Sudah dua hari sejak Liora yang berusaha mendekati suami dengan pura-pura tertidur. Sebenarnya Liora tidak menduga bahwa Liam akan menggendongnya, bahkan sampai ke kamar. Padahal ia tidak sungguh terlelap, hanya ingin melihat perlakuan Liam jika melihat sang istri tertidur di kantornya. Berhasil Liora mendapatkan jawaban, pria itu tidak membuatnya terbangun melainkan menggendong Liora hingga ke rumah besar.
Betapa bahagianya ia malam itu bisa dalam dekapan erat suami. Makan siang hari itu sungguh hari yang beruntung, Liam menghabiskan makanannya dan membawa Liora pulang dengan penuh percaya diri. Ia bahkan selalu tersenyum saat bangun pagi, tidak sungkan menceritakan peristiwa tersebut kepada Grizel dan Diomira. Meskipun pria itu masih berekspresi dingin, tetapi sedikit lebih ada perhatian di sana. Liam selalu menerima jika Liora melayani dengan memilihkan baju kerja, mengambilkan sarapan, dan memasak untuknya setiap pagi. Pria itu juga mudah menjawab pertanyaan Liora.
Seperti saat ini Liora sibuk memasak di dapur. Ia sengaja bangun pagi untuk membuat sarapan, bahkan pelayan belum ada yang bangun. Masih sangat pagi dan gadis itu tidak berhenti menguap, tetapi tetap sadarkan diri agar tidak terpejam.
"Seharusnya menggunakan bumbu ini saja," gumamnya.
Mendapati botol kecil berisi bumbu yang sudah halus di kulkas. Sedikit kesal ia mempoutkan bibirnya seraya mengaduk. Jika ia tahu ada bumbu yang sudah siap, Liora tidak akan susah mengupas bawang dan menghaluskannya.
Di tengah rasa kesal ia mendengar suara langkah dan kemudian deheman pelan. Liora menaikkan kedua bahu sebab ada sedikit takut langsung berbalik. Mendapati sosok pria tinggi berbalut kaos putih yang tengah menatapnya.
"Ka-kau."
Liam mengerut melihat gelagat sang istri yang terkejut, apalagi Liora langsung menghembuskan nafas lega.
"Mengagetkan saja," gumamnya.
Si pria membuka kulkas guna mengambil sebotol air dan menuangkan pada gelas. Menenguknya penuh hingga tandas lalu kembali menatap Liora yang masih sibuk mengaduk masakan di atas kompor.
"Kenapa?" tanyanya.
Sang istri menoleh. "Ada apa?"
"Kau terkejut?" Liora mengangguk satu kali.
"Ini masih sangat pagi dan belum ada yang bangun. Aku berpikir ada orang asing atau—"
"Hantu?"
Liora menggeleng-gelengkan kepala mendengar sahutan suami.
"Tidak akan ada siapa-siapa kecuali penghuni rumah. Penjagaan sangat ketat di luar."
Gadis itu menganggukkan kepala. "Aku mengerti."
Liam sedikit mendekat guna melihat isi panci di atas kompor tersebut.
"Apa yang sedang kau masak?"
"Ah, Apa kau suka sup ayam?" Penuh hati-hati Liora bertanya.
"Aku lebih suka sup daging sapi."
Liam meletakkan gelas pada rak tempatnya.
"Begitu, ya. Tapi, tidak ada daging sapi yang tersedia. Sepertinya Bibi belum berbelanja. Jadi, aku masak apa yang ada di dapur."
Mendengar kalimat panjang Liora dan melihat gadis itu yang sangat berhati-hati. Di tambah kepalanya menunduk dengan raut wajah cemas.
"Tidak masalah. Masaklah apa yang ada."
Liora mengangguk kemudian kembali memeriksa sup ayam di kompor yang ternyata sudah matang sempurna. Ia mematikan api kompor dan mengambil mangkuk kecil. Menuangkan satu sendok sedang sup ke dalam mangkuk tersebut.
"Supnya sudah matang. Apa kau ingin mencobanya?"
Ia ulurkan semangkuk sup kecil itu kepada Liam di bumbui senyuman simpul. Sang pria menatap sebentar dan mengambilnya. Menyendokkan kuah sup lalu meniup perlahan dan langsung menyeruput.
"Bagaimana rasanya?" Tidak sabar Liora mendengar jawaban.
Liam mengangguk sekali. "Enak."
"Sungguh?"
Hampir saja Liora memekik mendengar respon Liam tentang masakannya. Gadis itu tersenyum sumringah kala melihat sang suami mengangguk lagi. Terlihat raut wajah bahagia di sana menatap Liam penuh seru.
Sedangkan, sang pria hanya terdiam kala mendapati reaksi istrinya yang bahagia bukan main. Senyuman lebar itu menghiasi wajah putihnya dengan nyaman, bahkan berhasil menenangkan batin Liam beberapa saat. Seketika, Liam merasa percakapan mereka pagi itu penuh kebahagiaan. Liam belum pernah menatap lama sang istri, ternyata istrinya sangat manis jika tersenyum seperti itu.
"Aku akan menyiapkannya di mangkuk untuk sarapan."
Suara dengan kalimat girang membuat Liam tersadar dari lamunan. Liora sudah menuangkan sup ke dalam mangkuk besar. Gadis itu membawa mangkuk berisi sup ayam ke meja makan yang tidak jauh dari pintu dapur.
Tidak lama Liora kembali dengan membersihkan panci dan kompor di wastafel. Liam hanya melihat apa yang dilakukan sang istri tanpa bicara. Sampai si gadis terdiam memikirkan lauk yang akan ia masak dengan bahan-bahan di atas meja dapur. Pria satu-satunya di sana menyadari akan kebingungan istrinya. Ia bersuara dengan dehemen sedikit lebih keras.
Berhasil membuat Liora terkejut. Ia menoleh kemudian meringis.
"Maaf, aku tidak tahu apa yang akan aku masak sekarang."
Liam menghembuskan nafas lantas berjalan mendekat.
"Mudah saja. Sup ayam juga cocok dengan lauk telur dadar." Sembari menatap kemasan telur yang isinya 10 buah.
Liora mengikuti arah pandang lalu kembali menatap suami. "Kau suka telur dadar?" Mendapat anggukan pelan.
Sang pria mengambil mangkuk kecil dan memecahkan dua telur ke dalam mangkuk tersebut. Mengambil talenan kayu bersamaan dengan daun bawang, secepat Liam mengiris tipis daun bawang setelah ia cuci di keran. Menuangkan pada mangkuk berisi telur dan bumbu lalu mengaduknya. Tangannya cekatan menyiapkan wajan di atas kompor memasukkan minyak goreng hingga panas dan menuangkan telur dari mangkuk. Sang istri hanya melongo menatap Liam yang ternyata bisa cekatan memasak telur dadar.
Tidak lama telur dadar sudah tersaji apik di piring. Liam mengulurkannya pada Liora.
"Sudah selesai."
Liora masih penuh takjub menatap suami, alhasil ia hanya menganggukkan kepala.
"Buatkan aku teh panas."
Pria itu melengos sembari membawa telur dadar di piring ke meja makan. Meminta sang istri untuk membuatkan teh panas kesukaannya. Liora segera menyadarkan diri kala suami sudah pergi.
"Baiklah," serunya.
Tangan mengambil panci kecil untuk di tuangkan air, ia letakkan di atas kompor. Mencoba menghidupkan api dan siap memasak air panas. Liora bergeser untuk membereskan meja dapur yang sedikit berantakan tanpa menyadari lengan menyenggol wajan panas bekas Liam memasak tadi hingga terjatuh. Liora sontak meraih wajah panas itu dengan tangan, detik kemudian langsung berteriak. Membuat sang suami berlari menghampiri dengan terkejut.
"Apa yang terjadi?"
Liora sudah memeluk tangan kanannya seraya meringis sakit. Segera Liam mencekal tangan yang sudah memerah itu. Menarik ke arah wastafel dan menghidupkan keras guna membasuh telapak tangan Liora.
"Selalu ceroboh," celetuknya.
Liora mendongak. "Maaf. A-aku tidak sengaja."
Setelah dibasuh sedikit lama, Liam meniup tangan tersebut dengan pelan. Liora yang menatap hanya bisa menahan senyum, tidak menyangka bahwa Liam sungguh menolongnya. Bukan sekedar menolong nyawanya, pria itu semakin lama semakin perhatian.
"Nona— eh!"
Suara riang terdengar di ambang pintu dapur bersamaan dengan sosok gadis berbalut baju pelayan berdiri penuh terkejut. Tidak luput dua orang di dapur itu juga terkejut setengah mati. Liam langsung melepaskan cekalan tangan sang istri dan Liora juga menariknya cepat dan menatap sumber suara.
"Grizel," gumamnya pelan.
Sedangkan, Liam mencoba bersikap biasa saja meskipun seperti tengah terciduk sesuatu. Pandangannya ke arah lain dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana yang hanya sampai lututnya itu.
"Kalian—"
Liam segera berdehem keras. "Siapkan baju kerjaku." Kemudian berlalu pergi meninggalkan dapur begitu saja.
Liora mengangguk cepat seraya memandang Grizel yang sudah penuh dengan raut terkejut. Pelayan muda itu berlari menghampiri sang Nyonya.
"Adegan Anda dan Tuan Muda tadi manis sekali."
"Kau melihatnya?" Liora bertanya.
"Sedikit." Grizel menunjukkan gerakan telunjuk dan jempol yang bertemu.
"Jika sedikit, kenapa dikatakan adegan manis?"
"Nona, Tuan Liam itu sulit ditaklukan. Tetapi, dengan usaha Anda selama beberapa kali sepertinya berhasil. Pagi Anda hari ini sangat beruntung, Nona."
Liora tersenyum. "Menaklukan seorang pria itu mudah untukku."
"Benarkah?" Sang majikan mengangguk.
"Apakah Tuan Muda yang pertama?"
Si gadis dengan cepat menggeleng. "Bukan, dia yang kedua."
Grizel menyipitkan kedua mata. "Lalu, siapa yang pertama, Nona?"
"Kak—"
Suara yang tadinya terdengar semangat seketika terhenti. Liora terdiam tidak melanjutkan kalimatnya. Grizel hanya menatap bingung dan menunggu kalimat selanjutnya. Namun, disebabkan Liora yang terdiam seperti melamun segera pelayan tersebut memanggil lebih keras.
"Nona!"
Liora tersentak kaget ia memandang Grizel dengan mengatur nafasnya menjadi tenang.
"Anda baik-baik saja?"
Gadis itu menganggukkan kepala sembari tersenyum tipis. Ingatannya kembali pada air yang masih ia masak di atas kompor, Liora berbalik dan berjalan cepat guna mematikan kompor. Namun, karena terlalu lama dan air yang dimasak hanya sedikit. Airnya sudah menjadi uap dan tidak tersisa di pancinya.
"Astaga! Aku benar-benar lupa."
Benar kata sang suami, bahwa Liora itu sebenarnya selalu ceroboh.
•••
Gedung perusahaan Lory sudah ramai dengan para pekerja. Segala sesuai pekerjaan masing-masing sudah bertugas dengan baik. Sang sekretaris Elva pun sudah duduk siaga di ruangannya. Sang Bos Perusahaan baru datang mengeluarkan diri dalam mobil.
Gagah seorang Liam Mallory pemilik perusahaan besar melewati pintu utama. Semua para karyawan menyambut dengan sopan kepada Liam. Pria itu masuk ke dalam elevator bersama satu pengawal pribadi. Menuju ruang kerjanya pada lantai paling atas.
"Selamat pagi, Pak."
Elva menyambut Liam dengan hormat, dibalas anggukan satu kali.
"Permisi, Pak."
Sekretaris menyapa lagi dan Liam berhenti di depan pintu ruangannya.
"Ada seseorang yang sudah menunggu Anda di dalam ruangan."
Liam mengerut. "Siapa?"
"Nona Camille."