Chereads / Mr. Lipstik's / Chapter 1 - Mantan Segalanya

Mr. Lipstik's

🇮🇩Vira_Zidnyta
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 13.9k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Mantan Segalanya

"Keserasian yang menjadi kenangan menyakitkan."

________

Aku berdiri di beranda rumah dengan melihat rumah yang berada di depan sana. Banyak orang yang sibuk memindahkan barang-barang ke atas truk. Sudah tak terhitung berapa banyak barang yang di masukkan ke dalam truk. Melihat itu semua membuat hati ku terpecah menjadi dua. Sisi lain aku sedih karena tetangga depan itu pindah rumah karena hubungan kami sudah sangat dekat sejak dulu. Sisi lainnya aku merasa senang karena aku tak perlu terlalu sering melihat wajah Axelle, mantan kekasihku. Hati ku masih terasa sangat nyeri, apa lagi memikirkan kenapa kita bisa menjadi sepasang kekasih hingga berakhir seperti ini.

Dulu kita baik-baik saja sebelum menjadi sepasang kekasih bahkan kita sangat serasi sebelumnya. Entah keserasian itu di lihat dari sudut pandang mana karena aku tak merasa seperti itu. Itu hanyalah anggapan orang-orang. Kalian tau, saat kita sebelum menjadi sepasang kekasih, orang-orang bilang kita cocok untuk menjalin hubungan asmara dan saat kita sudah resmi menjadi sepasang kekasih, orang-orang bilang kita serasi. Saat mereka tau hubungan kita berakhir, mereka berkata bahwa hubungan kita memang lebih tepat menjadi sepasang sahabat. Tidak lebih dari itu karena berteman sejak kecil lalu menjalin hubungan kasih itu terlihat membosankan.

Mungkin kita terlalu mengikuti arus pendapat orang lain. Sangat menyebalkan karena Axelle begitu peduli akan pandangan orang lain tentang hidup padahal aku sudah bilang berulang kali untuk tak terlalu mendengar omongan orang lain. Dasar pemuda itu benar-benar sialan. Beraninya dia melakukan ini semua padaku. Padahal kita dan keluarga kita sudah mengenal sejak lama. Aku benar-benar muak denganya yang berselingkuh karena hasutan teman-temannya. Benar-benar otak dan hatinya sudah tergadai oleh kebodohannya itu.

Sekarang, apa yang aku lakukan di sini. Kenapa aku terlihat begitu bodoh sekarang.

"Bu, aku keluar sebentar!" teriak ku pada ibu dan memang tidak sopan tapi aku harus melakukannya agar Axelle mendengar teriakan ku biar dia tau bahwa aku tak ingin menerima pamitnya saat berangkat pindah rumah nanti.

Baiklah karena tak ada sahutan dari ibu, aku bisa langsung pergi untuk menghirup udara segar bukan udara beratmosfir busuk karena tatapan Axelle dari depan truk itu. Pergilah sejauh mungkin bila perlu pindah sekolah agar aku tak bisa melihat wajah tampan yang memuakkan mu itu lagi. Percuma tampan bila berkelakuan buruk. Bahkan lebih buruk dari nilai ulangan harian matematika ku kemarin.

Keluar dari halaman rumah, pandangan mataku tertuju pada rumah sebelah yang sudah lama di tinggal oleh penghuninya pergi ke Seoul. Aku tak tau menyebutnya apa, anak-anak pemilik rumah itu warga negara Indonesia, mengikuti kewarganegaraan ayah mereka sedangkan ibu mereka tetap warga negara Korea Selatan. Entah kenapa saat melihat rumah itu kosong terlalu lama membuatku rindu akan kebisingan rumah itu, terutama baku hantam ku dengan anak pemilik rumah itu. Aku tersenyum tiap mengingatnya. Meski aku tak suka dengan anak laki-laki pemilik rumah itu, tapi aku tak membencinya. Ralat, hanya sedikit membencinya. Bahkan aku berteman baik dengan saudari kembarnya karena kita sama-sama perempuan dan sikap saudari kembarnya itu tak menyebalkan seperti saudara laki-lakinya.

"Roosevelt!"

Tidak bisakah Axelle membiarkan diriku tenang tanpa dirinya di saat terakhir kalinya dia tinggal di sini sebelum pindah rumah. Telinga ku akan pura-pura tak mendengar dan langkah ku akan tetap berjalan cepat agar dia tau bahwa aku sedang tak ingin di ganggu oleh siapa pun.

Aku benci kaki jenjangnya itu karena bisa menyamakan langka dengan ku. Anak basket memang menyebalkan dan sok keren. Ah, kenapa aku dulu bisa jatuh cinta padanya selaku teman ku sejak kecil karena bertetangga dan terlebih anak basket. Aku benar-benar kehilangan akal dulu karena cinta monyet yang ujungnya bikin sakit hati.

"Kami pindah rumah bukan untuk menghindar dari kamu tapi karena papa pindah tugas setelah sekian lama menunggu promosi jabatan!" kata Axelle dan aku tidak peduli dengan pekerjaan papanya yang seorang PNS itu karena ayahku juga seorang PNS jadi dua ayah ini memang tergila-gila akan promosi jabatan.

"Aku tau aku salah karena udah selingkuh tapi aku minta hubungan baik kita yang udah terjalin sejak dulu gak berakhir seperti ini. Gak pa-pa kalo kamu gak mau maafin aku yang penting kita tetap terlihat baik-baik aja. Gak enak di pandang orang!"

Mata ku ingin sekali berputar tiga kali saat Axelle mengatakan kalimat sampah barusan. Bisa-bisanya dia mengatakan kata barusan seolah aku ini apa. Oh, aku memang bukan apa-apa di matanya makanya dia bisa bertindak seenaknya sendiri. Terlebih sekarang, papanya sudah mendapatkan jabatan yang lebih tinggi satu tingkat dari ayah. Lihat saja, ayah pasti bisa mendapatkan jabatan dua tingkat lebih tinggi dari papa kamu agar kamu tak merendahkan ku seperti ini. Dasar remaja sinting.

Kenapa aku jadi ikut-ikutan seperti ayah yang gila akan promosi jabatan, sih!

"Aku juga pindah sekolah agar kamu merasa nyaman. Aku pindah ke sekolah Mary biar Mary gak ganggu kamu." Begitu entengnya dia mengatakan kata barusan.

Di cerita ini aku yang di selingkuhi dan Mary yang merebutnya dari ku. Lalu kenapa Mary akan mengangguku. Astaga, kenapa cerita asmaraku di usia tujuh belas tahun seperti ini padahal ini adalah cinta pertamaku dan seharusnya bisa menjadi kenangan indah tak terlupakan tapi ini menjadi kenangan buruk yang tak ingin ku kenang atau pun ku akui.

Bibirku rasanya gatal bila tak menanggapi ocean Axelle jadi aku mengumpulkan semua emosi negatif dalam diriku untuk memuntahkannya pada Axelle agar dia tak bisa seenaknya lagi. "Aku ingin lari!" Bibir ini memang tak bisa diajak kerjasama. Aku pun lari, lari meninggalkan Axelle di belakang karena aku tak bisa mengatakan kata-kata kasar padanya. Kata-kata kasar itu tertelan lagi dan sekarang aku akan melepaskan kata-kata kasar itu bersama keringat tubuh karena berlari.

Telinga ku mendengar suara sendal japit yang saling beradu dengan aspal kompleks. Aku yakin itu suara langkah Axelle karena kita sama-sama mengenakan sandal jepit. Aku tak peduli padanya yang ikut menyusul berlari karena aku hanya ingin menghilangkan emosi dalam tubuhku bersama buliran keringat. Biarlah dia ikut lari, hitung-hitung ini terakhir kalinya ia berlari di kompleks ini sebelum pindah.

Kebiasaan ku adalah berlari untuk menghilangkan emosi negatif dari dalam jiwa. Aku memang kadang bisa berkata-kata kasar namun kata-kata itu tak sampai keluar dari bibirku karena bibir ku tak pernah bisa diajak kerjasama untuk memaki. Sungguh bibir yang luar biasa pintar. Makian-makian akan membuatku menyesal suatu hari nanti jadi aku tak mau memaki orang lain meski aku sangat terluka dan tersinggung akan ucapan orang tersebut.

Aku mengembuskan napas saat sudah sampai di taman sembari berhenti berlari dan aku melihat punggung Axelle yang berlari menyalipku. Pandangan mataku jatuh pada sandal jepitnya. Itu sangat mengangguku dan aku baru ingat sesuatu. "Apa sudah tidak waras berlari dengan sandal jepit? Kamu calon atlit basket jadi itu bisa melukai kaki kamu!" omelku pada Axelle dengan sangat keras sehingga ia langsung berhenti dari larinya.

Napas ku tersengal-sengal menatap Axelle yang berhenti berlari kemudian ia memutar balik tubuhnya dan pandangan matanya menatapku penuh kagum. Sialan sekali tatapan mata itu.

To be continued.