Camille Auristela, nama itu masih terpajang bersih di kontak ponsel milik Liam Mallory. Ia tidak berniat untuk menghapusnya, masih mengharapkan gadis itu akan menghubunginya. Siapa tahu, Camille berubah pikiran dan kembali lagi. Namun, itu semua hanya mimpi yang tenggelam dalam palung belaka. Sampai hari pernikahan di jalaninya bersama perempuan lain, terlebih lagi seorang gadis asing yang Liam tidak mengenalnya sama sekali. Camille masih belum menghubungi Liam.
Membutuhkan beberapa hari ia menjalani pernikahan. Camille yang sudah menjadi masa lalunya tiba-tiba hadir begitu saja. Masih membawa hal yang sama, nihil penjelasan. Liam muak mengetahui fakta bahwa sikap Camille yang begitu mengecewakan. Dia melakukan apapun yang diinginkannya. Pergi lalu datang kembali, memohon dan lain sebagainya. Seolah dia tidak melakukan apapun. Nyatanya Camille berhasil membuat Liam frustasi.
Namun, jika ditanya apakah Liam merindukannya?
Tentu saja, iya. Camille satu-satunya gadis yang ia kenal dan berhasil membuat Liam jatuh hati. Sulit melupakan sudah pasti, tetapi rasa marah dan kecewa Liam membuncah. Maka dari itu, hatinya masih tidak terima karena Camille pergi dan mereka tidak bisa hidup bersama.
Liam mendengus menatap nama itu lalu mematikan ponsel dan meletakkan di atas nakas. Menoleh kepada sosok istri yang masih terlelap di sebelah lalu membuka selimut dan masuk ke dalam kamar mandi.
Terdengar pintu tertutup, Liora terbangun menatap kosong tempat di sampingnya. Detik kemudian mengulum senyum kala mengingat tadi malam Liam menggendongnya lagi sampai di dalam kamar. Melihat perubahan sang suami yang perhatian membuat Liora bahagia. Ia dengan senang hati bangun pagi dan menyiapkan segalanya, demi seseorang yang sudah menjadi suaminya.
"Bagaimana tidur Nona tadi malam?"
Diomira seraya mengaduk adonan kue bertanya. Liora tersenyum setelah menyiapkan tumis sayur dalam piring.
"Sangat nyenyak, Bibi."
"Tuan Muda Liam yang menggendong Nona ke kamar saat mengetahui Anda tertidur di ruang tamu."
"Aku tahu." Liora mendekati sang pelayan dan berbisik, "Sebenarnya, aku sudah bangun saat dia datang."
Diomira membuka mulut terkejut. "Apa maksud Nona?"
Liora terkekeh. "Bibi, aku hanya pura-pura tidur."
"Apa? Jadi, tadi malam Nona membohongi Tuan Muda lagi?"
Mengingat sudah dua kali Liora pura-pura tertidur hanya untuk menarik perhatian Liam. Pertama saat di kantor dan yang kedua tadi malam. Diomira dan Grizel mengetahui semua peristiwa tersebut.
Gadis itu mengangguk sembari tersenyum kikuk. Hanya Diomira menggeleng-gelengkan kepala melihatnya.
"Bibi, maafkan aku. Jangan beritahu dia, ya. Semua aku lakukan hanya untuk menarik perhatiannya. Aku sebagai istri jarang bicara pada suami itu membuatku merasa bukan siapa-siapa. Bukankah, aku dan dia sudah menjadi pasangan? Seharusnya, ada sedikit perhatian dan pembicaraan di antara kami. Seharusnya, ada sedikit afeksi yang harus di lakukan satu sama lain."
Liora menundukkan kepala lalu melanjutkan, "Aku hanya ingin menjadi istri yang baik. Mendapatkan hak sebagai istrinya dan juga ingin dia bicara dan menerimaku. Bukan membiarkan aku seperti ini, Bi. Seolah, aku hanya pajangan belaka dan hadir saat pernikahan saja."
Gadis itu tersenyum miris lantas mendongak. "Tapi, usahaku selama ini sudah sedikit membuat dia mau menatap dan berbicara padaku. Aku bersyukur dia masih melihatku ada di sini."
Diomira yang mendengar hanya bisa diam menatap sendu gadis di depannya. Ia sadar bahwa Liora sungguh berusaha untuk merebut hati suaminya. Gadis itu tahu bahwa mereka adalah pasangan suami istri yang seharusnya ada pertemuan dan kasih sayang di sana. Liora sudah melakukan dengan benar. Pernikahan adalah suatu hal yang sakral, harus dijaga, dihargai, dan di pelihara dengan penuh perasaan.
"Nona, Anda sudah melakukan hal yang benar."
Liora tersenyum. "Pernikahan itu nyata, Bi. Aku tidak ingin ada kesalahan dan berakhir menyakitkan nanti. Siapapun yang sudah menikah harus bisa mempertahankan rumah tangganya. Bagiku, hubungan ini bukanlah permainan. Aku benar-benar merasakan dan menghargainya. Maka dari itu, aku ingin dia juga merasakan hal yang sama. Bukan sekadar menutupi kecelakaan ketika pernikahan. Ini sudah sah di mata hukum dan negara."
Diomira mengangguk-anggukkan kepala mengerti. Tangannya mengelus lembut lengan Liora kemudian menarik untuk dipeluknya. Melihat gadis itu kuat dan memikirkan semuanya, Diomira sangat terharu.
Tanpa ada yang tahu, seseorang di depan pintu dapur tertegun mendengar kalimat panjang yang di utarakan sang istri. Memang benar, dari awal pernikahan ia tidak pernah memberikan hal yang biasa di lakukan oleh pasangan suami istri. Liam terlalu kaku untuk menyapa lebih dulu atau sekadar tersenyum kepada istrinya. Bukan karena apa, Liam masih memikirkan hati yang ditinggal sendiri secara tiba-tiba oleh sang kekasih.
Namun, entah kenapa Liam semakin hari sedikit bisa menatap dan membalas pertanyaan Liora. Ada sesuatu yang membuatnya tertarik akan perlakuan dan perbuatan istrinya itu yang membuat Liam ingin bertindak lebih.
"Bibi, aku akan meletakkan sayur ini di meja makan."
"Baik, Nona."
Seketika kediaman Liam hancur mendengar suara lagi. Segera kakinya bergeser untuk bersembunyi dibalik tembok. Menghindari sang istri yang akan berjalan melewatinya.
"Sayur dan lauk sudah siap, tinggal air minum saja."
Liora berbalik menuju dapur untuk mengambil kekurangan di atas meja makan. Di sisi Liam hanya bisa menatap dari kejauhan, posisi masih bersembunyi. Belum ingin menampakkan diri karena masih memikirkan kalimat istrinya yang terlalu benar. Liam mendengus seraya merapikan dasi biru di leher, hingga suara dari belakang mengejutkannya.
"Tuan Muda."
Hampir saja Liam melompat terkejut, jika ia tidak langsung berbalik guna menatap sumber.
Liam berdecak lirih. "Mengagetkan saja,"
"Maaf, Tuan. Apa yang Anda lakukan di sini? Seperti sedang bersembunyi."
Seketika Liam tertegun bahwa tebakan Xavier itu benar. Segera ia berdehem dan bersikap tegas seolah tidak terjadi apapun.
"Tidak ada," suaranya dalam.
Menghiraukan Xavier begitu saja dengan memilih berjalan menuju meja makan. Duduk pada kursi diikuti kemunculan Liora dari arah dapur.
Gadis itu meletakkan dua gelas kosong di atas meja sebelum di tuangkan air putih. Sedikit menarik kedua sudut bibir mendapati sang suami sudah menunggu. Secepat kilat menyiapkan makanan pada piring dan menyerahkan pada suami. Liora sudah mengerti kesukaan Liam dan selalu mengingatnya.
"Wyman, ambilkan tas ku di ruang kerja."
"Baik, Tuan—"
"Eum, biar aku saja." Liora berceletuk.
Berhasil membuat Liam berhenti menyendok nasi di piring dan Wyman mendongak.
Penuh keberanian Liora bertanya, "Bolehkah?"
Liam mengangguk satu kali membuat sang istri langsung tersenyum. Ia segera berjalan menuju ruang kerja untuk mengambil tas kerja milik suaminya.
Ponsel bergetar dalam saku jas segera Liam merogoh lalu menggeser ikon hijau di layar.
"Hallo."
"Aku sudah menunggu di depan pintu rumahmu. Pengawalmu tidak mengizinkan aku masuk."
Suara di seberang terkesan bergesa-gesa.
"Carlos, tunggu saja di luar."
"Ayolah! Berbaik hati sedikit. Aku sangat lapar, kau pasti sedang sarapan."
Liam berdecak lalu berkata, "Aku akan datang sebentar lagi."
Pria itu mematikan ponsel dan berdiri, belum saja menyentuh makanan kedua kaki bergerak menuju pintu utama. Pintu besar terbuka menampakkan sosok pria yang tadi mengeluh di telepon.
"Kenapa kau baru membuka pintunya? Aku sudah menunggu sejak pagi, kau tahu?"
"Ada apa?"
Liam langsung bertanya seolah menghiraukan perkataan orang tersebut.
Carlos terdiam lantas tersenyum meringis. "Izinkan aku masuk dulu dan aku akan menceritakan semuanya."
"Cerita saja di sini."
Mendapat tolakan Liam membuat pria itu mendengus.
"Ceritanya sangat panjang. Aku membutuhkan sedikit a—"
"Kau sudah ingin berangkat?"
Suara lembut sekaligus asing hadir di antara perbincangan mereka. Seorang gadis muncul dari dalam tepat berdiri di sebelah Liam. Menimbulkan raut terkejut setengah mati dari sosok bernama Carlos di sana.
"Sebentar lagi." Sedikit Liam memandang sang istri yang kemudian berpaling pada anak buahnya.
Di sisi Carlos yang hanya bisa menganga seketika deheman keras Liam membuat pria itu mengatupkan bibir.
"Cepatlah."
Hampir saja Carlos tersedak jika ia tidak langsung tersadar menyentuh leher tenggorokan.
"Liam, kau—"
"Aku akan berangkat sekarang jika kau masih membuang waktu."
Carlos terdiam lagi, lantas menghembuskan nafas. "Baiklah, aku akan menceritakan semuanya di kantormu."
Liam mengangguk kemudian menatap sang istri yang masih berdiri. Liora tersadar langsung menyerahkan tas kerja kepada suami. Sedikit tersenyum simpul sebagai sapaan akhir kepada Liam sebelum kepergiannya ke kantor. Namun, Liam tetap sama, tidak menunjukkan senyum sedikit pun.
"Berhati-hatilah," suaranya pelan.
Wyman sudah duduk di posisi depan mobil diikuti Liam kemudian Carlos. Beberapa detik berlalu mobil sudah meninggalkan gerbang kawasan rumah besar tersebut.
•••
"Apa terjadi sesuatu?"
"Aku sudah menemukan alamat rumah itu."
Liam memutar kepala dari pemandangan jendela mobil, tertuju pada Carlos di kursi sebelahnya. Sudah hampir setengah jam kediaman mereka di tengah perjalanan. Sampai Liam yang bertanya lebih dulu.
"Hanya alamatnya saja, kita belum tahu apa yang terjadi di sana."
"Kenapa kau tidak ke sana?"
"Aku rasa, kau harus ikut. Rumah itu berada sedikit di kawasan hutan. Karena itu, kita sulit mencarinya."
Kedua alis Liam menukik. "Apa itu jauh?"
Carlos mengangguk. "Jauh dari sini. Aku tidak tahu, kenapa pria itu bisa sampai ke sini untuk meminta pertolongan. Apa kau tidak curiga pada David?"
"Mungkin benar, ini hanya jebakan Liam."
"Tapi, dia mengatakan ada pembunuhan di rumah itu."
"Kau—"
Suara jendela mobil diketuk membuat Carlos berhenti bicara. Mereka berdua menatap pada sumber dan mendapati sosok perempuan berdiri. Detik lalu mobil sudah berhenti di depan gedung kantor Liam. Tersadar segera membuka pintu dan turun dari mobil. Seketika itu Liam langsung mendapat pelukan dari gadis yang sejak tadi berdiri di sebelah mobil.
"Aku tidak ingin berpisah denganmu."
Ternyata, masa lalunya datang lagi.