"Tak sadar diri sama dengan tak tau diri."
_____
Aku menurunkan ego ku dan itu membuatku duduk bersebelahan dengan Axelle di atas rumput taman dan semoga saja rumput yang ku duduki ini tak di pipisi oleh kucing atau pun anjing. Bila rumput yang di duduki oleh Axelle yang bekas pipis kucing atau pun anjing sangat tidak masalah karena dia pantas mendapatkannya. Remaja laki-laki seperti dia pantas untuk mendapatkan noda kotoran hewan karena sifat semaunya sendiri itu.
Aku meliriknya sekilas dan wajahnya itu begitu tenang, seakan tak terjadi apa pun di antara kita. Hubungan kami putus dua hari yang lalu dan dia bersikap seperti ini. Apa hubungan baik kita sejak berusia empat tahun tak ada artinya. Kenapa aku jadi merindukan dia yang begitu menyayangi diriku sejak kami kecil dulu. Dia yang menjagaku dan membelaku saat Jae-Hwo mengganggu ku. Ah, aku tidak boleh goyah lagi, aku harus bersikap tegas padanya agar dia tau akan kesalahannya.
"Dunia ini menyuguhkan banyak warna. Tinggal pilih warna apa yang melambangkan diri kita." Entah dia kerasukan jin darimana sehingga mengucapkan kata-kata barusan. Mungkin saat berlari tadi ada jin yang tiba-tiba menempel dalam tubuhnya.
"Kamu pilih warna apa untuk melambangkan diri kamu?" tanyanya padaku dan aku semakin yakin dia memang kerasukan karena dia tipikal pemain basket yang jarang di kelas dan selalu mendapatkan peringkat paling bawah di kelas.
Satu lagi, dia juga bukan penikmat sastra. Bakatnya hanya basket dan tidak tau diri itu juga termasuk keahliannya.
Tak mengapa menjawab pertanyaannya, "Merah karena aku bisa membakar banyak hal dan menumbuhkan semangat hidup!" jawabku mantap karena merah adalah warna hidup ku.
"Ya, kamu memang seperti itu!" Tentu saja dia tau karena kita tumbuh bersama dan akhirnya jatuh cinta lalu berakhir karena dia menghianati hubungan kita. Terdengar biru.
"Warna hidup ku coklat! Begitu hangat dan menengakan." Dia benar dan tak salah. Hanya itu yang ia sadari dari dirinya sedangkan sifat semaunya sendiri tak pernah ia sadari.
Axelle memang begitu hangat dan menenangkan tapi itu dulu bagiku. Karena Axelle yang sekarang sudah tak sehangat dan semenenagkan seperti dulu sebelum dia berselingkuh. Mungkin sifatnya itulah yang membuat perempuan di luar sana begitu terpikat olehnya begitu juga dengan aku dahulu. Entah bagaimana aku bisa jatuh cinta padanya. Aku tak mengerti.
"Aku tidak bertanya!" ketusku untuk menghilangkan rasa suka padanya yang masih ada setitik.
"Sekedar wawasan untuk kamu sebelum kita berpisah sungguhan!" katanya dan aku tersenyum hambar mendengarnya.
Sungguhan, katanya.
Wawasan menurutnya, dasar tidak tau diri. Haruskah aku meminjamkan kaca besar di kamar kak Lovelace padanya. Atau aku berikan saja kaca itu padanya sebagai hadiah dia pindah rumah sehingga dia bisa terus mengingat diriku dan semua kelakuan buruknya pada ku itu. Ah, sepertinya ide bagus. Atau aku membelinya melalui aplikasi belanja daring sekarang dan minta di antar sekarang juga sehingga tak perlu mengemis kaca besar milik kak Lovelace.
"Baiklah, mari kita pesan hadiah perpisahan untuk kamu!" ucap ku lirih dan aku yakin dia mendengarnya jika telinganya tak tersumbat kotoran.
Dia menoleh ke arahku saat aku sibuk mencari kaca besar untuknya di ponsel ku. Dari aromanya aku yakin bila dia benar-benar berharap mendapatkan hadiah yang romantis. Uh, tentu saja hadiah ini akan menjadi hadiah romantis untuknya dariku sebagai mantan kekasihnya yang telah ia selingkuhi. Tunggu, aku meliriknya sekilas, aromanya berubah. Apa dia takut aku memberinya hadiah bangkai tikus atau kepala babi. Ah, sepertinya dia sekarang mencurigai hadiah ku.
"Jangan berangkat dulu sebelum hadiahnya di kirim ke rumah kamu karena aku engan mengirimkannya dua kali. Mengirimkannya ulang sangat melelahkan!" kata ku setelah selesai memesan kaca besar sebagai hadiah untuknya.
Dia berdiri dari duduknya. "Aku juga punya hadiah untuk kamu!" wajahnya yang khas wajah atlit itu tersenyum sumringah. Sangat menyebalkan karena dia bisa berubah-ubah aroma seperti ini.
"Kita pulang karena sinar matahari dapat membuat kulit kamu kering nanti!" Lihatlah sikapnya itu. Untuk apa ia memperdulikan kulit ku yang akan kering dan untuk apa dia mengulurkan tangannya padaku. Dia pikir aku lumpuh apa sehingga tak bisa berdiri dari duduk.
Aku tak menerima uluran tangannya dan berdiri dari duduk kemudian berjalan mendahuluinya. Saat dia menyamakan langka, aku terus menghindar dan menghindar. Terus seperti itu hingga beberapa tetangga yang lewat menanyai kami, apa kami sedang bermain di jalanan kompleks. Kadar emosi ku sangat tinggi dan aku harus menahannya, membiarkan dia yang menjawabnya. Untung saja dia tak bicara apa yang sebenarnya terjadi pada kami, jika dia membicarakan yang sesungguhnya, aku akan membanting kaca yang ku berikan sebagai hadiah nanti padanya setelah ku lem untuk menyatukan kepingan-kepingan yang pecah. Sebagai bentuk bahwa seperti itulah hatiku.
Apakah sungguh seperti itu bentuk hatiku sekarang. Atau tetap utuh namun terasa sakit karena tertusuk. Bila tertusuk, pasti ada luka tusukan di sini, di hatiku. Tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda. Seperti tak remuk dan tak tertusuk namun seperti tergores oleh ujung kertas yang ku pikir tak berbahaya namun ternyata bisa melukai. Ya, seperti itu rasanya.
Ah, apa aku sedari tadi menyebutnya 'dia' bukan namanya lagi. Sepertinya aku benar-benar sangat membenci menyebut namanya bahkan dalam hati sekali pun. Ya, dia memang pantas untuk di benci.
"Kapan hadiah ku akan sampai?" tanyanya saat kami sampai di depan rumah ku.
Sungguh tidak tau malu sekali dia bertanya seperti itu di saat hubungan kami seperti lautan dan kebakaran hutan seperti ini. Dia selalu menyulut api dalam diriku untuk membakar banyak pepohonan rindang yang menjadi hangus tak tersisa. Mungkin juga baginya aku seperti lautan yang menenggelamkan dirinya ke dasar laut yang gelap. Tapi itu bukan salahku. Dia yang memulai duluan dan kenapa juga aku begitu pendendam seperti setan pendendam. Apa barusan aku mengatai diriku seperti setan. Tidak, tidak. Bukan aku setanya tapi dia yang setan. Aku adalah manusia rapu yang mudah di tipu. Memang sangat sial memiliki karakter seperti ini. Tapi terkadang aku bisa menjadi sangat pemberani hingga melakukan hal yang di luar dugaan seperti apa yang akan ku lakukan saat cermin itu sampai nanti.
"Tunggu saja sampai Manchester United memenangkan liga Inggris musim ini!" jawabku kemudian memasuki rumah sambil tersenyum. Sebuah senyuman yang membuatnya sangat kesal karena dia fans berat setan merah. Bahkan Manchester United lebih baik darinya meski dijuluki setan merah. Dia benar-benar harus belajar banyak dari klub sepak bola favoritnya itu.
"Kenapa kamu selalu membullyku, hah?" teriaknya dari luar pagar rumah. Lihatlah, aku sangat senang dengan ini dan aku tak bisa tinggal diam jadi aku akan mengatakan sesuatu agar telinganya sakit hingga tembus ke jantung.
"Kenapa kamu selingkuh dari ku, hah?" balasku dengan teriak juga dan aku tak menyagka, teriakan ku dapat mengundang kedua orang tua kami termasuk kak Lovelace yang keluar dari balik pintu rumah kami.
Sepertinya kami akan di interogasi sampai kering karena keluarga kami tak tau akan masalah ini dan mereka mengira kami masih berpacaran. Ah, seandainya kita tak pernah berpacaran dan biarkan saja cinta itu bertepuk sebelah tangan agar hanya Axelle yang terluka.
To be continued.