"Menghindar tanpa alasan tanda ada sesuatu yang hati rasakan namun tak menyadarinya."
_________
Jarak antara sekolah dan rumah tak terlalu jauh, tinggal keluar dari kompleks perumahan lalu belok ke kanan lalu jalan lurus. Total jarak antara rumah dan sekolah sekitar lima belas meter. Sangat dekat dan bisa di tempuh dengan jalan kaki untuk menjaga kesehatan tubuh dan juga melindungi bumi dari polusi bahan bakar kendaraan. Ya, meskipun bisa di tempuh dengan mengayu sepeda tapi aku lebih suka berjalan kaki sembari melihat dedaunan yang berada di atas pohon dan cahaya matahari yang menyusup ke ranting pohon. Jika bersepeda tak fokus pada jalan, aku takut menabrak karena berjalan kaki saja terkadang hampir menabrak pohon atau pun bangku yang berada di samping terotoar.
Baru saja membatin, aku mau menabrak pohon dan untungnya aku langsung sadar dan mendapatkan teguran dari ibu-ibu pekerja kantoran yang melihat ku mau menabrak pohon agar hati-hati.
Aku menghirup udara pagi yang tidak segar karena polusi udara. Pepohonan yang rindang di sekitar terotoar seperti tak sanggup lagi untuk menyaring udara kotor karena banyaknya kendaraan bermotor dan asap pabrik. Meskipun aku bukan seorang pemberhati lingkungan, setidaknya aku masih punya rasa sayang terhadap lingkungan.
"Roosevelt!" teriak temanku Derin di depan trotoar menuju gerbang sekolah.
Aku melambaikan tanganku dan berlari menuju ke arahnya namun langkah ku terhenti saat sebuah mobil sedan putih keluaran tahun dua ribu lima belas membuang kaleng kola ke jalanan. Otak ku selalu memunculkan ide yang luar biasa, aku berlari untuk mengambil kaleng kola tersebut lalu melemparkannya ke atap mobil sedan yang melaju itu. Yap, tepat sasaran dan aku tertawa puas.
Beberapa murid yang melihat aksi ku itu ikut tertawa dan tak terkecuali, dia. Apa, tunggu. Apa mataku tak salah lihat. Itu, Jae-Hwo si tetangga yang baru kembali dari Seoul. Kenapa dia bisa ada di sini dan kenapa dia mengenakan seragam sekolah yang sama dengan para siswa di sekolah ku. Tidak, ini bencana dan aku harus menghindarinya. Harus.
Saat aku berlari untuk segera memasuki gerbang sekolah, aku melihat mobil sedan putih itu berhenti dan pengemudi itu keluar dari mobil dengan melihat kaleng kola yang tadi ia buang sembarangan bersarang di atap mobilnya. Pengemudi itu celingak-celinguk dan aku yakin, pasti orang itu mencari siapa yang melempar kaleng kola itu pada mobilnya. Aku tak peduli, yang penting sekarang aku harus memasuki gerbang sekolah dan saat sudah dekat dengan Derin yang wajahnya terlihat ingin memujiku, aku langsung menarik tangannya untuk berlari bersama memasuki gerbang sekolah.
Napas kami tersengal-sengal saat memasuki gerbang sekolah dan rasanya aku belum ingin berhenti berlari karena takut Jae-Hwo akan menemukan ku. "Aku pergi ke toilet dulu dan kamu pergi ke kelas dulu aja!" ucapku pada Derin yang wajahnya merah karena udara dingin dan panas dalam tubuhnya saling bertemu.
"Tunggu!" cegah Derin padaku. "Buku tulis matematika kamu mana? Aku mau menyalin pr!"
Aku membuka tas ku dan memberikan buku tulis matematika sembari berpesan, "Jangan lecek, jangan sobek dan pokoknya harus seperti semula!" Setelah melihat Derin mengacungkan jempol karena tak sanggup berkata-kata akibat ngos-ngosan, aku berlari lagi memasuki sekolah dan menuju toilet perempuan.
Saat berada di toilet, aku mengirimkan pesan pada Derin jika aku akan masuk ke kelas tepat saat bel berbunyi dan dia harus meletakkan buku tulis matematika ku pada meja ku sebelum aku masuk ke dalam kelas. Ini sungguh gila, kenapa aku begitu menghindari Jae-Hwo padahal kita teman sejak kecil dan kita juga bertetangga. Seharusnya, aku menyambutnya dengan penuh rindu karena sudah lama tak bertemu tapi entah kenapa, aku tetap tak suka padanya. Dia, terlalu menyita perhatian ibu dan ibu terlalu memujinya. Dia dan saudari kembarnya selalu mendapatkan pujian nomor satu dari ibu tapi, aku menyukai saudari kembarnya karena dia selalu baik padaku, sedangkan Jae-Hwo selalu jail padaku.
Singkat cerita tentang pertemanan kami saat masih kecil. Aku, Jae-Hwo dan saudari kembarnya So Young serta Axelle adalah teman masa kecil. Kami berteman dan tumbuh bersama. Keluarga ku dan keluarga Song sudah bertetangga sejak orang tua ku baru memiliki satu anak, yaitu kakak ku. Karena sama-sama orang baru di kompleks tersebut, orang tua kami bertetangga dekat dan sudah seperti saudara bahkan secara kompak juga ibu kami sama-sama mengandung. Setelah usia ku dan si kembar menginjak empat tahun, kami kedatangan tetangga baru yaitu keluarga Axelle. Karena usia kami berempat sebaya, kami berteman baik dan selalu bermain bersama.
Suara bell berbunyi, aku bergegas keluar dari dalam bilik toilet dan aku benci bila harus melihat kakak kelas yang heboh berdandan. Aku pun mengabaikan mereka karena tak tertarik dengan apa yang mereka lakukan. Seharusnya mereka bergegas keluar toilet dan pergi ke kelas untuk belajar. Bukan malah sibuk melanjutkan dandan karena bell sudah berbunyi.
Aku memasuki ruang kelas dan berharap tak satu kelas dengan Jae-Hwo karena aku tak mau Jae-Hwo merusak suasana hatiku saat di kelas.
"Katanya ada murid baru dan dia ganteng banget. Pindahan dari Seoul!" desas-desus teman-teman perempuan di dalam kelas dan aku tak minat mendengar apa yang mereka bicarakan lagi tentang cowok keren pindahan dari Seoul.
"Bagus, tidak lecek!" gumamku selesai memeriksa buku tulis matematika yang sudah di letakkan di atas meja.
Pintu ruang kelas di buka dan wajah pak Handoko muncul di balik pintu. Beliau celingak-celinguk sepertinya mencariku karena hari ini jadwal berlatih memanah sedari jam pertama sampai terakhir. Aku memang sengaja datang ke kelas dulu dan telat datang untuk latihan karena mau menitipkan beberapa pr kepada Derin.
"Roosevelt!" teriak pak Handoko dan membuat teman-teman memusatkan perhatian kepada pak Handoko.
"Saya nitip pr dulu, pak!" balas ku dengan penuh semangat. Kemudian mengeluarkan tiga buku tulis dan berjalan ke meja Derin.
"Biasa, nitip setor tugas negara soalnya mau melaksanakan tugas militer!" ucap ku pada Derin dan dia memberikan hormat kepada ku.
"Semangat belajar semuanya!" teriak ku pada teman-teman dengan penuh semangat.
"Semangat menjalankan tugas militernya!" teriak beberapa teman kepadaku.
Jika kalian bertanya, kenapa pak Handoko selalu mencariku dan begitu peduli serta suka mengomeliku bila tak datang tepat waktu untuk latihan memanah. Jawabannya adalah karena dia berambisi untuk menjadikan ku atlit andalan agar bisa masuk ke timnas memanah Indonesia. Jujur saja aku tak terlalu berambisi untuk ke sana karena aku tak mau jadi atlit meski beberapa orang bilang aku berbakat dalam memanah. Tujuanku ikut memanah karena terlihat keren saja sehingga ada hal yang bisa di banggakan oleh ibu ku kepada teman-temannya.
Aku yang berbakat memanah, kak Lovelace yang berbakat di dunia fesyen dan adik ku yang berbakat dalam dunia tata riasa meski baru duduk di bangku SMP kelas tujuh. Lihatlah, aku berbeda sendiri dari kedua saudariku.
"Kamu harus di siplin agar bisa ikut seleksi menjadi atlit Provinsi sebelum melaju menjadi atlit Nasional."
Aku hanya mengangguk paham dan kedua mataku melihat sosok Jae-Hwo yang berjalan lawan arah dengan ku bersama wali kelas. Untuk menghindar bertemu dengan Jae-Hwo aku mengajak pak Handoko untuk berjalan melewati lorong lainnya dengan alasan untuk pemanasan. Pak Handoko pun setuju.
Aku pun berjalan menggunakan teknik ala kecoa yang mendeteksi lawan melalui antena di kepalanya. Tunggu, apa kecoa punya kepala, ya. Ah, aku tak tau, nanti saja aku berseluncur di internet untuk mempelajari tentang kecoa. Yang harus aku lakukan sekarang adalah menghindar dari Jae-Hwo.
To be continued.