperti ini?" tanya ku kesal dan aku benar-benar tak punya tenaga untuk marah-marah.

Dia melepaskan tas ranselku sehingga aku bisa lanjut untuk berjalan di atas trotoar dengan di sirami lampu kota yang sudah menyala. Aku suka suasana seperti ini karena terasa hangat meski matahari sebentar lagi akan tenggelam sepenuhnya.

"Apa bergandengan tangan hanya untuk anak kecil?" tanyanya dengan nada sangat cemberut.

Tuhan, kenapa dia suka sekali memancing aura negatif dalam diriku untuk marah-marah padanya.

"Aku tidak punya tenaga untuk bertengkar hari ini jadi tolong jangan berisik!" ucapku padanya dan dia benar-benar terlihat marah padaku dengan berjalan mendahului ku dan aku tak peduli dengan itu.

Aku benar-benar ingin menghindarinya jadi aku membiarkan dia berjalan dulu dan aku ingin duduk sebentar di bangku sebelah trotoar untuk menikmati lalu lintas di sore hari. Ini adalah kebiasaan ku untuk melepas penat karena seharian berlatih memanah. Sekaligus menenangkan pikiran akan pertanyaan-pertanyan di masa depan yang begitu membuat ku tak tau harus melakukan apa.

Aku menusukkan sedotan pada lubang kotak susu lalu menyeruputnya. Meski dia memberiku susu kotak gratis, tetap saja ini semua tak merubah apa pun selagi dia berhenti bersikap jail padaku.

Napas berat keluar dari hidung ku dan pikiran-pikiran seperti ini muncul lagi. Dulu, aku pernah memiliki mimpi untuk hidup dengan sangat baik dan selalu mendukung cita-cita Axelle yang ingin menjadi atlit basket. Bahkan aku sering memarahinya saat dia berlari hanya mengenakan sandal karena itu bisa melukai kakinya. Tapi, aku sendiri juga melakukan hal itu, berlari dengan mengenakan sandal padahal aku sendiri juga atlit sekolah. Ya, cita-cita ku memang tidak ingin menjadi atlit. Mengingat itu semua membuat tersenyum namun terasa menyakitkan.

Aku cukup lama merenung sehingga tak sadar bila Jae-Hwo duduk di bangku yang jaraknya sepuluh kaki dari bangku yang ku duduki. Kami saling pandang dari jarak sepuluh kaki dengan arti tatapan yang berbeda.

Aku pun bangkit dari duduk ku setelah menghabiskan susu kotak pemberian Jae-Hwo lalu berjalan menghampiri tong sampah untuk menbuang kotak susu yang telah kosong.

Pada akhirnya kami pulang bersamaan dan tak ada yang membuka suara karena aku tak ingin diajak komunikasi. Saat sampai di depan rumah Jae-Hwo dia hanya melambaikan tangannya dan aku mengangguk diam lalu berjalan menuju rumah.

Di depan beranda, aku di sambut oleh ibu dan tak biasanya ibu melakukan ini padaku. Apa ibu sedang kerasukan roh baik hati atau apa sih. Kenapa aku terdengar seperti anak yang kurang ajar begini, ya.

"Apa kamu satu sekolah dengan Jae-Hwo?" Aku benar-benar kecewa dengan pertanyaan ini. Bisakah ibu bertanya apa aku lelah setelah seharian berlatih memanah, malah tanya tentang Jae-Hwo.

"Ya, dan satu kelas!" jawabku singkat dengan berjalan melewati ibu untuk masuk ke dalam rumah.

Saat memasuki rumah, aku melihat ayah yang juga baru saja sampai rumah sedang berjalan menuju dapur. Beliau melihat ku dan bertanya, "Apa tangan kamu tak sakit berlatih memanah seharian?" pertanyaan ayah begitu menenangkan dan aku tersenyum sambil menggeleng.

"Kamu mandi air hangat!" Meski berulang kali ayah mengatakannya, aku tetap menyukainya.

"Apa tempat duduk kalian berdekatan?" tanya ibu yang tiba-tiba berada di belakang ku dan benar-benar membuat jantungku terkejut.

Sedangkan ayah melihat ke arah kami dengan alis bertaut kemudian berucap, "Bagaimana bisa tau, Roosevelt seharian berlatih memanah!" Aku bersyukur ayah cepat tanggap dan menjawab pertanyaan ibu untuk menolong putrinya yang kelelahan ini.

"Tapi mereka pulang bersama, masa gak cerita-cerita!" Berikanlah kesabaran ekstra fourty Tuhan, untuk menghadapi ibu.

"Roos, mandi air hangat sana!" suruh ayah padaku dan berulang kali ayah menyelamatkan ku dari ibu.

"Ibu mau tanya sendiri ke Jae-Hwo sekalian ngajak dia makan malam bersama!"

Terserah ibu saja yang penting ibu bahagia bisa makan malam lagi dengan manusia kesayangan ibu itu.

To be continued.