"Plin-plan terhadap perasaannya sendiri adalah bakat alam manusia."
_______
"Roosevelt!"
"Roosevelt!"
"Roosevelt!"
Apa anak itu kini berubah wujud menjadi jam beker karena teriak-teriak seperti ini. Aku tak peduli dan tetap tak akan bangun untuk membuka pintu balkon dan melihat wajahnya. Aku masih mengantuk karena mengerjakan soal matematika yang susah kemarin sampai begadang dan beruntung soal tersebut sudah selesai meski aku tak yakin akan kebenaran jawabannya. Yang terpenting aku sudah berusaha dengan sangat keras untuk menyelesaikan soal tersebut.
Membicarakan tentang matematika membuat ku merasa seperti titisan Albert Einstein padahal otak ku jauh dari kata genius. Ah, alangkah bahagianya orang yang pandai matematika, sekali kedip langsung selesai.
"Roosevelt, bangun!"
Baru saja memasuki dunia anta beranta yang indah namun suara teriakan Jae-Hwo membuat ku terbangun dan kembali ke dunia nyata. Aku mengembuskan napas lalu duduk di atas ranjang dengan mengacak-acak rambut ku. Aku benar-benar ingin bolos sekolah sekarang karena masih mengantuk berat. Kedua mataku melihat jam digital yang menunjukkan pukul setengah enam pagi dan aku harus segera bersiap untuk berangkat ke sekolah. Tunggu, hari ini hari senin dan sekolah libur karena para dewan guru ada pelatihan selama satu hari. Ah, untung saja aku ingat. Jika tidak maka aku akan mendapatkan julukan murid teladan yang datang ke sekolah meski sekolah libur.
Hatiku tergerak untuk meladeni Jae-Hwo yang sepertinya masih berada di balkon kamarnya. Benar saja, dia masih di balokon kamar saat aku membuka korden dan dia yang melihatku, langsung melambaikan tangannya dengan tersenyum seolah kita akur saja. Mungkin akur menurutnya tapi tidak menurutku. Ada batas yang ku buat dan aku rasanya, hanya aku yang dapat melihat batas ini karena aku yang membuat batasnya.
Dia menyuruhku untuk membuka balkon namun aku tak menurutinya dan beralih duduk di kursi meja belajar dengan membuka jendela. Membuka jendela pada pagi hari sangat bagus untuk kesehatan karena udara akan saling berganti. Sekaligus melihat reaksi atau pertunjukan apa yang akan Jae-Hwo lakukan pagi ini. Ngomong-ngomong aku sudah lama tak melihatnya berada di balkon seperti ini. Jujur saja, aku menyukai momen ini karena sudah lama kita tak seperti ini.
Astaga, aku ngelidur atau gimana sih kok sampai menyukai momen ini. Baiklah, sadar Roosevelt.
Kemudian aku menguncir rambutku dan membuka buku yang asing karena ini bukan buku tulis ku. Jemariku membuka buku tersebut dan menemukan nama Axelle pada balik sampul buku. Ini adalah buku tulis milik Axelle dan dalam buku ini dia menulis tentang hal berbau basket dan ini adalah buku tulis ketiga. Senyum terukir saat aku melihat tulisan nama ku di sini. Dia menulis nama ku dengan sangat indah dan di akhiri tanda hati. Dia memang diam-diam manis.
Aku tertarik akan puisi yang ia tulis dalam bagian akhir buku dan ini kali pertama aku melihat puisi ini. Sejak kapan dia bisa menulis sebuah puisi.
"Bunga sepatu yang akan tetap menjadi bunga sepatu Karena aku tak akan membuatku kehilangan sepatu ku Jika aku kehilangan sepatu ku maka kaki ku akan terluka
Aku akan menjaganya dengan sangat baik
Akan rugi bila aku kehilangannya"
"Untuk siapa puisi ini? Kenapa aku merasa puisi ini adalah diriku karena aku menyukai bunga sepatu!"
Aku diam berpikir namun anak yang ada di balkon sebrang sangat menganggu dan membuat konsentrasi ku buyar seketika. Di pagi yang cerah karena libur sekolah ini pun dia tampil menyebalkan.
"Kita lari bersama seperti kemarin, yuuk!" ajaknya dengan wajah yang di buat imut. Asal kalian tau, dia pandai merayu orang dengan wajahnya tampannya yang di buat cantik dan imut seperti itu.
Terdiam. Aku merasa seperti sering mendapatkan ajakan seperti ini dari seseorang dan aku selalu mengiyakan karena terasa menyenangkan bila lari bersama dengan orang yang ku kenal dengan baik. Sayangnya, orang itu kini hanya menjadi kenangan buruk yang menyakitkan.
Namun tak ada salahnya bila aku menerima tawaran Jae-Hwo untuk lari pagi tapi aku takut perasaan ku akan terluka jadi, aku memberikan jawaban, "Jae-Hwo, aku akan mau olahraga pagi namun tidak dengan lari!" Sangat tidak baik bila aku tetap lari karena pasti akan membuatku kehilangan banyak napas akibat sesak dan aku takut akan melampiaskan amarah ku pada Jae-Hwo.
"Bagaimana kalo lompat tali?" tawarnya dan ada kejailan di sana. Pasti dia akan lompat tali dengan runcian karet gelang.
Aku menggeleng karena memiliki phobia terhadap karet gelang. Dia tau kalo aku phobia terhadap karet gelang tapi dia terus menjaili ku dengan karet gelang seperti kemarin malam. Sekarang dia mau menjaili ku lagi.
"Bagaimana dengan bersepeda bersama?"
Aku mengangguk setuju dan langsung berdiri dari duduk untuk membasuh muka dan gosok gigi. Aku adalah orang yang tidak akan mandi saat akan melakukan olahraga karena percuma aku menghabiskan air, ujungnya berkeringat akibat olahraga. Sangat tidak efisien dan pemborosan. Aku akan mandi jika selesai berolahraga.
Pada akhirnya aku menikmati senin pagi dengan bersepeda bersama Jae-Hwo. Kehadirannya kembali tak begitu buruk meski aku tak menyukainya. Ada perasaan sedikit lega saat melihatnya kembali pulang ke sini dengan kondisi sehat. Aku tidak berbohong, terkadang aku memikirkan kehidupannya dan So Young di Seoul. Apa kota itu memperlakukan saudara kembar itu dengan baik atau memperlakukan mereka dengan buruk dan lebih parahnya tak menganggap mereka ada.
Ya, aku orang yang cukup gengsi untuk menceritakan tentang kekhawatiran ku pada mereka. Meskipun Jae-Hwo sangat menyebalkan tapi tetap saja dia temanku dan aku bisa merasa khawatir terhadapnya seperti aku yang khawatir pada So Young dan Axelle dulu.
Pagi ini Jae-Hwo juga banyak bercerita sembari mengayuh sepedanya dan aku mendengarnya dengan sangat baik. Dia bilang kembali pulang ke sini bukanlah kehendak orang lain dan memang lebih cocok tinggal di Indonesia. Alasan yang sama, berarti dia memang tak berbohong tentang kenapa kembali ke Jakarta Utara.
"Ada satu hal yang menarik dan ini salah satu alasanku kembali kemari!" ucapnya pelan dan aku memasang telinga rapat-rapat agar tak jatuh saat mendengarkan apa yang akan Jae-Hwo katakan.
"Aku mendapatkan banyak warisan di Indonesia dan tak mendapatkan warisan sama sekali di Korea Selatan!"
Tawaku langsung meledak dan apa yang ia katakan itu bisa benar bisa juga lelucon karena ayahnya yang berdarah Solo memang anak orang kaya di Solo dan punya beberapa usaha. Sedangkan mama Jae-Hwo, nyonya Song Myung Hee, hanya anak mantan pegawai kantor perusahaan swasta yang tak terlalu besar. Mungkin rupiah tak seberapa bila di tukar dalam won tapi tetap saja, ayah Jae-Hwo memiliki nama keluarga Tamawijaya.
Tamawijaya, keluarga kaya turun temurun dari Solo. Keluarga yang di hormati di Solo.
To be continued.