Pria berhidung mancung dengan bola mata biru itu sudah mendengus beberapa kali. Ia tengah berdiri menatap bangunan-bangunan yang bertengger di kota tersebut melalui jendela kaca ruang kantornya. Tangan ia masukkan pada saku celana, tatapan tersirat sedang memikirkan suatu hal. Pikirannya terpaut pada peristiwa tadi pagi yang membuat keadaan semakin rumit.
Liam tidak pernah berpikir bahwa Camille bisa datang kapan pun. Hubungan mereka sudah hangus, tetapi gadis itu berani mengusik hidupnya. Sejak Liam menikah memang masih merindu, namun kehadiran sosok Liora membuatnya sadar bahwa ia sudah memiliki seorang istri. Di tambah kalimat tulus yang ia dengar lewat pintu dapur sungguh membenarkan hal itu.
Jika, Liora saja ingin mempertahankan dan menganggap bahwa pernikahan ini nyata. Lalu, apa boleh buat oleh Liam?
Ia bukan lelaki yang suka menyakiti, terlebih lagi kepada seorang istri. Elard—sang ayah tidak pernah mengajarkan untuk menelantarkan seseorang dalam hidupnya. Liam sangat tahu bahwa pernikahan itu sakral dan nyata.
Liam juga ingin menerima dan memperjuangkan pernikahan mereka.
"Permisi, Pak."
Suara Elva yang sudah berada di sekitarnya membuat Liam menoleh.
"Rapat hari ini—"
"Batalkan saja."
Liam bergerak menghampiri kursi kerjanya. Menghiraukan raut sekretaris yang terkejut.
"Tapi, Pak—"
"Atau di tunda terlebih dulu. Aku ingin pulang."
"Rapat akan dimulai 30 menit lagi—"
"Apa kau tidak mendengarkanku?"
Setelah mengambil jasnya ia berdiri di hadapan Elva yang seketika menunduk.
"Lakukan saja perintahku."
Tangan kemudian mengambil ponsel dan berlalu keluar ruangan. Meninggalkan Elva sendirian yang sudah menatap kesal.
"Kenapa dia selalu menyusahkanku?!"
Di sisi pria itu sudah ada di dalam mobil bersama sang sopir yang siap mengantarkannya kemana pun. Kali ini, Liam ingin pulang lebih awal untuk menjelaskan semuanya. Saat kehadiran Camille tadi pagi, Liam bisa melihat reaksi Liora yang sangat terkejut sekaligus takut.
Ketika ia ingin berangkat ke kantor, istrinya sama sekali tidak mengantar sampai depan rumah. Bahkan Liam tidak mendapat senyum satu inci pun. Biasanya, gadis itu akan tersenyum apapun yang terjadi meskipun Liam hanya menatap datar tanpa balasan. Tetapi, hari ini perasaan Liam tidak suka melihat istrinya hanya diam bungkam kala pertemuan mereka.
Ponsel tiba-tiba bergetar dalam genggaman, Liam segera menjawab.
"Ada apa, Carlos?"
"Bos, kami sudah sampai di sini. Rumah ini kosong, tapi isinya masih sempurna."
Pria itu mengerut. "Periksa seluruh rumah itu tanpa terkecuali."
"Baik, Bos."
Panggilan di putus sepihak oleh Liam kemudian kembali menatap jalanan luar lewat jendela mobil. Laju kendaraan yang sedang dengan suara halus mesin bisa ia dengar. Sembari larut pada sunyi membuat Liam membayangkan lagi raut sang istri yang terlihat kesal. Meskipun tidak terlontar dari bibirnya, tetapi Liam baik dalam meneliti ekspresi seseorang.
Tidak butuh waktu lama mobil sudah bertengger di depan rumah besar guna membiarkan sang majikan turun lebih dulu. Kedua kaki panjang itu menapak menuju pintu utama yang sudah terbuka lebar dengan beberapa pelayan menyambut. Namun, tatapan hanya ia layangkan pada seluruh sudut ruangan. Detik kemudian tidak mendapatkan apa yang dicari.
Bergegas meletakkan tas kantor di atas sofa lalu melangkah masuk dapur. Tepat, istrinya tengah membelakangi Liam. Kedua tangan gadis itu berkutat di wastafel. Liam mencoba mengambil langkah mendekati dengan alasan membuka kulkas mengambil air dingin. Tetapi, langkahnya yang lumayan keras tidak mengalihkan pandang sang istri.
Liora masih mencuci kentang bulat yang sudah di kupas pada sebuah mangkuk besar kaca. Si pria menyipitkan kedua mata menatap lebih dalam. Tangan kanan ia gunakan memegang gelas kaca berisi air dingin yang baru saja di tuangkannya.
Liam berdehem cukup keras, tetapi tidak mendapat tatapan. Hingga memberanikan mendekati sang istri.
"Ekhem!"
Seketika itu Liora mendongak, tetapi kemudian mengalihkan dengan mencuci tangan dan membawa mangkuk besar pada meja di tengah dapur.
Liam bingung harus melakukan apa untuk menarik perhatian istrinya. Di sisi lain ia merasa bersalah karena telah membiarkan Camille hadir tadi pagi secara tiba-tiba.
"Ekhem!" Ia meletakkan gelas di atas meja dekat Liora yang masih bersanding memotong kentang membentuk dadu.
"Kau sedang apa?"
Tidak mendapat balasan apapun, Liam bukanlah tipe orang yang suka menyapa lebih dulu. Namun, entah kenapa ia merasa istrinya tengah mendiaminya dan Liam juga merasa bersalah. Dalam hatinya ingin memperbaiki hubungan mereka yang tidak baik tadi pagi.
"Aku minta maaf."
Kalimat tersebut tiba Liam ucapkan kala Liora masih berkutat dengan kentang bersama talenan dan pisau. Tangan kanan gadis itu berhenti lalu mendongak, berseborok dengan suami.
"Kenapa kau minta maaf?" tanyanya.
"Tentang tadi pagi. Aku ... aku sungguh tidak tahu."
Si gadis langsung menunduk. Liam bisa melihat kedua mata bulat itu menyimpan kesedihan.
"Apa kau merasa tidak nyaman?" Liora mengangguk.
"Karena, ada aku di sini?" Mendapat gelengan pelan.
Kedua alis Liam menukik. "Lalu, dengan Camille?"
Liora menatap seulas senyum tipis tertarik pada sudut bibirnya.
"Tidak apa. Aku ... baik-baik saja."
Kembali dengan kegiatannya memotong kentang berdadu. Menghiraukan Liam yang masih menatap bingung. Terlihat sekali bahwa Liora tidak nyaman dengan kehadiran Camille hari ini. Tetapi, gadis itu selalu berkata baik-baik saja.
Liam menjadi tambah merasa bersalah. Entahlah, ia hanya tidak ingin istrinya merasa tidak baik-baik saja. Di tambah kehadiran mantan kekasihnya, Liam masih mengingat kalimat panjang Liora. Gadis itu sungguh menerima pernikahan ini dengan hati dan nyata. Itu berarti, Liora berharap bahwa hubungan rumah tangga ini harus tetap berjalan.
"Akh!"
Pekikan nyaring menembus gendang telinga Liam yang tengah melamun. Ia mengalihkan pandang pada seseorang di sebelahnya sekaligus membelalakkan kedua mata.
Liora sudah menangis seraya menyentuh pergelangan tangan menatap jari telunjuk yang berceceran darah. Secepat kilat Liam menarik tangan itu menuju wastafel. Membasuh jari Liora dengan air mengalir perlahan sembari mencoba mengelus pelan dan meniupnya.
"Nona Liora."
Ia alihkan pandang menatap Diomira yang hadir penuh cemas di sekitar mereka berdua.
"Bibi, tolong ambilkan kotak obat."
"Baik, Tuan."
Kepergian Diomira membuat Liam menarik tangan si gadis. Liora masih meringis dengan pipi sudah basah oleh air mata. Menangis dalam diam itulah seorang perempuan.
Liam meniup perlahan jari telunjuk Liora di hadapannya. Sesekali melirik si gadis yang menunduk menahan perih.
"Apa masih sakit?" Yang di tanya mengangguk sekali.
Bodohnya, tetapi Liam harus bertanya untuk pendekatan lebih lama.
Ia menyeret lembut gadis itu untuk duduk pada kursi ruang meja makan. Tidak lama Diomira membawa sekotak obat yang sudah di siapkan. Dengan telaten Liam mengobati segores pisau di jari sang istri. Ia melakukannya dengan hati-hati sebab melihat Liora yang hanya memejamkan mata menahan sakit.
"Sakit," pekiknya kecil.
Liam mengangkat lirikan guna menatap si empu. "Sebentar lagi."
Setelah mengolesi sedikit salep sembari meniup lembut jari telunjuk. Tangan Liam bergegas membuka plester dan membalutkan pada luka tersebut.
"Masih perih?" tanyanya.
Gadis itu membuka kedua mata lalu menggeleng.
"Terimakasih."
Namun, bukanlah senyuman atau balasan anggukkan dari sang suami. Melainkan tatapan dingin Liora rasakan di sekitarnya tiba-tiba, saat itu juga.
Mengapa Liam cepat sekali berubah?
"Kenapa kau suka menyakiti dirimu sendiri?"