"Bakat adalah nomor satu dan ketampanan adalah bonus."
_____
Hari minggu, waktunya untuk lari pagi keliling taman kompleks sembari menyapa anjing dan kucing milik para tetangga yang ikut olahraga pagi bersama pemiliknya. Aku memang sangat ramah pada semua orang, bahkan dengan hewan pun juga begitu. Terkadang aku mengajak para hewan untuk berinteraksi dan itu membuat orang-orang gemas melihatku. Padahal tidak lucu sama sekali. Aku hanya menjalankan tugas sebagai manusia yang harus berbuat baik pada semua mahkluk Tuhan, kecuali pada Jae-Hwo yang menyebalkan itu.
Lihat saja, aku tengah mempersiapkan balasan yang akan membuat Jae-Hwo kapok menjaliku lagi. Dia begitu jail sejak kecil dan itu semua tak berubah sampai sekarang meski aku baru bertemu dengannya lagi setelah sekian lama. Apa dia menjadi seorang penindas di Seoul sehingga dia kembali ke Jakarta Utara untuk melindungi reputasi keluarga serta memulai hidup baru lagi di sini. Kenapa aku terdengar seperti peduli padanya, sih.
Seharusnya aku tak memikirkan tentang Jae-Hwo karena setelah aku memikirkannya, dia hadir di sini. Di hadapanku dengan senyuman yang terlihat ramah tapi aku tak akan terpengaruh oleh senyum itu karena aku tau, pasti ada maksud buruk terselubung di dalam otak jailnya itu. Sehingga aku mengabaikannya dan berlari tanpa peduli bila dia mengejarku dan kini berlari di sampingku. Aku harap dia tak bersuara, jika dia bersuara maka aku akan menendang kaki panjangnya itu. Kenapa dia bisa setinggi ini sedangkan aku, tak bisa tumbuh tinggi dan kak Lovelace bilang jika aku hanya bisa tumbuh tinggi sampai seratus lima puluh lima. Apa semua kalsium dalam tubuh ku Jae-Hwo tarik sehingga dia bisa tumbuh tinggi seperti ini. Seratus tujuh puluh dan Axelle yang anak basket saja hanya memiliki tinggi seratus enam puluh delapan.
Mirisnya, mereka berdua bisa tumbuh menjadi lebih tinggi dari ini karena masih dalam usia pertumbuhan. Seharusnya aku juga bisa tapi nyatanya tak ada perubahan dari tinggi badan ku, hanya berat badan yang naik satu kilogram.
"Hadiah yang sebenarnya aku titipkan ke kak Lovelace dan itu benar-benar bukan seperti yang kemarin malam!" ucapnya saat aku berhenti berlari dan kini berjalan kaki.
Ya, aku sudah tau itu. Tadi pagi sebelum lari, kak Lovelace memberikan hadiah tersebut dan itu hadiah yang cukup menarik. Sebuah bedak tabur bayi buatan Korea Selatan. Dia tau, jika aku mengunakan bedak bayi, alih-alih bedak untuk remaja. Tapi aku tetap kesal. Baiklah, bedak di terima namun belum bisa menerima kejailanya kemarin malam.
Jadi aku tak akan mengatakan terima kasih sebagai balasan untuk yang kemarin malam. Entah kenapa, aku sangat pendendam dengan Jae-Hwo dan rasa seperti ini sudah ada sejak kecil. Sedangkan aku tak pernah menaruh dendam pada siapa pun, oh pada Axelle juga aku sekarang menyimpan dendam sakit hati. Apa aku baru sadar jika sebenarnya diriku ini seorang pendendam. Entalah, aku sendiri pusing dan aku baru ingat jika ada tugas matematika yang belum ku kerjakan karena aku tak bisa menghitung hasil akhirnya.
"Hai Cece selamat pagi dan semoga hari kamu menyenangkan!" sapa ku pada anjing tetangga yang bernama Cece. Dia sangat imut dengan bulu berwarna coklat keemasan.
Guk, guk, guk
Betapa pintarnya Cece menjawab sapaan ku. Dia memang anjing pintar dan mengemaskan. Seandainya aku mendapatkan izin untuk memelihara anjing, sudah dijamin aku akan memelihara anjing Siberian Husky untuk menakut-nakuti Jae-Hwo.
"Selamat pagi Roosevelt! Cece saja yang di sapa, kakek engak?" Kakek Rob selaku pemilik Cece mengodaku karena memang kebiasaan ku hanya menyapa Cece saja.
Aku tersenyum dan mulai menyapa kakek Rob, "Selamat pagi kakek Rob, semoga sehat selalu!" sapa ku dan di jawab dengan senyum khas kakek Rob yang meskipun sudah tua tapi aura tampanya masih terlihat.
"Siapa dia?" tanya kakek Rob dengan menunjuk Jae-Hwo yang berdiri lima kaki dari ku karena Jae-Hwo takut pada anjing dan lihatlah, wajahnya menjadi tegang karena menyembunyikan rasa takut.
"Dia Jae-Hwo, baru kemarin malam kembali ke sini lagi!" jawab ku pada kakek Rob dan kakek Rob nampak terkejut melihat Jae-Hwo.
Aku memelototi Jae-Hwo agar dia bersalaman pada kakek Rob namun dia menggeleng pelan dengan konotasi wajah yang sangat lucu. Jika aku tidak tau sopan santun di hadapan kakek Rob, aku pasti sudah menertawainya.
Kakek Rob tertawa dan mungkin beliau sadar jika Jae-Hwo takut dengan anjing. "Lain kali saja kita mengobrol Jae-Hwo, jika kakek tidak bersama Cece!" ucap kakek Rob pengertian dan melanjutkan jalan paginya bersama Cece.
Tampak jelas kelegaan di wajah Jae-Hwo saat Cece pergi namun kurasa, kesialan akan menimpah Jae-Hwo karena tetangga kami, Sandra lari lagi bersama anjing peliharaannya dan anjing bernama Keno itu berlari di belakang Jae-Hwo.
Guk, guk, guk
Tawa ku tak tertahan lagi, Jae-Hwo yang terkejut akan suara anjing langsung berlari kencang sedangkan Sandra tak peka jika Jae-Hwo takut dengan anjing dan ia tetap berlari di belakang Jae-Hwo bersama anjingnya. Tawa ku semakin kencang saat Jae-Hwo akan terpeleset karena saking takutnya dengan anjing. Sepertinya, Tuhan sudah membalaskan kekesalan ku pada Jae-Hwo jadi, aku tak akan melakukan apa pun untuk membalas kejahilan Jae-Hwo kemarin.
Setelah lari dari anjing yang sebenarnya tak mengejarnya hanya dia saja yang terlalu takut tapi terkesan bodoh. Jae-Hwo akhirnya lelah juga dan sekarang dia berjalan di sampig ku. Aku menoleh sekilas ke arah Jae-Hwo dan di rahang Jae-Hwo terdapat tetesan keringat dari kepalanya. Dan aku melihat, bahwa kulit wajah Jae-Hwo lebih halus daripada kulit wajahku. Tak hanya itu, wajah Jae-Hwo tak seperti kemarin. Apa dia memiliki ilmu untuk merubah wajah atau dia memang seperti Jhony Deep yang berwajah seratus.
"Kenapa kembali ke sini?" tanyaku dengan tak melihatnya lagi karena aku tak ingin dia besar kepala diperhatikan oleh seorang perempuan secantik dan seatraktif diriku.
"Di sini tempat ku dan aku lebih nyaman berada di sini!" jawabnya santai tapi aku tau, dia sedang menyembunyikan sesuatu karena aku cukup mengenalnya tapi bagaimana jika dia sekarang telah berubah karena manusia tak akan pernah sama seiring waktu.
Aku jadi terpikir akan satu hal. "Apa kamu di rundung di sana?'' tanyaku dan aku berubah pikiran. Dia sepertinya bukan tipe anak nakal melainkan anak yang mudah untuk di tindas.
Dia menggeleng dan hampir saja aku tersandung saat menoleh ke arahnya barusan.
"Aku cukup populer karena ketampanan ku dan mempunyai banyak bakat!" ceritanya sesumbar dan aku ingin sekali mengetok kepalanya agar tak sesumbar.
Tapi memang benar sih, dia memang punya banyak bakat. Salah satunya, bakat menjaili ku.
"Oh ya, aku tadi ke rumah Axelle tapi tak ada yang menyahut panggilan ku. Apa dia dan keluarganya tak ada di rumah?"
Baru saja aku bersikap baik padanya kenapa dia malah merusak suasana hatiku dengan bertanya mengenai Axelle. Dia memang pandai merusak suasana dan membuat kesal. Ah, itu bakat kedua Jae-Hwo.
"Mereka pergi ke tempat yang tinggi!" jawabku padanya dengan sangat datar.
"Kenapa kamu tidak memberiku kabar bila mereka meninggal?" tanyanya terkejut dan aku juga terkejut akan apa yang baru saja ia katakan. Bagaimana bisa dia berpikir begitu.
Astaga, apa aku yang salah jawab atau dia yang tak mengerti dengan kata-kata seperti ini.
To be continued.