"Perasaan bebas seseorang dapat dirasakan oleh orang lain melalui suara yang terdengar ringan."
______
Selepas bersepeda, Jae-Hwo mengajak ku untuk sarapan bersama di tempat para penjual kaki lima menjajakan dagangannya. Dia bilang rindu makan di sini dan ingin beli bubur ayam favoritnya. Karena aku tidak suka dengan bubur ayam, dia membelikan ku bubur sum-sum. Tak hanya itu, ia juga membeli dua gelas teh hangat yang sebenarnya tak hangat melainkan sangat panas. Bila seperti ini, aku ingat dengan masa itu, masa dimana So Young meledek Jae-Hwo yang akan berubah menjadi telur ayam karena sering sarapan bubur ayam. Kenapa kenangan seperti ini bila di ingat membuat tawa dan tawa ku mengundang perhatian Jae-Hwo.
"Kalo berubah jadi sinting mending di rumah aja, jangan di tempat umum!"
Aku melirik Jae-Hwo tajam dan tawa ku yang tadi hilang akibat perkataan Jae-Hwo barusan. Tidak tau saja jika tawa ku tadi menertawakan dirinya yang bila beneran akan berubah menjadi telur ayam. Mengingatnya lagi membuat ku tertawa tertahan.
Jae-Hwo mengaduk bubur ayam miliknya, dia tim bubur ayam di aduk. Lihatlah, dia tak lupa cara mengaduk bubur ayam meski sudah lama tak makan bubur ayam. Bahkan tak lupa juga dengan ritual andalannya sebelum makan bubur ayam, yaitu mencium aroma bubur ayam lalu menaburinya dengan remehan kerupuk.
"Sebenarnya aku mau makan soto buat sarapan tapi lebih tertarik bubur ayam. Gak masalah karena sama-sama kuah soto." Jujur aku penasaran dengan apa yang baru saja Jae-Hwo katakan.
"Maksudnya, kuah bubur ayam ini kuah soto?" tanyaku karena aku tak tau.
Kedua mata Jae-Hwo melebar terkejut sembari melihat ke arah ku. "Kamu gak tau?" tanyanya dengan dramatis.
Aku mengangguk. "Aku baru tau kalo kuah bubur ayam itu kuah soto!" Ya, aku memang baru tau hari ini karena aku memang tak pernah makan bubur ayam jadi tak tau.
Kepala Jae-Hwo menggeleng pelan kemudian menyuapkan bubur ayam ke dalam mulutnya. Dia terlihat begitu menikmati sarapannya pagi ini. Benar-benar terlihat begitu rindu akan bubur ayam. Apa di Seoul tidak ada yang jual bubur ayam tapi sepertinya tidak ada. Kalo ada, pasti Jae-Hwo tak akan sedramatis ini. Tiba-tiba otak ku memunculkan ide jail. "Aku tidak suka bubur ayam soalnya kalo di aduk kayak muntahan kucing!"
Kedua mata sipit itu menatap ku mematikan namun tak jijik sama sekali. Malah menyedok bubur ayam itu dengan tatapan mematikan. Dasar pandai akting. Jika aku bilang seperti ini ke Axelle, sudah di pastikan bahwa cowok itu akan muntah dan engan untuk makan bubur ayam selama dua bulan.
"Makan buburnya, aku beliin ini pakek uang papa jadi jangan di sia-siakan!" Dia selalu membangkang uang papanya dengan alasan ia belum bisa menghasilkan uang sendiri jadi selalu bangga pada uang papanya.
"Pakek uang warisan!" Aku tertawa renyah sembari memakan bubur sum-sum yang baru tersentuh akibat fokus melamun.
"Harta yang paling berharga adalah warisan papa dan kakek!" Jae-Hwo tertawa akan nyanyian ku sampai kedua matanya yang memang sudah sipit itu semakin sipit.
Pantas saja ibu sangat cocok dengan Jae-Hwo karena mereka sama. Sama-sama bahagia akan warisan orang tua. Keluarga kami mampu membeli rumah di kompleks perumahan itu karena ayah dan ibu mendapatkan warisan. Jadi, uang warisan tersebut digunakan untuk membeli rumah agar jauh lebih bermanfaat dan terlihat. Orang tua ku sama dengan orang tua Axelle, mereka juga membeli rumah karena hasil dari warisan. Bahkan orang tua Jae-Hwo yang lebih kaya dari orang tua ku mau pun orang tua Axelle, juga mendapatkan rumah tersebut sebagai hadiah pernikahan dari kakeknya Jae-Hwo yang di Solo.
Kenapa aku jadi membahas hal yang tidak penting tentang warisan, sih.
Tak terasa, bubur sum-sum ku habis juga tapi aku masih merasa lapar. Sepertinya sate ayam dan lontong terdengar enak. Bagaimana jika aku memalak anak yang mendapatkan warisan ini untuk membelikan lontong sate ayam. "Agar warisan bermanfaat, belikan aku satu porsi sate ayam dan lontong!" Aku memasang wajah seimut mungkin dan aku yakin pasti terlihat aneh.
Jae-Hwo menatapku sembari meminum teh yang sudah hangat kemudian meletakkan gelas teh tersebut dan berdiri dari duduknya. Ia mebayar tagihan bubur dan teh hangat setelah itu ia memaksa ku untuk berdiri dari duduk ku. Aku yakin dia akan membelikan ku sate ayam jadi aku positif thinking saja. Wajah ku mendadak cemberut saat ia menaiki sepeda dan menyuruh ku untuk naik.
"Sate ayam!" gumam ku padanya yang sudah duduk di boncengan sepeda dengan menarik-narik ujung kaos olahraganya.
"Sarapan lagi di rumah. Bibi sudah memasakkan sarapan untuk kamu jadi kamu harus memakanya!" Kenapa ia terdengar seperti ibu jika seperti ini. Ah, pantas saja ibu lebih menyukainya daripada menyukai ku.
Aku masih cemberut sedangkan dia mengoceh tentang kehidupannya selama di Seoul yang tidak semeyenagkan di sini. Di sana dia harus melakukan banyak hal yang membuat tubuhnya lelah dan itu menyita waktunya untuk bermain. Dia harus belajar-belajar maka dari itu dia pindah ke sini agar hidupnya lebih santai. Sedangkan So Young, dia betah di sana karena saudari kembarnya itu suka belajar dan bisa di bilang gila belajar.
"Sangat menyenangkan, dapat warisan, hidup santai dan bisa bermain!'' komentar ku dan ia tertawa lepas. Tawa yang terdengar sangat lama tak di keluarkan.
Aku mengembuskan napas dan merasa, bahwa Jae-Hwo kehilangan kebebasan serta kebahagiaannya di sana. Terdengar jelas dari suaranya yang lepas dan seakan kembali menjadi kehidupan normal yang selama ini dia dambakan. Haruskah aku bersikap sangat baik padanya dan tak mengabaikannya atau menghapus rasa tidak suka ku padanya agar hidup Jae-Hwo di sini benar-benar terasa hidup karena tak kesepian akibat jauh dari keluarga. Tapi ... aku belum bisa karena sifatnya yang jail dan tak membiarkan diriku tenang barang sedetik.
Dia masih tertawa dan hati ku terenyuh mendengar tawanya ini.
Apa dia tak bisa tertawa lepas seperti ini saat di Seoul karena jadwal yang sangat padat dan membuatnya stress sehingga kehilangan tawa.
"Jae-Hwo, apa kamu gak butuh ke pisikolog untuk konsultasi karena sepertinya kamu sedang stress!" celetuk ku dan dia langsung mengerem sepedanya mendadak hingga kepala ku membentur punggungnya.
"Turun!" suruhannya dengan suara kesal namun aku engan untuk turun.
Jae-Hwo gila, dia menggoyangkan sepedanya agar aku turun dari atas boncengan tapi aku tidak akan mengalah. Enak saja aku di tinggal sendiri di sini.
"Axelle!" teriak Jae-Hwo dan otomatis aku ikut melihat ke arah mana Jae-Hwo berteriak.
Ya, sial. Itu benar-benar Axelle bersama selingkuhannya. Aku muak rasanya melihat itu. Dia berboncengan dengan selingkuhannya dan mereka tampak bahagia sedangkan aku di sini seperti orang sinting yang di paksa turun dari boncengan sepeda Jae-Hwo. Kenapa dia bisa terlihat begitu baik-baik saja sedangkan aku masih menyimpan rasa benci dan marah padanya. Sungguh, ini semua menyiksa ku. Aku ingin segera pulang ke rumah dan mandi lalu sarapan, setelah itu belajar untuk mengalihkan ini semua.
"Dia sibuk berpacaran jadi tidak bisa di ganggu, lebih baik kita pulang karena aku kelaparan!" Semoga saja Jae-Hwo menurut karena aku tak akan sanggup bila Jae-Hwo tau bahwa aku dan Axelle pernah berpacaran.
Aku tak sanggup akan reaksi Jae-Hwo.
Jae-Hwo mengangguk. "Melihatnya berpacaran membuat ku ingin muntah. Lihatlah gaya pacaran mereka yang mengelikan itu!"
Aku tak mau melihatnya dan cukup sekali saja aku melihat mereka bermesraan. Tidak untuk kedua kalinya atau pun seterusnya.
"Baiklah kita pulang karena ada yang kelaparan tapi kenapa bobot tubuhnya tak berkurang, ya?" Dia menuruti permintaan ku tapi sindirannya itu loh terdengar menyebalkan.
Dalam perjalanan pulang tiba-tiba dia berhenti dan berkata, "Aku merasa lapar setelah membonceng kamu!" Kemudian ia kembali mengayuh sepedanya sambil tertawa.
Sialan sekali perkataannya itu. Memangnya, aku seberat itu apa. Ih, menyebalkan.
To be continued.